Ketakutan akan pernikahan, yang belakangan ramai di media sosial dengan tagar "Marriage is Scary," telah menjadi fenomena yang menarik perhatian publik. Tren ini, yang didominasi oleh kaum wanita, baik yang sudah maupun belum menikah, mengungkapkan keresahan mendalam mengenai institusi pernikahan di era modern. Bukan sekadar ungkapan perasaan, fenomena ini menuntut pemahaman yang lebih dalam mengenai akar permasalahan dan solusi yang ditawarkan, termasuk perspektif agama Islam.
Akar Ketakutan: Antara Realita dan Persepsi
Berbagai alasan melatarbelakangi ketakutan ini. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk platform media sosial dan artikel opini, menunjukkan kekhawatiran yang kompleks. Ketakutan akan perceraian menempati posisi teratas, mencerminkan meningkatnya angka perceraian dan dampaknya terhadap kehidupan individu. Trauma masa lalu, khususnya menyaksikan kegagalan pernikahan orang tua, turut berperan signifikan dalam membentuk persepsi negatif terhadap pernikahan. Ketakutan ini dipicu oleh pengalaman traumatis yang menyisakan luka batin dan keraguan terhadap keberhasilan pernikahan di masa depan.
Selain itu, kecemasan akan memudarnya rasa cinta, tekanan finansial, dan ketidakmampuan mengasuh anak dengan baik juga menjadi faktor utama. Ketakutan akan ketidakmampuan memenuhi tuntutan peran sebagai pasangan dan orang tua menimbulkan beban psikologis yang berat. Tekanan sosial yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan dalam pernikahan, yang seringkali digambarkan secara idealistis di media sosial, juga berkontribusi pada rasa cemas dan takut gagal.
Psikolog Kassandra Putranto menjelaskan bahwa ketakutan menikah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik fisik maupun psikologis. Faktor fisik dapat berupa perasaan tidak cukup kuat secara emosional atau mental untuk menghadapi tantangan pernikahan. Sementara itu, faktor psikologis meliputi riwayat gangguan kecemasan, pola asuh orang tua yang kurang sehat, dan trauma masa lalu, baik ringan maupun berat. Pengalaman masa kanak-kanak yang kurang harmonis, misalnya, dapat membentuk pola pikir negatif tentang hubungan interpersonal dan pernikahan. Trauma yang dialami, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menciptakan ketakutan yang mendalam dan menghambat seseorang untuk menjalin hubungan komitmen jangka panjang.
Pandangan Islam: Antara Kewajaran dan Hikmah
Dalam konteks Islam, Buya Yahya, melalui ceramahnya di kanal YouTube Al-Bahjah TV, memberikan pencerahan mengenai fenomena "Marriage is Scary." Beliau menjelaskan bahwa rasa takut menikah bisa jadi merupakan bisikan setan yang berusaha menghambat langkah seseorang menuju kehidupan yang lebih baik. Buya Yahya menekankan pentingnya introspeksi diri untuk mengukur kesiapan menikah. Pernikahan bukanlah kewajiban mutlak bagi setiap individu. Jika seseorang merasa belum siap secara mental, emosional, dan finansial, maka tidak ada paksaan untuk menikah.
"Jika diri Anda memang tidak punya keperluan untuk menikah maka gak usah nikah, gak apa-apa. Tapi kalau secara pribadi Anda punya hajat untuk menikah, maka menikah lah," tegas Buya Yahya. Pernyataan ini menekankan pentingnya kebebasan individu dalam menentukan pilihan hidup, termasuk keputusan untuk menikah. Islam tidak memaksa seseorang untuk menikah jika ia belum siap.
Namun, bagi mereka yang merasa membutuhkan pernikahan, Buya Yahya memberikan penguatan bahwa rasa takut tersebut akan sirna seiring berjalannya waktu. Keindahan dan kenikmatan berumah tangga akan menggantikan rasa cemas dan ketakutan. "Kalau masalah rasa takut dan sebagainya akan hilang itu semuanya nanti, bersama tanggung jawab, bersama keindahan dalam rumah tangga. Itu semuanya (rasa takut) akan hilang," ujarnya.
Lebih lanjut, Buya Yahya mengingatkan bahaya terjerumus dalam perbuatan haram, seperti perzinaan, sebagai akibat dari penundaan pernikahan yang dipicu oleh rasa takut. Beliau menekankan pentingnya menjaga diri dari godaan setan yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan dosa. "Kadang ada orang yang takut menikah tapi dia mudah melakukan keharaman. Itu lebih bahaya lagi. Kalau Anda yang memang belum berani menikah semoga dijaga oleh Allah. Tapi lihat, setan akan terus berusaha menjerumuskan siapa pun (kepada keharaman/zina)," tandasnya.
Hukum Menikah dalam Perspektif Fiqih
Secara hukum Islam, pernikahan merupakan amalan yang dianjurkan (sunnah muakkadah), terutama untuk meneruskan keturunan, memenuhi kebutuhan biologis, dan mencegah perbuatan zina. Namun, hukum asal menikah adalah mubah, artinya boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi individu untuk menentukan pilihan sesuai dengan kondisi dan kesiapan masing-masing.
Namun, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat mengubah hukum menikah menjadi wajib, sunnah, makruh, bahkan haram. Menikah dihukumi sunnah bagi mereka yang mampu menikah tetapi masih mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina. Makruh hukumnya jika seseorang memiliki keinginan menikah tetapi belum memiliki bekal yang cukup, misalnya belum mampu menafkahi keluarga. Menikah dihukumi haram jika dilandasi niat buruk, seperti menyakiti pasangan atau tujuan yang tidak terpuji lainnya. Perlu diingat bahwa ini hanyalah sebagian kecil dari pandangan para ulama, dan detail hukumnya dapat bervariasi tergantung pada mazhab dan interpretasi.
Kesimpulan: Menghadapi Ketakutan dengan Bijak
Fenomena "Marriage is Scary" mencerminkan kompleksitas kehidupan modern dan tantangan yang dihadapi generasi muda dalam menghadapi institusi pernikahan. Ketakutan yang muncul bukanlah tanpa alasan, melainkan berakar pada berbagai faktor sosial, psikologis, dan ekonomi. Penting bagi individu untuk memahami akar ketakutan mereka, mencari dukungan dari keluarga, teman, dan profesional, serta mempertimbangkan perspektif agama dan nilai-nilai kehidupan dalam mengambil keputusan. Islam, sebagai agama yang komprehensif, menawarkan panduan bijak dalam menghadapi ketakutan ini, dengan menekankan pentingnya kesiapan diri, serta memberikan solusi yang seimbang antara memenuhi kebutuhan biologis dan spiritual. Pernikahan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, kesabaran, dan saling pengertian. Dengan pemahaman yang tepat dan persiapan yang matang, ketakutan akan pernikahan dapat diatasi, dan perjalanan menuju kehidupan berumah tangga yang bahagia dapat diwujudkan.