Jakarta, 30 Januari 2025 – Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) secara resmi menetapkan awal bulan Syaban 1446 Hijriah jatuh pada hari Jumat, 31 Januari 2025 Masehi. Pengumuman ini dikeluarkan berdasarkan metode istikmal, mengingat hilal pada 29 Rajab 1446 H belum teramati secara visual di seluruh wilayah Indonesia. Keputusan tersebut tertuang dalam Pengumuman LF PBNU Nomor 22/PB.08/A.II.01.13/13/01/2025, yang ditandatangani oleh Ketua LF PBNU, KH. Sirril Wafa, dan Sekretaris LF PBNU, H. Asmui Mansur.
Pengumuman tersebut menegaskan bahwa penetapan 1 Syaban 1446 H pada 31 Januari 2025 Masehi (mulai malam Jumat) didasarkan pada metode istikmal, yakni melengkapi jumlah hari bulan Rajab menjadi 30 hari. Hal ini diambil sebagai konsekuensi dari hasil perhitungan posisi hilal pada 29 Rajab 1446 H, yang bertepatan dengan Rabu, 29 Januari 2025 Masehi. Berdasarkan data falakiyah LF PBNU, hilal pada tanggal tersebut belum memenuhi kriteria imkanur rukyat (kemungkinan melihat hilal) yang umumnya diterima, yaitu ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Analisis data falakiyah LF PBNU menunjukkan disparitas yang signifikan dalam posisi hilal di berbagai wilayah Indonesia. Data menunjukkan bahwa parameter hilal terbesar teramati di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Di lokasi tersebut, ketinggian hilal mencapai 5 derajat 35 menit, dengan elongasi hilal hakiki 8 derajat 05 menit, dan lama hilal di atas ufuk selama 26 menit 13 detik. Namun, angka ini tetap berada di bawah ambang batas yang umumnya digunakan untuk menentukan awal bulan berdasarkan rukyat (pengamatan hilal).
Sebaliknya, parameter hilal terkecil tercatat di Kota Jayapura, Provinsi Papua, dengan ketinggian hilal negatif, yakni -2 derajat 17 menit. Kondisi ini menunjukkan hilal masih berada di bawah ufuk dan tidak memungkinkan untuk diamati secara visual. Bahkan di titik markaz Jakarta, ketinggian hilal tercatat -0 derajat 46 menit 40 detik, dengan lokasi matahari terbenam di 18 derajat 13 menit 12 detik selatan titik barat. Ijtimak (konjungsi, yaitu saat matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus) sendiri terjadi pada Rabu, 29 Januari 2025 Masehi pukul 19:37:49 WIB.
Ketidakmampuan untuk merukyat hilal di seluruh wilayah Indonesia pada 29 Rajab 1446 H menjadi dasar pertimbangan LF PBNU dalam menetapkan awal bulan Syaban 1446 H melalui metode istikmal. Metode ini merupakan salah satu pendekatan dalam penentuan awal bulan kamariah yang diakui dalam fiqh Islam, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama. Metode istikmal memberikan fleksibilitas dalam penentuan awal bulan, terutama pada kondisi di mana hilal sulit diamati karena faktor cuaca atau posisi astronomis.
Keputusan LF PBNU ini tentu memiliki implikasi penting bagi umat Islam di Indonesia, khususnya bagi pemeluk Islam yang bermazhab Syafi’i yang mayoritas mengikuti ketetapan PBNU. Penetapan ini akan menentukan pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah dan wajib yang bergantung pada penentuan awal bulan Syaban, seperti puasa sunnah Syaban dan berbagai amalan lainnya yang dilakukan sepanjang bulan Syaban.
Lebih lanjut, penetapan 1 Syaban 1446 H pada 31 Januari 2025 Masehi juga berdampak pada penentuan tanggal malam Nisfu Syaban. Malam Nisfu Syaban, yang jatuh pada tanggal 15 Syaban, merupakan malam yang sangat istimewa bagi umat Islam. Banyak amalan ibadah yang dianjurkan pada malam tersebut, seperti shalat tahajud, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan berdoa.
Berdasarkan perhitungan kalender hijriah LF PBNU, malam Nisfu Syaban 1446 H jatuh pada Kamis, 13 Februari 2025 Masehi setelah Maghrib, atau dapat dikatakan malam Jumat. Hal ini memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan amalan-amalan sunnah pada malam yang penuh berkah tersebut. Persiapan ini mencakup aspek spiritual, seperti memperbanyak istighfar, taubat, dan berdoa memohon ampunan dan rahmat Allah SWT.
Penetapan tanggal 1 Syaban dan Nisfu Syaban oleh LF PBNU ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan pedoman bagi umat Islam di Indonesia dalam menjalankan ibadah dan amalan-amalan sunnah di bulan Syaban. Kejelasan ini penting untuk menghindari keraguan dan perbedaan pendapat dalam menentukan waktu pelaksanaan ibadah. Meskipun metode istikmal digunakan, proses penentuan tanggal ini tetap didasarkan pada perhitungan falakiyah yang akurat dan referensi keagamaan yang sahih.
Perlu diingat bahwa perbedaan metode penentuan awal bulan kamariah di berbagai lembaga rujukan keagamaan di Indonesia merupakan hal yang wajar. Perbedaan ini tidak serta merta menunjukkan adanya kesalahan, melainkan mencerminkan keragaman pendekatan dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam. Yang terpenting adalah menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan saling menghormati perbedaan pendapat.
Dalam konteks ini, peran LF PBNU sebagai lembaga rujukan keagamaan di Indonesia sangat penting dalam memberikan panduan dan penjelasan kepada masyarakat. Transparansi dalam proses penentuan awal bulan kamariah, serta penjelasan yang mudah dipahami, sangat membantu umat Islam dalam memahami dasar-dasar penetapan tersebut. Dengan demikian, penetapan awal bulan Syaban 1446 H oleh LF PBNU diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran Islam di Indonesia.
Ke depan, LF PBNU diharapkan terus meningkatkan akurasi perhitungan falakiyah dan memperkuat komunikasi dengan masyarakat agar informasi mengenai penentuan awal bulan kamariah dapat tersampaikan secara efektif dan efisien. Hal ini penting untuk memastikan keselarasan dalam pelaksanaan ibadah dan amalan keagamaan di kalangan umat Islam di Indonesia. Semoga dengan adanya kejelasan ini, umat Islam dapat lebih khusyuk dalam menjalankan ibadah dan amalan di bulan Syaban, menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan penuh persiapan spiritual.