Bulan Ramadan 1446 H, atau yang bertepatan dengan tahun 2025 Masehi, kian mendekat. Bagi umat Muslim di seluruh dunia, momen ini merupakan titik balik spiritual yang dinanti-nantikan, sebuah kesempatan untuk mengasah keimanan dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik melalui ibadah puasa. Di tengah euforia menyambut bulan suci ini, ucapan "Marhaban ya Ramadan" seringkali terlontar, mengungkapkan sukacita dan harapan yang mendalam. Namun, apa sebenarnya makna di balik ungkapan yang begitu familiar ini? Lebih dari sekadar salam sapaan, "Marhaban ya Ramadan" menyimpan nilai filosofis dan teologis yang kaya, mencerminkan tradisi dan budaya Islam yang berakar panjang.
Kata "marhaban" sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan kata seru yang digunakan untuk menyambut atau menghormati tamu, dengan arti yang mendekati "selamat datang". Namun, makna "Marhaban ya Ramadan" melampaui arti harfiah tersebut. Quraish Shihab, dalam karyanya "Shihab & Shihab Edisi Ramadan", menjelaskan bahwa "marhaban" berasal dari akar kata yang menunjukkan keluasan dan keterbukaan dalam menyambut sesuatu dengan hati yang lapang. Kata "rahba", yang berarti "tempat yang luas", merefleksikan penerimaan yang utuh dan tanpa kesempitan. Dalam konteks Ramadan, ini mengartikan bahwa umat Islam seharusnya menyambut bulan suci ini dengan hati yang gembira dan tanpa beban.
Pemahaman ini mengungkapkan esensi "Marhaban ya Ramadan" yang jauh dari kesan terpaksa atau berat. Sebaliknya, ucapan ini menunjukkan suka cita yang tulus dalam menyambut anugerah Allah SWT berupa kesempatan untuk meningkatkan ibadah dan ketakwaan. Ramadan bukanlah beban, melainkan sebuah karunia yang patut disambut dengan hati yang penuhi syukur. Ini merupakan perbedaan yang signifikan, menunjukkan perubahan perspektif dari sebuah kewajiban yang mungkin terasa berat menjadi sebuah kesempatan untuk bertaqwa yang dipenuhi dengan kegembiraan dan antusiasme.
Lebih jauh lagi, kata "marhab" juga dapat diartikan sebagai "tempat peristirahatan" atau "pemberhentian untuk mengambil bekal". Metafora ini menunjukkan bahwa Ramadan layaknya sebuah oase spiritual, tempat umat Islam dapat mengisi kembali kekuatan spiritual mereka, memperbaiki diri, dan mempersiapkan bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di sisi Allah SWT. Bulan Ramadan bukan hanya waktu untuk berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga waktu untuk berpuasa dari segala hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah SWT, seperti gosip, dendam, dan perbuatan yang tidak terpuji. Ini merupakan waktu untuk introspeksi diri dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.
Kholid A Harras, dalam bukunya "Catatan Ramadan", mengungkapkan sebuah riwayat hadits yang menekankan pentingnya merasakan kegembiraan atas kedatangan Ramadan. Hadits ini, yang ditemukan dalam Kitab Durrotun Nashihin karya Utsman bin Hasan al-Khubawi, walaupun tidak tercantum dalam kitab-kitab hadits utama, tetapi banyak dikutip oleh kalangan Nahdliyin, menyatakan: "Barangsiapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka." Hadits ini, meskipun perlu dikaji lebih lanjut mengenai sanad dan keasliannya, menunjukkan betapa pentingnya menyambut Ramadan dengan hati yang penuh sukacita dan syukur. Kegembiraan ini bukanlah kegembiraan duniawi yang sementara, tetapi kegembiraan spiritual yang berasal dari kesadaran akan kebesaran dan rahmat Allah SWT.
Kapan Ramadan 2025 akan tiba? Pertanyaan ini menggelitik hati umat Muslim di seluruh dunia. Berdasarkan Kalender Hijriah yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, 1 Ramadan 1446 H diperkirakan jatuh pada hari Sabtu, 1 Maret 2025. Tanggal ini menjadi acuan awal bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut bulan suci ini. Namun, penetapan tanggal pasti masih tergantung pada hasil Sidang Isbat yang akan diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI pada akhir bulan Syaban. Sidang Isbat ini sangat penting karena merupakan proses penetapan awal Ramadan secara resmi di Indonesia. Proses ini melibatkan perhitungan hisab dan rukyat (pengamatan hilal), sehingga penetapan tanggal awal Ramadan bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Menjelang tiba bulan Ramadan, ucapan "Marhaban ya Ramadan" menjadi ungkapan yang sering terdengar. Ucapan ini bukan sekedar ungkapan biasa, tetapi merupakan refleksi dari keimanan dan kesiapan umat Islam untuk menjalani ibadah puasa dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Ucapan ini juga menunjukkan rasa syukur atas karunia Allah SWT yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani bulan suci ini. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, ucapan ini juga menunjukkan solidaritas dan persaudaraan di antara umat Islam. Saling mengucapkan "Marhaban ya Ramadan" merupakan bentuk saling mengingatkan dan saling mendukung untuk menjalani ibadah puasa dengan baik.
Kesimpulannya, "Marhaban ya Ramadan" bukanlah sekedar ucapan sambutan yang biasa. Ungkapan ini memiliki makna yang sangat dalam dan kaya akan nilai-nilai spiritual dan budaya. Ia menunjukkan suka cita dan kesiapan umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadan sebagai sebuah anugerah dari Allah SWT untuk meningkatkan ketakwaan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Lebih dari itu, ucapan ini juga menunjukkan solidaritas dan persaudaraan di antara umat Islam dalam menjalani ibadah puasa bersama-sama. Semoga Ramadan tahun ini memberikan berkah dan rahmat bagi seluruh umat Islam di dunia.