Kezaliman, dalam bentuk apapun, merupakan pengalaman yang menyayat hati. Rasa marah, kecewa, dan ketidakadilan yang mendalam kerap menguasai emosi korban. Namun, di tengah gejolak batin tersebut, terdapat satu senjata ampuh yang seringkali terabaikan: doa. Ajaran Islam, khususnya melalui teladan Nabi Muhammad SAW, menekankan pentingnya pengendalian diri dan keteguhan hati dalam menghadapi situasi sulit, termasuk kezaliman. Alih-alih terjerumus dalam pusaran amarah yang destruktif, umat Islam dianjurkan untuk bermunajat kepada Allah SWT, Sang Maha Penolong, melalui doa.
Hadits Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan keampuhan doa orang yang dizalimi: "Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang yang dizalimi. Sesungguhnya doa itu akan naik ke langit amat pantas seumpama api marak ke udara." (HR. Hakim). Ungkapan ini bukan sekadar kiasan, melainkan penegasan akan kekuatan dahsyat yang terkandung dalam doa seorang yang teraniaya. Doa mereka, yang dilandasi oleh kesedihan, ketidakadilan, dan harapan akan pertolongan, memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT.
Buku "Berdoalah dalam Sujud Agar Harapmu Lekas Terwujud" karya Ipnu R Noegroho lebih jauh menjelaskan mustajabnya doa ini. Penulis mengutip sabda Rasulullah SAW yang mengategorikan doa orang yang teraniaya sebagai salah satu dari tiga jenis doa yang mustajab (pasti dikabulkan) tanpa keraguan: "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa buruk orang tua kepada anaknya." (HR. Abu Daud dan al-Tirmizi). Ketiga jenis doa ini mencerminkan kondisi-kondisi spesifik di mana kesungguhan dan keikhlasan doa sangat kentara, sehingga Allah SWT memberikan jaminan pengabulan.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa pengabulan doa tidak selalu terjadi secara instan. Allah SWT, dalam hikmah-Nya yang maha luas, mungkin memberikan pertolongan dengan cara dan waktu yang berbeda dari ekspektasi manusia. Hadits Qudsi berikut menjelaskan hal ini: "Demi kemuliaan-Ku, Aku akan menolongmu (wahai hamba yang terzalimi), sekalipun tidak segera." (HR. Tirmizi). Janji pertolongan ini menjadi penguat bagi orang yang dizalimi untuk tetap teguh berdoa dan bersabar dalam menghadapi cobaan. Kesabaran dan ketekunan dalam berdoa merupakan kunci untuk meraih pertolongan Allah SWT, meskipun prosesnya mungkin memerlukan waktu dan ujian.
Landasan keampuhan doa orang yang dizalimi tidak hanya bersumber dari hadits, tetapi juga termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat suci Al-Qur’an memberikan petunjuk dan penguatan akan pendengaran dan kepedulian Allah SWT terhadap doa hamba-Nya yang teraniaya. Salah satu ayat yang relevan adalah Surah An-Nisa’ ayat 148:
(Arab): لَا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
(Latin): Lā yuḥibbu llāhu al-jahra bis-sū’i mina al-qawli illā man ẓulima, wa kāna llāhu samī’an ‘alīmā.
(Terjemahan): Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT mendengarkan dan memahami keluh kesah orang yang dizalimi. Meskipun Allah SWT tidak menyukai perkataan buruk yang diumbar secara terang-terangan, kecuali bagi mereka yang menjadi korban kezaliman, hal ini menunjukkan pengecualian khusus bagi mereka yang teraniaya untuk mengungkapkan penderitaan mereka kepada Allah SWT melalui doa. Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Mengetahui, sehingga doa mereka akan sampai dan dipertimbangkan.
Selain Surah An-Nisa’ ayat 148, beberapa ayat lain dalam Al-Qur’an juga dapat dikaitkan dengan mustajabnya doa orang yang dizalimi. Konteks cerita para nabi dan hamba Allah yang menghadapi kezaliman dan memohon pertolongan kepada Allah SWT seringkali menjadi contoh nyata akan pengabulan doa tersebut. Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun, misalnya, menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana doa yang dipanjatkan dengan penuh keimanan dan kesabaran dapat membawa kemenangan atas kezaliman.
Berkaitan dengan bacaan doa bagi orang yang dizalimi, beberapa ayat Al-Qur’an dapat dijadikan rujukan. Salah satunya adalah Surah Al-Baqarah ayat 286:
(Arab): لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۚ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
(Latin): Lā yukallifullahu nafsan illā wus’ahā, lahā mā kasabat wa ‘alayhā māktasabat, rabbanā lā tu’ākhiżnā in nasīnā aw akhṭa’nā, rabbanā wa lā taḥmil ‘alayna iṣran kamā ḥamaltahu ‘alā al-lażīna min qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bih, wa’fu ‘annā waghfir lanā warḥamnā, anta maulānā fa’nṣurnā ‘alā al-qawmi al-kāfirīn.
**(Terjemahan): Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) "Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir."
Ayat ini mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dan pertolongan Allah SWT dalam menghadapi kesulitan, termasuk kezaliman. Doa ini menekankan pada pengakuan keterbatasan manusia dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Penggunaan frasa "rabbanā" (Ya Tuhan kami) secara berulang menunjukkan kerendahan hati dan kedekatan dengan Allah SWT.
Selain Surah Al-Baqarah ayat 286, Surah Yunus ayat 85-86 juga dapat dibaca sebagai doa ketika menghadapi kezaliman, mencerminkan doa Nabi Musa AS saat melawan kezaliman Fir’aun:
(Arab): فَقَالَ عَلَىٰ اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ٨٥ وَ نَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ٨٦
(Latin): Fa qāla ‘alā llāhi tawakkalnā, rabbanā lā taj’alnā fitnatin lil-qawmi al-ẓālimīn, wa najjinā biraḥmatika mina al-qawmi al-kāfirīn.
**(Terjemahan): Mereka pun berkata, "Kepada Allahlah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi kaum yang zalim. Selamatkanlah pula kami dengan rahmat-Mu dari kaum yang kafir."
Doa ini menekankan tawakal kepada Allah SWT dan permohonan perlindungan dari fitnah dan kaum yang zalim. Tawakal merupakan kunci penting dalam menghadapi cobaan, karena dengan tawakal, kita menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT dan meyakini bahwa Dia akan memberikan yang terbaik.
Surah Al-Qasas ayat 21 juga dapat dijadikan sebagai doa singkat namun penuh makna:
(Arab): رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
(Latin): Rabbi najjinī mina al-qawmi al-ẓālimīn.
(Terjemahan): "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari kaum yang zalim."
Doa ini sederhana namun sarat dengan harapan akan pertolongan Allah SWT dari kezaliman. Kesederhanaan doa ini menunjukkan bahwa Allah SWT menerima doa dari hati yang tulus, meskipun dengan ungkapan yang singkat.
Terakhir, Surah Al-Mu’minun ayat 94 menawarkan doa untuk dijauhkan dari orang-orang yang zalim:
(Arab): رَبِّ فَلَا تَجْعَلْنِي فِي الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
(Latin): Rabbi fa lā taj’alnī fī al-qawmi al-ẓālimīn.
(Terjemahan): "Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau menjadikan aku bagian dari kelompok yang zalim."
Doa ini merupakan permohonan perlindungan dari lingkungan yang penuh dengan kezaliman. Doa ini menekankan keinginan untuk terhindar dari pengaruh buruk dan perilaku zalim.
Kesimpulannya, doa orang yang dizalimi memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Al-Qur’an dan hadits memberikan landasan hukum yang kuat akan mustajabnya doa tersebut. Meskipun pertolongan Allah SWT mungkin tidak selalu datang secara langsung dan sesuai ekspektasi, keteguhan hati, kesabaran, dan ketekunan dalam berdoa merupakan kunci untuk meraih pertolongan dan perlindungan-Nya. Dengan memahami landasan hukum dan tata cara berdoa yang benar, umat Islam dapat menghadapi kezaliman dengan lebih tenang dan penuh harapan akan pertolongan Allah SWT. Semoga uraian di atas dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keampuhan doa orang yang dizalimi dan menjadi panduan dalam menghadapi berbagai bentuk kezaliman.