Tertawa, ekspresi universal kebahagiaan dan pelepas stres, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Namun, dalam ajaran Islam, seperti halnya aspek kehidupan lainnya, tertawa juga memerlukan keseimbangan. Tertawa terbahak-bahak yang berlebihan, bukan sekadar tawa ringan yang alami, justru tidak dianjurkan, bahkan terkesan dihindari. Pandangan ini bukan berarti Islam melarang tawa sepenuhnya, melainkan menekankan pentingnya menjaga adab dan proporsi dalam segala hal, termasuk dalam berekspresi.
Hadits riwayat Tirmidzi, yang disahihkan oleh Syaikh Al-Albani, menjadi rujukan utama dalam memahami perspektif ini. Hadits tersebut berbunyi: "Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati." (HR. Tirmidzi 2/50, Dishahihkan Syaikh Al-Albani). Kalimat "mematikan hati" (dalam konteks ini) bukan berarti kematian secara harfiah, melainkan merujuk pada kematian spiritual atau mati rasa. Tertawa yang berlebihan, menurut pemahaman ini, dapat mengakibatkan pengerasan hati, mengurangi kepekaan terhadap hal-hal spiritual, dan menjauhkan individu dari kedekatan dengan Allah SWT.
Penjelasan lebih rinci mengenai dampak negatif tertawa terbahak-bahak dapat dikaji dari beberapa sudut pandang. Pertama, tawa yang berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya fokus terhadap hal-hal yang lebih penting, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Dalam kehidupan yang sementara ini, manusia dituntut untuk mempersiapkan bekal akhirat. Terlalu banyak waktu terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti tertawa tanpa kendali, dapat menghambat pencapaian tujuan hidup yang lebih besar.
Kedua, tawa yang tak terkendali seringkali diiringi dengan perilaku yang tidak terjaga. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif seperti menyinggung perasaan orang lain, menunjukkan kurangnya kesopanan, dan bahkan menghilangkan wibawa. Tawa yang melampaui batas dapat berubah menjadi ejekan atau sindiran yang menyakitkan, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan permusuhan.
Ketiga, tawa yang berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya kesadaran diri dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Individu yang terlalu asyik dengan tawa dapat menunjukkan sikap egois dan tidak peduli terhadap perasaan dan kondisi orang lain. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya empati dan kepedulian sosial.
Namun, perlu ditekankan bahwa Islam tidak melarang tawa sepenuhnya. Rasulullah SAW dan para sahabat juga dikenal sebagai pribadi yang pernah tertawa dan bercanda. Namun, mereka selalu menjaga batas-batas kewajaran dan kesopanan. Tawa mereka merupakan ekspresi kegembiraan yang sehat dan tidak melampaui batas-batas etika dan ajaran agama. Perbedaannya terletak pada intensitas dan konteks tawa tersebut.
Perlu dibedakan antara tawa yang alami dan ringan dengan tawa terbahak-bahak yang berlebihan. Tawa alami merupakan fitrah manusia yang sehat dan diperbolehkan, bahkan dianjurkan jika berasal dari hal-hal yang positif dan membangun. Namun, tawa terbahak-bahak yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif seperti yang telah dijelaskan di atas.
Lebih lanjut, tawa terbahak-bahak seringkali berkaitan erat dengan bercanda. Oleh karena itu, memahami adab bercanda dalam Islam juga sangat penting untuk mencegah terjadinya tawa yang berlebihan dan tidak terkendali. Buku "Adab Berdanda dalam Islam" karya Hafidz Muftisany menyajikan beberapa pedoman mengenai adab bercanda, di antaranya:
1. Tidak Membawa Nama Allah SWT: Menghindari penggunaan nama Allah SWT dalam bercanda merupakan bentuk penghormatan terhadap kebesaran dan keagungan-Nya. Ayat Al-Quran surat At-Taubah ayat 65-66 menegaskan bahwa mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya merupakan perbuatan yang tercela.
2. Tidak Berbohong: Kejujuran merupakan nilai penting dalam Islam. Bercanda dengan berbohong dapat menyesatkan orang lain dan merusak kepercayaan. Hadits Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang berkata-kata dusta untuk membuat orang lain tertawa akan mendapat celaka.
3. Tidak Saling Mencela: Bercanda harus dilakukan dengan bijak dan tidak menimbulkan permusuhan. Surat Al-Hujurat ayat 11 menegaskan larangan merendahkan orang lain dan saling mencela. Hal ini menunjukkan pentingnya saling menghormati dan menjaga perasaan orang lain.
4. Tidak Menghina dengan Perkataan Buruk: Menghindari perkataan yang menghina atau merendahkan orang lain, terutama mengenai penampilan fisik, merupakan bagian penting dari adab bercanda. Rasulullah SAW mengajarkan untuk tidak merasa senang atas bencana yang menimpa saudaranya, karena Allah bisa saja memberikan rahmat kepada orang yang dihina dan menguji kita dengan hal yang serupa.
Kesimpulannya, larangan tertawa terbahak-bahak dalam Islam bukanlah larangan mutlak terhadap tawa itu sendiri. Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal tawa dan bercanda. Tawa yang alami dan ringan merupakan fitrah manusia yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Namun, tawa yang berlebihan dan tidak terkendali dapat menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, penting untuk menjaga adab dan proporsi dalam bertawa dan bercanda, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan kesopanan, kebijaksanaan, dan keseimbangan dalam segala hal. Memahami konteks dan maksud dari tawa itu sendiri juga sangat penting untuk menentukan apakah tawa tersebut masuk kategori yang dianjurkan atau dihindari.