Jakarta, 5 Februari 2025 – Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Afifuddin Muhajir, dalam sebuah paparan yang menggetarkan di Sarasehan Ulama di Hotel Sultan Jakarta, Selasa (4/2/2025), mengungkapkan esensi fundamental keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): negara ini berdiri kokoh atas kesepakatan para pendirinya. Pidato Kiai Afif, yang disampaikan di hadapan para ulama dan tokoh penting, bukan sekadar retorika, melainkan sebuah analisis mendalam tentang pondasi ideologis dan historis bangsa Indonesia.
Kiai Afif, dalam paparannya yang lugas dan bernuansa intelektual, mengartikulasikan dua pilar kesepakatan monumental para pendiri bangsa. Pertama, kesepakatan atas bentuk negara. Indonesia, tegasnya, bukanlah sekadar entitas geografis, melainkan sebuah daulah madaniyah atau daulah wathaniyah, sebuah negara bangsa yang menjadi milik seluruh warga negaranya tanpa diskriminasi agama dan etnis. Ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa, sebuah konsensus yang berhasil menjembatani perbedaan yang selama ini kerap menjadi sumber konflik di berbagai belahan dunia.
Kiai Afif kemudian membandingkan model negara Madinah dengan NKRI. Meskipun negara Madinah, yang didirikan Nabi Muhammad SAW, memberikan ruang bagi pemeluk agama lain, Indonesia, menurutnya, memiliki karakteristik yang unik. Kemerdekaan Indonesia, ujarnya, merupakan hasil perjuangan seluruh elemen bangsa, dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Meskipun peran umat Islam diakui signifikan mengingat jumlahnya yang mayoritas, kemerdekaan ini merupakan buah kolaborasi seluruh komponen bangsa. Inilah inti dari kesepakatan pertama: Indonesia adalah milik bersama, dibangun atas dasar persatuan dan kesatuan yang inklusif.
Kesepakatan kedua, yang tak kalah penting, adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Kiai Afif memuji Pancasila sebagai sebuah rumusan yang brilian dan unik, sebuah masterpiece yang mampu mengakomodasi aspirasi beragam kelompok masyarakat. Apresiasi dunia internasional terhadap Pancasila, yang dianggap sebagai jalan tengah antara idealisme negara Islam dan negara sekuler, menunjukkan kejeniusan para pendiri bangsa dalam merumuskan sebuah ideologi yang mampu mempersatukan bangsa yang majemuk.
Lebih lanjut, Kiai Afif menguraikan secara rinci makna setiap sila dalam Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya sekadar pengakuan atas Tuhan, melainkan juga mencerminkan prinsip tauhid dalam Islam, yakni keesaan Tuhan. Sila ini menjadi landasan spiritual bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menekankan pentingnya keadilan dan peradaban dalam interaksi sosial, menciptakan masyarakat yang harmonis dan bermartabat.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan tujuan utama dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Sila ini menjadi perekat bagi keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang ada di Indonesia. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa merupakan tanggung jawab bersama seluruh warga negara. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, menunjukkan komitmen Indonesia terhadap sistem demokrasi perwakilan. Sistem ini menjamin partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan negara.
Terakhir, Sila kelima, Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menegaskan bahwa keadilan merupakan pilar utama dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Keadilan harus ditegakkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat.
Kiai Afif menekankan bahwa pemahaman yang mendalam tentang kesepakatan para pendiri bangsa ini sangat krusial bagi masa depan Indonesia. Menjaga dan mempertahankan kesepakatan tersebut, termasuk komitmen terhadap Pancasila sebagai dasar negara, merupakan tanggung jawab moral seluruh warga negara. Ini bukan hanya sekadar tugas pemerintah, melainkan juga tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, dari generasi ke generasi.
Sarasehan Ulama yang diselenggarakan ini, yang merupakan kolaborasi antara PBNU, detikHikmah, dan detikcom dalam rangka peringatan Hari Lahir NU ke-102, merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Dukungan dari Bank Syariah Indonesia dan MIND ID menunjukkan komitmen berbagai pihak untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan.
Pidato Kiai Afif bukan hanya sekadar pengingat sejarah, melainkan juga sebuah ajakan untuk terus memperjuangkan nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Indonesia, sebagai negara kesepakatan, harus terus dijaga dan dipelihara agar tetap kokoh dan mampu menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan ideologi bangsa menjadi kunci bagi keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan. Peringatan Hari Lahir NU ke-102 ini menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat komitmen bersama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Semoga Indonesia terus maju dan berkembang sebagai negara yang adil, makmur, dan bermartabat. Semoga semangat persatuan dan kesatuan terus menyatukan seluruh elemen bangsa dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Ini adalah warisan berharga yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Semoga pesan Kiai Afif ini menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia untuk terus berjuang demi keutuhan dan kemajuan bangsa.