Jakarta, 4 Februari 2025 – Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam memperjuangkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia bukanlah hal baru. Jauh sebelum reformasi, bahkan sejak era orde baru, NU telah menancapkan komitmennya pada nilai-nilai universal tersebut, sebuah konsistensi yang terus dipertegas hingga kini. Hal ini ditegaskan kembali oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), yang baru-baru ini menyampaikan pidato di Universitas Princeton, Amerika Serikat. Pidato tersebut, yang bertajuk ‘The Future of the Universal Declaration of Human Rights: Toward a Global Consensus that the World Diverse Peoples, and Nations Should Strive to Fulfill’, mengungkapkan pandangan NU yang mendalam tentang hubungan harmonis antara ajaran Islam dan prinsip-prinsip HAM.
Gus Yahya dengan tegas menyatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) bukanlah sesuatu yang asing bagi ajaran Islam. Ia menemukan landasan filosofis UDHR dalam Al-Qur’an dan hadits, menegaskan bahwa Islam memiliki dasar yang kuat untuk menerima dan mendukung piagam PBB tersebut. "Alasan ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an itu sendiri dan hadits, atau ucapan-ucapan yang dianggap berasal dari Nabi," ujar Gus Yahya, seperti dikutip dari laman NU Online. Pernyataan ini bukan sekadar pernyataan retorika, melainkan refleksi dari pemahaman NU yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Bagi NU, HAM bukanlah konsep yang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan sebuah perwujudan dari ajaran Islam itu sendiri yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pidato Gus Yahya di Princeton bukan hanya sebuah pernyataan teoritis. Ia menunjukkan komitmen NU untuk terus berkontribusi dalam upaya global untuk mewujudkan peradaban yang berlandaskan HAM. UDHR, menurut Gus Yahya, merupakan visi peradaban yang harus diwujudkan oleh masyarakat, agama, dan negara di seluruh dunia. Ini menunjukkan wawasan NU yang luas dan melampaui batas-batas kebangsaan, menempatkan perjuangan HAM dalam konteks global yang lebih besar.
Komitmen NU terhadap HAM tidak hanya terlihat dari pernyataan para tokohnya, melainkan juga terwujud dalam aksi konkret di lapangan. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah perjuangan alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selama menjabat sebagai Presiden RI. Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh pluralis dan demokratis, memberikan kontribusi signifikan dalam perjuangan HAM dengan menghapus Inpres Nomor 14/1967 tentang pelarangan aktivitas agama dan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia. Keputusan berani ini merupakan tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju demokrasi yang lebih inklusif dan adil.
Penghapusan Inpres tersebut diikuti dengan penerbitan Inpres Nomor 6/2000 yang mengizinkan perayaan Imlek. Langkah ini bukan hanya sekedar perubahan regulasi, melainkan merupakan upaya sistematis untuk mengubah paradigma yang diproduksi rezim Orde Baru yang otoriter dan diskriminatif. Gus Dur dengan bijaksana memahami bahwa HAM tidak hanya berkaitan dengan kebebasan beragama, tetapi juga dengan pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman budaya dan etnis di Indonesia. Warisan Gus Dur ini merupakan inspirasi bagi NU untuk terus berjuang dalam mempertahankan dan memperluas ruang demokrasi dan HAM di Indonesia.
Lebih lanjut, komitmen NU dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM terlihat juga dalam program-program yang dilakukan oleh PBNU. Salah satunya adalah program Sarasehan Ulama bertema ‘Asta Cita dalam Perspektif Ulama NU’. Program ini merupakan upaya untuk menyatukan para ulama NU dalam menguatkan visi misi kebangsaan, khususnya dalam mewujudkan Asta Cita Negara, poin pertama diantaranya adalah ‘Memperkokoh Ideologi Pancasila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM)’. Sarasehan ini bukan hanya sebuah forum diskusi belaka, melainkan merupakan sebuah komitmen nyata NU untuk terus berperan aktif dalam pembangunan bangsa berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Acara ‘Asta Cita dalam Perspektif Ulama NU’ yang diselenggarakan pada 4 Februari 2025 di The Sultan Hotel & Residence Jakarta, dan disiarkan secara live streaming di detikcom, menunjukkan keseriusan NU dalam mengajak seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama memperkuat pondasi demokrasi dan HAM di Indonesia. Partisipasi luas dari berbagai kalangan diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa perjuangan NU dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM bukanlah tanpa tantangan. Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, seperti ketidakadilan, diskriminasi, dan kekerasan. Namun, komitmen NU yang konsisten dan berkelanjutan menunjukkan bahwa perjuangan ini akan terus berlanjut hingga cita-cita demokrasi dan HAM di Indonesia terwujud sepenuhnya.
Lebih dari itu, kontribusi NU dalam konteks global juga patut diapresiasi. Dengan menempatkan perjuangan HAM dalam konteks global, NU tidak hanya berperan dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, tetapi juga berkontribusi dalam upaya global untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan wawasan NU yang luas dan komitmennya untuk menjadi bagian dari solusi global bagi masalah-masalah kemanusiaan.
Kesimpulannya, perjuangan Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM merupakan sebuah tradisi yang panjang dan konsisten. Dari perjuangan Gus Dur hingga komitmen Gus Yahya, NU terus menunjukkan bahwa Islam dan HAM bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi dan berjalan beriringan dalam upaya mewujudkan peradaban yang adil, demokratis, dan bermartabat. Komitmen ini bukan hanya sebuah pernyataan, melainkan terwujud dalam aksi konkret dan program-program yang dijalankan oleh NU, menunjukkan bahwa NU bukan hanya sebuah organisasi keagamaan, tetapi juga sebuah organisasi yang berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan peradaban manusia. Perjuangan ini akan terus berlanjut, dengan harapan bahwa Indonesia akan semakin dekat menuju cita-cita demokrasi dan HAM yang seutuhnya.