Jakarta, 4 Februari 2025 – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (nama telah diperbaiki sesuai berita asli, bukan Nasaruddin Umar) menekankan pentingnya pengembangan konsep toleransi beragama di Indonesia, khususnya melalui pendidikan sejak usia dini. Hal ini disampaikan Menag dalam pidato kunci pada Sarasehan Ulama yang diselenggarakan di The Sultan Hotel, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Acara yang dihadiri ratusan ulama dan cendekiawan ini merupakan kolaborasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), detikHikmah, dan detikcom, dengan dukungan Bank Syariah Indonesia dan MIND ID, berfokus pada pengkajian "Asta Cita Prabowo-Gibran dalam Perspektif Ulama NU".
Menag menyatakan keprihatinannya terhadap potensi bahaya doktrinasi kebencian dan perbedaan yang diajarkan sejak dini kepada anak-anak. "Apa jadinya anak-anak kita jika sejak dini didoktrin perbedaan dan kebencian? Yang terjadi adalah toleransi semu," tegasnya. Pernyataan ini menjadi landasan utama bagi usulan Menag terkait pentingnya implementasi "Kurikulum Cinta" dalam pendidikan agama.
Konsep "Kurikulum Cinta", menurut Menag, bukanlah upaya untuk menyatukan berbagai agama, yang menurutnya mustahil dilakukan. Sebaliknya, kurikulum ini bertujuan untuk membimbing para guru agama dalam mengajarkan ajaran masing-masing dengan penuh cinta dan kasih sayang, tanpa menanamkan kebencian terhadap pemeluk agama lain.
"Setiap guru agama harus mengajarkan agamanya dengan cinta. Tidak mesti menyatukan semua agama – itu tidak akan mungkin terjadi. Namun, kita bisa mengajarkan kebenaran agama kita masing-masing tanpa menanamkan kebencian terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Itulah inti dari Kurikulum Cinta," jelas Menag.
Lebih lanjut, Menag mengungkapkan landasan teologis dari ajakannya tersebut. Ia merujuk pada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memuliakan seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam. Menag mengutip Surah Al-Isra ayat 70, "وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ" (walaqad karramna bani adam) yang bermakna "Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam."
"Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa Allah memuliakan anak cucu Adam. Artinya, semua manusia harus dimuliakan, bukan hanya umat Islam," tegas Menag, yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Ia bahkan menyatakan keyakinannya bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling menjunjung tinggi hak asasi manusia dibandingkan kitab suci lainnya. "Saya belum menemukan kitab suci lain yang mengajarkan konsep memuliakan manusia seluas dan sedalam Al-Qur’an," tandasnya.
Pernyataan Menag ini menarik perhatian mengingat konteks sosial politik Indonesia yang kompleks dan pernah diwarnai oleh konflik antarumat beragama. Implementasi Kurikulum Cinta diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan terhadap potensi konflik tersebut, dengan menanamkan nilai-nilai toleransi dan saling menghormati sejak dini. Namun, implementasi Kurikulum Cinta ini menuntut perencanaan dan pengembangan yang matang. Tantangannya terletak pada bagaimana menciptakan kurikulum yang tidak hanya mengajarkan toleransi secara teoritis, tetapi juga mampu menanamkan nilai-nilai tersebut secara praktis dan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu permasalahan yang mungkin muncul adalah interpretasi yang berbeda-beda terhadap konsep "cinta" itu sendiri. Definisi "cinta" dalam konteks agama bisa sangat bervariasi dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan klarifikasi dan standarisasi yang jelas agar tidak terjadi penafsiran yang menyimpang.
Selain itu, pengembangan Kurikulum Cinta juga harus mempertimbangkan keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Kurikulum ini harus disusun secara inklusif dan tidak mendiskriminasi agama atau kepercayaan tertentu. Hal ini sangat penting untuk menjamin kesetaraan dan keadilan dalam proses pendidikan.
Penting juga untuk memperhatikan keterampilan para pendidik dalam menerapkan Kurikulum Cinta. Para guru agama perlu mendapatkan pelatihan dan pembinaan yang adekuat agar mampu mengajarkan nilai-nilai toleransi dengan efektif dan menarik. Tanpa pendidik yang terampil, Kurikulum Cinta akan sulit untuk diimplementasikan dengan baik.
Lebih jauh, suksesnya Kurikulum Cinta juga bergantung pada dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga agama, orang tua, dan masyarakat luas. Kerjasama dan komitmen dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan mendukung terwujudnya toleransi antarumat beragama.
Sarasehan Ulama sendiri merupakan langkah positif dalam upaya mewujudkan toleransi beragama. Diskusi yang mengajak para ulama dan cendekiawan untuk bertukar pikiran dan memperkuat persatuan nasional merupakan upaya yang penting dalam membangun Indonesia yang lebih harmonis dan toleran. Namun, perlu diingat bahwa pernyataan dan inisiatif Menag ini hanya merupakan langkah awal. Implementasi Kurikulum Cinta memerlukan kerja keras dan komitmen berkelanjutan dari semua pihak yang berkepentingan.
Kesimpulannya, seruan Menag untuk menerapkan Kurikulum Cinta dalam pendidikan agama di Indonesia merupakan langkah strategis dalam membangun toleransi antarumat beragama. Namun, suksesnya implementasi Kurikulum Cinta tergantung pada perencanaan yang matang, pelatihan pendidik yang adekuat, dan dukungan dari berbagai pihak. Tantangan yang ada harus dihadapi dengan bijak dan komprehensif agar cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang harmonis dan toleran dapat tercapai. Sarasehan Ulama menjadi bukti bahwa upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut sudah dimulai, dan perlu diikuti dengan tindakan konkret dan berkelanjutan.