Integrasi pesantren ke dalam sistem nasional merupakan isu kompleks yang menuntut pemahaman mendalam terhadap realitas pesantren itu sendiri. Analisis ini akan menguraikan tiga klaster utama yang membentuk konfigurasi permasalahan integrasi pesantren, yaitu pesantren sebagai lembaga pendidikan, pesantren sebagai pilar komunitas, dan hubungan pesantren dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Klaster 1: Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan – Antara Tradisi dan Modernisasi
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan, menghadapi tantangan besar dalam era modern. Perubahan zaman dan perkembangan teknologi menuntut adaptasi yang signifikan. Munculnya tuntutan pengakuan ijazah pesantren setara dengan lembaga pendidikan formal, serta persyaratan untuk melamar pekerjaan di sektor publik, mendorong pesantren untuk berintegrasi dengan sistem pendidikan nasional dan memenuhi standar-standar yang berlaku. Ini bukanlah masalah baru; upaya penyetaraan (mu’adalah) dengan penambahan mata pelajaran seperti matematika dan kewarganegaraan telah lama dilakukan. Namun, tantangan saat ini jauh lebih kompleks.
Salah satu akar permasalahan terletak pada sejarah berdirinya pesantren di Indonesia. Sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, pesantren lahir dari inisiatif pribadi para kiai pendirinya. Karakteristik setiap pesantren sangat dipengaruhi oleh visi, gagasan, dan keahlian sang pendiri. Contohnya, Pesantren Tebuireng yang terkenal sebagai pusat sanad kitab hadis berkat kepakaran KH. Hasyim Asy’ari sebagai musnid; Pesantren Termas sebagai pusat keilmuan fikih di bawah bimbingan KH. Dimyati; dan Pesantren Kasingan Rembang sebagai pusat pembelajaran ilmu alat yang dirintis oleh KH. Cholil Harun. Spesialisasi keilmuan ini, yang mencerminkan keahlian para kiai pendiri, merupakan ciri khas pesantren di masa lalu.
Model ini, yang berjalan efektif di masa lalu, kini menghadapi kendala. Keberhasilan pesantren dahulu sangat bergantung pada reputasi dan karisma para kiai pendirinya, serta dukungan kuat dari komunitas lokal. Tokoh-tokoh masyarakat yang dermawan berperan penting dalam menopang operasional pesantren, memungkinkan para kiai fokus pada pendidikan santri. Namun, tradisi ini semakin memudar. Generasi kiai baru tidak selalu memiliki pengaruh spiritual dan karisma yang sama dengan pendahulunya, mengakibatkan pesantren kehilangan daya tarik tradisionalnya tanpa adanya sistem modern yang menggantikannya.
Akibatnya, banyak pesantren harus sepenuhnya mandiri, menanggung beban pengelolaan yang semakin berat. Para kiai tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga manajer, bendahara, dan pencari dana. Kondisi ini semakin diperparah oleh tuntutan untuk menyamai institusi pendidikan modern, yang sulit dipenuhi tanpa adanya standardisasi kurikulum, metode pengajaran, dan infrastruktur. Kurangnya standardisasi, infrastruktur yang kurang memadai, dan ketergantungan pada “keramat” para pendiri menjadi sinyal kuat perlunya sistem tata kelola (governing system) yang komprehensif. Sistem ini harus mencakup ukuran keberhasilan pendidikan yang terukur, kode etik (code of conduct) untuk menyelesaikan masalah internal, dan panduan untuk memastikan kualitas pembelajaran. Tanpa sistem tata kelola yang kuat, pesantren akan kesulitan bertransformasi dan berintegrasi dengan sistem pendidikan modern, dan berpotensi tergerus oleh perubahan zaman.
Klaster 2: Pesantren sebagai Pilar Komunitas – Antara Ideal dan Realitas
Selain sebagai lembaga pendidikan, pesantren diidealkan sebagai pilar komunitas, memberikan solusi bagi berbagai permasalahan sosial. Sejak tahun 1970-an, terdapat promosi strategi sosial-ekonomi melalui pesantren, dan idealisasi ini masih dipertahankan hingga kini. Pesantren diposisikan sebagai pusat jaringan strategis untuk mengatasi masalah komunitas. Pemerintah pun mendorong pengembangan ekosistem ekonomi pesantren untuk memperkuat kemandirian ekonomi.
Konsep ini, secara teoritis, tidaklah keliru. Namun, ideal tersebut perlu dikaji ulang dalam konteks realitas. Di masa lalu, pesantren memiliki posisi yang sangat kuat di tengah komunitas karena konteks sosial dan sejarahnya. Para pemimpin pesantren berperan sebagai pemimpin komunitas, meneruskan tradisi dan struktur sosial masyarakat Nusantara yang telah ada sejak zaman pra-Islam. Ketika Islam masuk ke Nusantara, para misionaris Islam mengisi peran kepemimpinan komunitas, seringkali menggantikan atau berintegrasi dengan pemimpin komunitas tradisional (Ki Ageng).
Seiring perkembangan Islam di Nusantara dan peningkatan akses terhadap pusat-pusat keilmuan Islam di luar negeri, pesantren mulai berfokus pada pendidikan akademis. Meskipun awalnya orang datang ke pesantren untuk mencari kesaktian, kurikulum pesantren berkembang mencakup fikih, ilmu alat, dan bidang keilmuan lainnya, terutama setelah generasi KH. Nawawi Banten membawa elemen akademis ke dalam tradisi pesantren. Para kiai pada masa itu tidak hanya pemimpin spiritual, tetapi juga akademisi yang berdedikasi pada ilmu pengetahuan, seperti KH. Hasyim Asy’ari. Mereka menjalankan fungsi sosial di tengah komunitas, berperan sebagai guru dan pemimpin yang mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Namun, seiring dominasinya aktivitas pengajaran akademis, keterlibatan kiai dengan komunitas semakin berkurang. Perubahan ini mempengaruhi aspek kepemimpinan sosial yang dulunya merupakan bagian integral dari peran kiai. Kiai-kiai dahulu sangat efektif dalam menggerakkan komunitas, seperti yang terlihat dalam respons masif terhadap seruan jihad KH. Hasyim Asy’ari pada Pertempuran Surabaya.
Pertanyaannya, apakah kiai-kiai masa kini masih memiliki daya tarik dan intensitas keterlibatan dengan komunitas seperti dulu? Perbandingan dengan peran KH. Wahab Hasbullah, yang meskipun sibuk sebagai Rais Aam NU, tetap melayani masyarakat dengan intens, menunjukkan perbedaan signifikan. Ideal peran kiai sebagai pemimpin komunitas perlu dikaji ulang dalam konteks tuntutan modernisasi pesantren, yang membutuhkan konsentrasi penuh para kiai pada peningkatan mutu pendidikan.
Klaster 3: Kaitan Pesantren dan NU – Antara Identitas dan Inklusivitas
Hubungan erat antara pesantren dan NU merupakan faktor krusial dalam memahami tantangan integrasi pesantren. Pada masa awal, pesantren identik dengan NU, dan pesantren-pesantren baru meniru model tersebut. Komunitas pesantren terkonsolidasi dalam NU, meluas hingga mereka yang pernah berinteraksi dengan pesantren.
Afinitas masyarakat terhadap NU mengalami peningkatan drastis. Data survei menunjukkan peningkatan signifikan jumlah penduduk Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari NU dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menarik karena banyak di antara mereka, khususnya generasi Z, tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pesantren. Berkembangnya platform komunikasi publik yang diasosiasikan dengan NU, dan meluasnya akses informasi melalui teknologi dan media sosial, merupakan faktor penting dalam hal ini.
Platform-platform ini memungkinkan individu, termasuk mereka yang bukan berasal dari lingkungan pesantren, untuk membangun citra sebagai tokoh agama dan menarik konstituen yang mengidentifikasi diri dengan NU. Hal ini memperluas jangkauan NU, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam menjaga identitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Identifikasi terhadap NU menjadi semakin longgar dan jauh dari akar tradisionalnya.
Undang-Undang Pesantren membawa pesantren ke dalam domain politik, menciptakan tantangan baru bagi NU dalam menjaga independensi pesantren dan mengelola hubungan antara kepentingan pesantren dan kepentingan NU dalam konteks politik dan distribusi sumber daya. NU dihadapkan pada dua pilihan utama: bertarung secara politik untuk memperebutkan sumber daya dan kebijakan, atau mengupayakan universalisasi pesantren.
Pilihan pertama, yaitu bertarung secara politik, berisiko menciptakan polarisasi sosial dan politik yang berbahaya bagi keutuhan bangsa. Pilihan kedua, yaitu universalisasi pesantren, menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan damai. Universalisasi pesantren akan menghilangkan potensi konflik politik berbasis identitas, dengan menjadikan pesantren sebagai warisan bangsa yang universal dan santri sebagai aset nasional. NU dapat fokus pada khidmah yang inklusif, melayani seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang, dan berkontribusi pada peningkatan kapasitas ekonomi seluruh rakyat Indonesia.
Universalisasi pesantren dan NU merupakan strategi yang lebih bijak dan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan integrasi pesantren di era modern. Hal ini akan menjaga persatuan bangsa dan memperkuat identitas NU sebagai organisasi yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama. Pendekatan ini memerlukan strategi yang cermat dan komprehensif, melibatkan berbagai pihak terkait, untuk memastikan keberhasilan integrasi pesantren ke dalam sistem nasional tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisionalnya.