Surah Al-Baqarah ayat 61 menyajikan sebuah kisah yang sarat makna tentang Bani Israil dan Nabi Musa AS, sebuah kisah yang mengungkap betapa mudahnya manusia terjerumus dalam ketidaksyukuran dan konsekuensi fatal yang mengikutinya. Ayat ini, dengan lugas dan penuh hikmah, menggambarkan kekecewaan mendalam Nabi Musa AS terhadap perilaku kaumnya yang ingkar dan jauh dari rasa syukur atas nikmat Allah SWT.
Ayat tersebut, dalam terjemahannya, menceritakan keluhan Bani Israil kepada Nabi Musa AS. Mereka, yang tengah menempuh perjalanan panjang dan berat di padang pasir Sinai, mengeluhkan monotonnya makanan yang diberikan Allah SWT, yaitu mann dan salwa. Makanan ajaib ini, yang diturunkan secara mukjizat, memberikan nutrisi lengkap dan mencukupi kebutuhan mereka. Namun, Bani Israil, dengan jiwa yang mudah merasa bosan dan takabbur, menginginkan sesuatu yang berbeda. Mereka meminta Nabi Musa AS untuk memohonkan kepada Allah SWT agar diberi sayur-mayur, seperti ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah – makanan yang umum ditemukan di pemukiman penduduk, bukan di gurun pasir yang tandus.
Permintaan ini bukan sekadar ekspresi kerinduan akan cita rasa yang beragam, melainkan sebuah cerminan ketidakpuasan yang mendalam dan kurangnya rasa syukur atas karunia Allah SWT yang telah mereka terima. Mann dan salwa, yang secara ajaib memenuhi kebutuhan gizi mereka di tengah keterbatasan lingkungan gurun, dianggap kurang bernilai dibandingkan sayur-mayur yang mudah didapatkan di pemukiman. Keinginan mereka lebih tertuju pada kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, ketimbang mensyukuri nikmat Ilahi yang konsisten dan penuh berkah.
Reaksi Nabi Musa AS terhadap permintaan kaumnya patut dicermati. Bukannya langsung mengabulkan permintaan tersebut, beliau justru mengekspresikan kekecewaan dan bahkan sedikit mencela sikap kaumnya. Dalam ayat tersebut, tersirat teguran halus namun tegas dari Nabi Musa AS. Beliau mempertanyakan pilihan mereka yang menginginkan sesuatu yang "rendah" (sayur-mayur biasa) sebagai pengganti sesuatu yang "lebih baik" (mann dan salwa). Ungkapan ini bukan sekadar perbandingan kualitas makanan, melainkan sebuah refleksi atas kualitas spiritual Bani Israil yang telah kehilangan rasa syukur dan cenderung mengejar kenikmatan duniawi semata.
Sebagai pemimpin yang bijak dan beriman, Nabi Musa AS tidak serta merta menolak permintaan tersebut. Beliau memberikan solusi yang memungkinkan kaumnya mendapatkan apa yang diinginkan, yaitu pergi ke kota terdekat. Dengan demikian, Nabi Musa AS memberikan kesempatan kepada Bani Israil untuk memenuhi keinginan mereka sendiri, sekaligus memberikan pelajaran berharga tentang usaha dan kerja keras dalam meraih apa yang diinginkan. Namun, perintah untuk pergi ke kota juga mengandung implikasi yang lebih dalam. Kepergian mereka dari padang pasir Sinai, tempat Allah SWT memberikan perlindungan dan rezeki secara ajaib, menunjukkan sebuah pilihan yang berisiko. Mereka meninggalkan perlindungan Ilahi yang telah diberikan melalui mann dan salwa, dan memilih untuk mengandalkan kemampuan mereka sendiri di tengah lingkungan yang mungkin penuh tantangan.
Tafsir Kemenag RI menjelaskan konteks yang lebih luas dari kisah ini. Keberadaan Bani Israil di padang pasir Sinai bukanlah tanpa alasan. Mereka berada di sana sebagai bagian dari perjalanan menuju negeri yang dijanjikan Allah SWT. Namun, kekurangan kesabaran, ketakutan, dan kurangnya keberanian untuk menghadapi tantangan perjalanan, menjadikan mereka enggan untuk melanjutkan perjalanan dan menghadapi potensi konflik dengan penduduk negeri yang dijanjikan. Mereka memilih untuk berdiam diri di gurun dan mengeluhkan kekurangan yang mereka alami, ketimbang berusaha keras untuk mencapai tujuan akhir mereka.
Keengganan untuk berjuang dan menghadapi tantangan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidakpuasan dan ketidaksyukuran Bani Israil. Mereka lebih memilih jalan mudah dengan mengeluh dan meminta sesuatu yang bersifat sementara, ketimbang berusaha keras untuk meraih kemenangan dan keberhasilan yang lebih besar. Sikap ini mencerminkan kurangnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT.
Sebagai konsekuensi dari ketidaksyukuran dan keengganan mereka untuk bersabar dan berjuang, Allah SWT menimpakan berbagai cobaan dan hukuman kepada Bani Israil. Ayat 61 Surah Al-Baqarah selanjutnya menyebutkan beberapa dosa besar yang dilakukan Bani Israil, yaitu mengingkari ayat-ayat Allah SWT, membunuh para Nabi, dan melanggar hukum-hukum Allah SWT. Tindakan-tindakan ini menunjukkan betapa jauhnya mereka telah menyimpang dari jalan yang benar dan betapa besarnya dosa yang telah mereka perbuat.
Penimpaan nista dan kehinaan, serta kemiskinan dan kemurkaan Allah SWT, bukanlah hukuman yang bersifat sewenang-wenang, melainkan konsekuensi logis dari perilaku mereka sendiri. Allah SWT, dalam keadilan-Nya, memberikan balasan setimpal atas perbuatan hamba-Nya. Kisah Bani Israil ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh umat manusia, bahwa ketidaksyukuran akan berbuah kehancuran dan kesengsaraan.
Secara keseluruhan, Surah Al-Baqarah ayat 61 memberikan pelajaran yang sangat mendalam tentang pentingnya bersyukur atas nikmat Allah SWT, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Kisah Bani Israil menjadi sebuah studi kasus yang relevan hingga saat ini, mengingatkan kita untuk senantiasa merenungkan nikmat yang telah Allah SWT berikan dan untuk menghindari sikap ingkar dan ketidaksyukuran yang dapat membawa malapetaka. Ayat ini juga menekankan pentingnya ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta konsekuensi dari pelanggaran terhadap hukum-hukum-Nya. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk senantiasa bersyukur, sabar, dan berjuang di jalan Allah SWT. Naudzubillah min dzalik.