Isra Mi’raj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW ke Baitul Maqdis dan Sidratul Muntaha, merupakan peristiwa monumental dalam sejarah Islam. Lebih dari sekadar kisah perjalanan fisik, Isra Mi’raj adalah manifestasi keagungan Ilahi, sebuah mukjizat yang mengukuhkan kenabian Muhammad dan menetapkan salah satu rukun Islam yang paling fundamental: salat lima waktu. Peristiwa ini, yang terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-11 kenabian, tidak hanya memiliki signifikansi teologis yang mendalam, tetapi juga menawarkan pelajaran berharga tentang keimanan, ketaatan, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Berpijak pada berbagai sumber rujukan, termasuk terjemahan Kitab Dardir Baunama Qishshat-ul-Mi’raj karya Syaikh Najmuddin al Ghaithi, kisah Isra Mi’raj bermula di dekat Hijir Ismail, di samping Ka’bah. Nabi Muhammad SAW, dalam keadaan istirahat, dihampiri oleh tiga malaikat agung: Jibril, Mikail, dan Israfil. Kehadiran mereka menandai dimulainya perjalanan luar biasa yang akan mengubah jalannya sejarah umat manusia.
Sebelum memulai perjalanan, Nabi Muhammad SAW mengalami proses pembersihan rohani yang luar biasa. Malaikat Jibril membedah dada beliau, membersihkan hatinya dengan air zamzam yang dibawakan oleh Malaikat Mikail menggunakan bokor emas. Proses ini bukan sekadar pembersihan fisik, melainkan penyucian batiniah, di mana hati beliau diisi dengan hikmah dan iman yang sempurna. Hal ini mempersiapkan beliau untuk menghadapi pengalaman spiritual yang akan dihadapinya selama perjalanan. Proses ini melambangkan kesucian dan kesempurnaan hati yang dibutuhkan untuk menerima wahyu Ilahi.
Sebagai kendaraan, Allah SWT menyediakan Buraq, hewan tunggangan yang digambarkan sebagai makhluk bercahaya putih, lebih tinggi dari keledai tetapi lebih pendek dari bagal. Didampingi oleh Malaikat Jibril di sebelah kanan dan Mikail di sebelah kiri, Nabi Muhammad SAW memulai perjalanan ajaibnya. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik biasa, melainkan perjalanan spiritual yang melewati batas-batas ruang dan waktu.
Sepanjang perjalanan, Nabi Muhammad SAW singgah di beberapa tempat yang sarat makna sejarah kenabian. Beliau melaksanakan salat sunah di Madinah, tempat yang akan menjadi pusat perkembangan Islam; di pohon tempat Nabi Musa berteduh, mengingatkan akan perjuangan dan ujian yang dihadapi para nabi terdahulu; di Bukit Tursina, tempat Nabi Musa menerima wahyu; dan di Betlehem, tempat kelahiran Nabi Isa, menunjukkan kontinuitas pesan kenabian. Setiap pemberhentian ini menjadi refleksi perjalanan spiritual dan sejarah kenabian yang panjang. Ini menunjukkan betapa perjalanan Isra Mi’raj tidak hanya milik Nabi Muhammad SAW semata, tetapi juga merupakan bagian integral dari sejarah dan pesan kenabian secara keseluruhan.
Puncak perjalanan Isra Mi’raj adalah kedatangan Nabi Muhammad SAW di Baitul Maqdis (Yerusalem), tempat suci bagi tiga agama samawi. Di sana, Malaikat Jibril mengumandangkan adzan, sebuah panggilan salat yang familiar bagi umat Islam hingga saat ini. Peristiwa ini semakin luar biasa karena di Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW memimpin salat berjamaah bersama seluruh nabi dan rasul Allah, menunjukkan persatuan dan kesinambungan ajaran kenabian. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam salat ini menegaskan posisi beliau sebagai penutup para nabi dan rasul.
Di Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW dihadapkan pada pilihan antara dua minuman: arak dan susu. Beliau memilih susu, simbol kesucian, kemurnian, dan fitrah agama Islam. Pilihan ini menegaskan penolakan terhadap hal-hal yang merusak dan pengambilan jalan yang benar dan suci.
Setelah itu, perjalanan berlanjut menuju langit. Nabi Muhammad SAW menaiki tangga yang berasal dari surga Firdaus, jalan yang dilalui roh orang-orang beriman. Perjalanan ke langit ini bukanlah perjalanan fisik biasa, melainkan perjalanan spiritual yang memungkinkan Nabi Muhammad SAW untuk bertemu dengan para nabi terdahulu.
Di setiap langit, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para nabi dan rasul terdahulu. Di langit pertama, beliau bertemu Nabi Adam AS, menyaksikan surga dan neraka, gambaran nyata dari balasan amal manusia. Pertemuan dengan Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS di langit kedua, Nabi Yusuf AS di langit ketiga, Nabi Idris AS di langit keempat, Nabi Harun AS di langit kelima, Nabi Musa AS di langit keenam, dan Nabi Ibrahim AS di langit ketujuh, menunjukkan silsilah kenabian dan kesinambungan pesan Ilahi. Setiap pertemuan ini memberikan wawasan dan penguatan spiritual bagi Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan puncaknya adalah mencapai Sidratul Muntaha, tempat yang berada di batas akhir perjalanan manusia dan titik awal takdir Ilahi. Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon yang sangat besar dengan daun selebar telinga gajah, tempat mengalirnya empat sungai ke surga dan dua sungai ke bumi. Tempat ini melambangkan batas kemampuan manusia untuk memahami kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT. Di hadapan Sang Pencipta, beliau menerima perintah untuk melaksanakan salat lima puluh waktu sehari semalam. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya salat dalam ajaran Islam.
Namun, setelah menyampaikan perintah tersebut kepada Nabi Musa AS, beliau menyarankan agar Nabi Muhammad SAW memohon keringanan kepada Allah SWT. Nabi Musa AS menyadari bahwa beban salat lima puluh waktu akan sangat berat bagi umat manusia. Dengan persetujuan Malaikat Jibril, Nabi Muhammad SAW kembali menghadap Allah SWT dan memohon keringanan.
Proses permohonan keringanan ini berulang beberapa kali, hingga akhirnya Allah SWT mengurangi jumlah salat menjadi lima waktu sehari semalam. Meskipun jumlahnya berkurang, Allah SWT menegaskan bahwa pahala salat lima waktu ini setara dengan lima puluh waktu, menunjukkan rahmat dan kemurahan-Nya kepada umat manusia.
Meskipun Nabi Musa AS masih menyarankan untuk memohon keringanan lagi, Nabi Muhammad SAW menerima keputusan tersebut dengan ikhlas dan ridha. Kisah ini menunjukkan pentingnya tawadhu’ dan menerima takdir Ilahi.
Isra Mi’raj bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga pelajaran berharga bagi umat Islam. Perintah salat lima waktu yang diterima Nabi Muhammad SAW menjadi tonggak penting dalam ajaran Islam, menunjukkan betapa pentingnya mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah. Perjalanan ini juga mengajarkan tentang pentingnya keimanan, ketaatan, dan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup. Kisah Isra Mi’raj menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk senantiasa beribadah kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur. Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan kebesaran dan keagungan Allah SWT yang melampaui batas kemampuan manusia untuk memahami. Sebagai penutup, Isra Mi’raj adalah peristiwa yang penuh hikmah dan pelajaran yang terus relevan hingga saat ini, mengingatkan umat Islam akan pentingnya keimanan, ketaatan, dan hubungan yang erat dengan Sang Pencipta.