Jakarta – Pernyataan mengejutkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyatakan niat negaranya untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi penduduknya telah memicu gelombang kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang nasib jutaan warga Palestina, mayoritas Muslim. Pernyataan tersebut, yang disampaikan dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa, 4 Mei 2025 (waktu setempat), dan dilansir oleh New York Times, mengungkapkan rencana ambisius yang dinilai sebagai pelanggaran berat hukum internasional dan kemanusiaan.
Trump, dalam konferensi pers tersebut, secara gamblang menyatakan bahwa AS akan mengambil alih kendali penuh atas Jalur Gaza, memindahkan sekitar dua juta warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, dan kemudian membangun kembali wilayah tersebut menjadi apa yang disebutnya "Reviera of Middle East." Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai pihak, baik di tingkat regional maupun internasional.
Meskipun Gedung Putih kemudian mengeluarkan klarifikasi melalui Sekretaris Pers Karoline Leavitt (dilansir NBC News) pada Rabu, 5 Februari 2025, yang menyatakan bahwa relokasi penduduk Gaza hanya bersifat sementara, klarifikasi tersebut tidak mampu meredam kecaman yang meluas. Klaim relokasi sementara tetap menimbulkan pertanyaan besar mengenai durasi "sementara" tersebut dan mekanisme kepulangan warga Palestina ke tanah air mereka. Lebih penting lagi, klarifikasi ini tidak mengubah inti dari rencana kontroversial tersebut: pengambilalihan wilayah Palestina oleh AS dan pemindahan paksa penduduknya.
Di mata hukum internasional, pemindahan paksa penduduk dari tempat tinggalnya merupakan pelanggaran HAM yang serius. Konvensi Jenewa IV secara tegas melarang pemindahan penduduk suatu wilayah yang diduduki. Rencana Trump, terlepas dari klaim "sementara," jelas melanggar prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional dan prinsip-prinsip keadilan internasional.
Reaksi keras dari pihak Palestina dan negara-negara Arab pun tak terelakkan. Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam laporan BBC, menolak keras rencana tersebut dan memberikan peringatan tegas kepada AS. Abbas menekankan bahwa Gaza merupakan bagian integral dari Negara Palestina dan pemindahan paksa penduduknya akan menjadi pelanggaran serius yang tidak akan ditoleransi. Pernyataan Abbas mencerminkan penolakan bulat dari rakyat Palestina terhadap rencana yang dianggap sebagai upaya penghapusan identitas dan hak-hak mereka.
Mesir dan Yordania, dua negara tetangga yang berpotensi menjadi tempat relokasi warga Palestina, juga menyatakan penolakan mereka terhadap rencana tersebut. Arab Saudi, sebagai kekuatan regional utama, juga ikut bersuara, menegaskan bahwa warga Palestina tidak akan meninggalkan tanah air mereka dan tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Israel sebelum terbentuknya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Penolakan ini menunjukkan konsensus regional yang kuat dalam menentang rencana kontroversial Trump.
Nasib warga Palestina, mayoritas Muslim Sunni, menjadi fokus utama perhatian dunia. Data Population Reference Bureau (PRB) menunjukkan hampir seluruh penduduk Gaza adalah Arab Palestina, dengan 99% beragama Islam Sunni. Mereka telah berulang kali menyatakan penolakan mereka untuk meninggalkan tanah air mereka. Kesaksian Rashad Mansour, warga Khan Younis, Gaza, yang dikutip Reuters dan diunggah oleh 20Detik, mencerminkan sentimen umum di kalangan warga Palestina. Mansour, yang telah menyaksikan peristiwa Nakba (bencana) dan berbagai konflik, menyatakan bahwa rencana Trump merupakan "perang terburuk" yang pernah mereka alami, sebuah perang yang menargetkan seluruh penduduk tanpa pandang bulu. Ia dengan tegas menyatakan penolakannya untuk meninggalkan Gaza dan tekadnya untuk tetap tinggal di tanah leluhurnya.
Pernyataan Mansour merepresentasikan tekad kuat warga Palestina untuk mempertahankan tanah air mereka. Mereka telah berjuang selama bertahun-tahun menghadapi pendudukan dan konflik, dan rencana Trump dianggap sebagai ancaman eksistensial yang tidak akan mereka terima begitu saja. Keinginan mereka untuk tetap tinggal di Gaza mencerminkan ikatan mendalam mereka dengan tanah leluhur dan penolakan terhadap upaya pengusiran paksa.
Rencana Trump ini juga merupakan sebuah ironi yang mencolok mengingat pernyataan-pernyataannya sebelumnya. Pada saat kampanye pemilihan presiden AS tahun 2016, Trump bersumpah untuk menarik AS dari konflik di Timur Tengah, mengutuk keterlibatan AS dalam perang Irak, dan mengkritik kebijakan pembangunan negara yang dilakukan oleh para pendahulunya. Rencana pengambilalihan Gaza ini merupakan pembalikan dramatis dari janji-janji kampanyenya dan menunjukkan perubahan sikap yang signifikan dalam kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Implikasi dari rencana ini sangat luas dan berpotensi memicu ketidakstabilan regional yang signifikan. Pemindahan paksa jutaan warga Palestina akan menciptakan krisis kemanusiaan yang besar, memicu gelombang pengungsi, dan meningkatkan ketegangan antara Palestina dan Israel, serta antara negara-negara Arab dan AS. Potensi konflik bersenjata juga sangat nyata, mengingat penolakan keras dari pihak Palestina dan dukungan dari negara-negara Arab.
Secara keseluruhan, rencana Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduknya merupakan langkah yang sangat kontroversial, berbahaya, dan melanggar hukum internasional. Rencana ini tidak hanya mengancam hak-hak fundamental warga Palestina, tetapi juga berpotensi memicu krisis kemanusiaan dan ketidakstabilan regional yang meluas. Reaksi internasional yang keras menunjukkan penolakan global terhadap rencana ini dan mendesak AS untuk membatalkan rencana tersebut dan menghormati hukum internasional serta hak-hak asasi manusia warga Palestina. Nasib jutaan warga Palestina, mayoritas Muslim, kini berada di ujung tanduk, menunggu keputusan yang menentukan masa depan mereka dan stabilitas kawasan Timur Tengah.