Jakarta – Konsep peran dan tanggung jawab suami-istri dalam rumah tangga seringkali menjadi perdebatan, terutama di konteks sosial Indonesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Pandangan yang keliru tentang pembagian kerja domestik kerap menempatkan beban pekerjaan rumah tangga secara tidak adil pada istri. Padahal, ajaran Islam, yang telah berusia 14 abad, menekankan pentingnya penghargaan dan keseimbangan peran antara suami dan istri, sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur’an dan diinterpretasikan oleh para ulama dari empat mazhab fiqh utama.
Artikel ini akan mengkaji ulang pemahaman tradisional tentang kewajiban suami-istri berdasarkan referensi buku Seri Fikih Kehidupan (Pernikahan) karya Ahmad Sarwat, serta merujuk pada pandangan empat mazhab – Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali – untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan seimbang. Pembahasan ini penting untuk mengoreksi persepsi yang salah dan membangun pemahaman yang lebih adil dan sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Secara umum, kewajiban suami terhadap istri meliputi nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir mencakup pemenuhan kebutuhan materi seperti sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Nafkah batin mencakup pemenuhan kebutuhan emosional, psikologis, dan seksual. Namun, interpretasi tradisional yang seringkali menyederhanakan kewajiban istri hanya pada pemenuhan kebutuhan seksual suami perlu dikaji ulang secara mendalam.
Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 seringkali dikutip untuk menjelaskan kewajiban suami sebagai penanggung jawab keluarga. Ayat tersebut berbunyi:
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka kaum wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, disebabkan Allah memelihara (mereka). Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (melanggar perintah suami), maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Interpretasi ayat ini seringkali disederhanakan dan difokuskan pada aspek kepemimpinan laki-laki dan kewajiban istri untuk taat. Namun, pemahaman yang lebih komprehensif perlu mempertimbangkan konteks historis dan sosial ayat tersebut, serta memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan dalam hubungan suami-istri. Ayat ini tidak boleh diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk tindakan kekerasan domestik, melainkan sebagai panduan untuk menyelesaikan konflik rumah tangga dengan cara yang bijaksana dan adil.
Lebih lanjut, pemahaman yang keliru seringkali mengaitkan ayat ini dengan kewajiban istri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, pandangan empat mazhab fiqh memberikan perspektif yang berbeda dan lebih mendekati prinsip keadilan gender dalam Islam.
Perbedaan Pendapat Empat Mazhab Fiqh tentang Kewajiban Istri:
Keempat mazhab fiqh sepakat bahwa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan mengurus anak bukanlah kewajiban istri. Kewajiban utama istri adalah menjaga kehormatan diri dan keluarga, serta memenuhi hak seksual suami. Namun, kewajiban ini tidak boleh diinterpretasikan sebagai bentuk perbudakan atau eksploitasi. Sebaliknya, hubungan seksual dalam pernikahan harus dilandasi oleh rasa cinta, kasih sayang, dan saling menghormati.
Berikut uraian lebih rinci tentang pandangan masing-masing mazhab:
1. Mazhab Hanafi:
Mazhab Hanafi, melalui kitab Al-Badai’ karya Imam Al-Kasani dan Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah, menyatakan bahwa istri tidak dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Jika suami pulang dengan bahan makanan mentah, istri tidak wajib memasaknya. Suami berkewajiban menyediakan makanan yang siap saji atau mempekerjakan pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini menunjukkan bahwa mazhab Hanafi menekankan pentingnya pemenuhan nafkah lahir oleh suami, termasuk menyediakan layanan untuk pekerjaan rumah tangga.
2. Mazhab Maliki:
Mazhab Maliki, seperti yang dijelaskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir karya Ad-Dardir, menyatakan bahwa suami wajib melayani istrinya. Bahkan jika suami kaya dan istri mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, kewajiban tersebut tetap berada pada pundak suami. Suami wajib menyediakan pembantu rumah tangga jika diperlukan. Pandangan ini menegaskan bahwa khidmat (pelayanan) dalam rumah tangga adalah tanggung jawab suami, bukan istri.
3. Mazhab Syafi’i:
Mazhab Syafi’i, melalui kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, menyatakan bahwa istri tidak wajib melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Kewajiban istri terbatas pada pemenuhan hak seksual suami (istimta’). Pelayanan di luar itu bukanlah kewajiban agama. Ini menunjukkan bahwa mazhab Syafi’i menekankan batas kewajiban istri dalam konteks rumah tangga.
4. Mazhab Hanbali:
Mazhab Hanbali, berdasarkan pendapat Imam Ahmad, menyatakan bahwa istri tidak diwajibkan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti membuat roti, memasak, membersihkan rumah, atau menimba air. Kewajiban istri hanya terbatas pada pemenuhan hak seksual suami. Pekerjaan rumah tangga lainnya bukanlah kewajiban agama. Ini sejalan dengan pandangan mazhab-mazhab lainnya yang menekankan pembagian peran yang adil dan sesuai dengan prinsip keadilan gender.
Kesimpulan:
Pandangan empat mazhab fiqh memberikan perspektif yang konsisten tentang pembagian peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga bukanlah kewajiban agama bagi istri. Suami berkewajiban untuk memenuhi nafkah lahir dan batin, termasuk menyediakan layanan untuk pekerjaan rumah tangga jika diperlukan. Meskipun istri diperbolehkan membantu dalam pekerjaan rumah tangga, hal itu semata-mata didasarkan pada kerelaan dan keikhlasan, bukan kewajiban agama.
Penting untuk dipahami bahwa Islam sejak awal telah menempatkan perempuan pada posisi terhormat. Perempuan diberikan ruang untuk mengembangkan potensi dirinya dan menikmati kehidupan yang layak. Konsep keadilan gender dalam Islam bukan hanya sekedar slogan, tetapi merupakan prinsip fundamental yang harus diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga. Pembagian peran yang adil dan saling menghormati akan menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang kewajiban suami-istri dalam Islam sangat penting untuk membangun hubungan rumah tangga yang harmonis dan seimbang. Perlu adanya upaya bersama untuk mengoreksi persepsi yang salah dan membangun pemahaman yang lebih adil dan sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Perlu pula adanya kesadaran kolektif untuk menjauhi budaya patriarki yang merugikan perempuan dan merusak harmoni rumah tangga. Semoga pemahaman yang lebih komprehensif ini dapat menjadi landasan bagi terciptanya kehidupan rumah tangga yang bahagia dan berkah.