Peristiwa Isra Miraj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW yang luar biasa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha, merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Perjalanan ini, yang dipenuhi keajaiban dan tanda-tanda kekuasaan Ilahi, telah menjadi sumber inspirasi dan renungan bagi umat Islam selama berabad-abad. Namun, satu pertanyaan fundamental terus mengemuka: apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah SWT secara langsung selama peristiwa agung ini?
Berbagai hadits dan riwayat berusaha menjelaskan pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW selama Isra Miraj. Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam as-Suyuthi, dalam kitab al-Isra’ wa al-Mi’raj yang diterjemahkan oleh Arya Noor Amarsyah, merangkum berbagai hadits terkait peristiwa ini. Hadits yang paling sahih dan diterima secara luas, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Hamad ibn Salamah, Tsabit, dan Anas RA, menggambarkan perjalanan Nabi SAW bersama Malaikat Jibril menggunakan kendaraan ajaib bernama Buraq – hewan yang digambarkan memiliki warna putih, lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal.
Perjalanan ke langit dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa menakjubkan. Jibril AS, sebagai pemandu perjalanan Nabi SAW, meminta izin kepada para penjaga langit di setiap lapisan untuk membukakan pintu gerbang langit. Di setiap lapisan langit, Nabi SAW disambut oleh para nabi terdahulu yang menyampaikan doa dan salam untuk beliau. Puncak perjalanan ini adalah mencapai Sidratul Muntaha, pohon yang keindahannya tak terbayangkan. Rasulullah SAW sendiri menggambarkan daun-daunnya selebar telinga gajah dan buah-buahnya sebesar kendi. Keindahan Sidratul Muntaha begitu luar biasa hingga berubah rupa saat Allah SWT menyampaikan perintah-Nya, sehingga tak ada satu makhluk pun yang mampu menggambarkannya secara sempurna.
Di Sidratul Muntaha inilah, Allah SWT mewahyukan perintah salat lima puluh waktu sehari semalam kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi SAW turun kembali dan bertemu dengan Nabi Musa AS. Nabi Musa AS, setelah mendengar kewajiban salat lima puluh waktu tersebut, menyarankan Nabi Muhammad SAW untuk memohon keringanan kepada Allah SWT, mengingat beratnya beban tersebut bagi umat manusia. Nabi Musa AS sendiri mengemukakan pengalamannya dalam memimpin Bani Israil sebagai pertimbangan.
Setelah beberapa kali permohonan, Allah SWT mengabulkan permohonan Nabi Muhammad SAW dan meringankan kewajiban salat menjadi lima waktu sehari semalam, dengan pahala setiap salat dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Kisah ini menunjukkan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang, selalu mempertimbangkan kemampuan dan kondisi umatnya.
Namun, pertanyaan krusial tetap tertuju pada apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah SWT secara langsung. Inilah inti dari perdebatan dan interpretasi yang beragam. Hadits-hadits yang membahas hal ini perlu dikaji secara cermat dan komprehensif.
Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits yang mencatat pertanyaan serupa yang diajukan kepada Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW. Masruq meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Aisyah RA, "Wahai Ibu, apakah Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhan?" Jawaban Aisyah RA sangat tegas dan berbobot, mencerminkan pemahaman mendalam tentang sifat Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Suci. Aisyah RA menyatakan, "Sungguh bulu romaku berdiri karena pertanyaanmu itu, di manakah (pemahamanmu) dari tiga hal berikut ini:
-
Siapa yang menerangkan kepadamu bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Tuhan, maka ia dusta. Aisyah RA kemudian mengutip ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (QS. Al-An’am: 103), menegaskan keagungan dan kemahakuasaan Allah SWT yang melampaui batas persepsi manusia. Allah SWT Maha Melihat, namun tidak dapat dilihat oleh makhluk-Nya.
-
Dan siapa yang mengatakan bahwa ia mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, maka itu pun sungguh dusta. Aisyah RA mengutip ayat Al-Quran yang menekankan ketidakmampuan manusia untuk mengetahui masa depan (QS. Luqman: 34), menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia di hadapan ilmu Allah SWT yang Maha Luas.
-
Dan siapa yang berkata bahwa Nabi Muhammad menyembunyikan apa yang diwahyukan oleh Allah maka sungguh orang itu dusta. Aisyah RA mengutip ayat Al-Quran yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan wahyu Allah SWT tanpa mengurangi sedikit pun (QS. Al-Maidah: 67), menekankan kejujuran dan amanah Nabi SAW dalam menyampaikan risalah Ilahi.
Aisyah RA kemudian menambahkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melihat Jibril AS dalam wujud aslinya sebanyak dua kali. Hal ini menunjukkan penglihatan Nabi SAW terhadap makhluk Allah SWT yang paling mulia dan terdekat dengan-Nya.
Hadits lain dalam Shahih Bukhari juga mendukung pandangan ini. Hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melihat Allah SWT secara langsung, tetapi beliau telah melihat Malaikat Jibril AS dalam wujud aslinya yang mampu menutupi ufuk. Ini menunjukkan keagungan dan kekuasaan Jibril AS sebagai utusan Allah SWT.
Perlu dipahami bahwa kemampuan manusia untuk memahami dan menggambarkan Allah SWT sangat terbatas. Allah SWT berada di luar batas ruang dan waktu, melampaui segala bentuk persepsi manusia. Pengalaman Nabi Muhammad SAW dalam Isra Miraj merupakan pengalaman spiritual yang tak terukur, yang melampaui kemampuan manusia untuk sepenuhnya memahami dan menjelaskan.
Namun, keyakinan akan keberadaan dan keagungan Allah SWT tetap menjadi pondasi iman umat Islam. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak melihat Allah SWT secara langsung, peristiwa Isra Miraj membuktikan kedekatan dan komunikasi langsung antara Nabi SAW dengan Allah SWT, yang diwujudkan melalui wahyu dan pengalaman spiritual yang luar biasa.
Dalam konteks akhirat, Shahih Bukhari juga mencatat hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa RA, yang menyebutkan bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah SWT di akhirat kelak tanpa hijab (penghalang). Hadits ini menjelaskan bahwa di surga, khususnya Jannatu ‘Adn, tidak ada penghalang antara Allah SWT dengan hamba-hamba-Nya yang beriman. Namun, ini adalah pemandangan di akhirat, bukan di dunia. Penglihatan di akhirat ini berbeda dengan penglihatan di dunia, yang terbatas oleh kemampuan pancaindra manusia.
Kesimpulannya, pertanyaan apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah SWT dalam peristiwa Isra Miraj merupakan pertanyaan yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap sifat Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Suci. Hadits-hadits sahih menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak melihat Allah SWT secara langsung, namun beliau mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa dan berkomunikasi langsung dengan Allah SWT melalui wahyu dan perantara Malaikat Jibril AS. Kemampuan manusia untuk memahami dan menggambarkan Allah SWT sangat terbatas, dan keyakinan akan keberadaan dan keagungan-Nya tetap menjadi pondasi iman umat Islam. Penglihatan Allah SWT di akhirat kelak bagi orang-orang mukmin menjadi sebuah janji yang menunjukkan kebahagiaan dan kedekatan abadi dengan-Nya. Wallahu a’lam bishawab.