Peristiwa Isra Miraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam semalam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha, merupakan salah satu peristiwa monumental dalam sejarah Islam. Kejadian ajaib yang melampaui batas nalar manusia ini, tak hanya menjadi ujian keimanan bagi umat muslim di masa awal, namun juga menjadi tonggak penting dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Di tengah gelombang keraguan dan cemoohan kaum Quraisy, muncullah sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat setia Nabi yang dengan teguh membenarkan peristiwa tersebut, sekaligus menjadi pilar kokoh bagi keimanan umat yang masih rapuh.
Abu Bakar, yang namanya berarti "Bapak Bakar", bukanlah sosok anonim. Ia merupakan salah satu dari Assabiqunal Awwalun, golongan pertama yang memeluk Islam dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup Rasulullah SAW. Lahir beberapa tahun setelah Tahun Gajah – pendapat para ulama berbeda, ada yang menyebut tiga tahun, ada pula yang menyebutkan dua tahun beberapa bulan setelahnya – Abu Bakar, yang bernama lengkap Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi, memiliki silsilah keturunan yang terhormat dan terhubung dengan Rasulullah SAW. Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW sendiri mengubah namanya menjadi Abdullah bin Abu Quhafah, menunjukkan penghormatan dan sekaligus penegasan identitas keislamannya.
Kepercayaan Abu Bakar terhadap peristiwa Isra Miraj bukanlah semata-mata penerimaan pasif. Ia merupakan buah dari pemahaman mendalam akan karakter dan kejujuran Nabi Muhammad SAW. Ketika kabar Isra Miraj tersebar, reaksi kaum Quraisy sangatlah keras. Mereka mencemooh, mengejek, dan berusaha meruntuhkan kredibilitas Nabi SAW. Bahkan, di antara para sahabat yang baru memeluk Islam pun ada yang merasa ragu dan bimbang. Keraguan ini bukan tanpa alasan; peristiwa Isra Miraj, dengan detail perjalanan yang luar biasa, terlalu fantastis untuk diterima oleh akal pikiran manusia pada masa itu.
Di tengah situasi yang penuh tantangan tersebut, para sahabat yang ragu dan bimbang mencari Abu Bakar untuk meminta nasihat dan penjelasan. Mereka menceritakan apa yang telah didengar dari Rasulullah SAW, mengungkapkan keraguan mereka akan kebenaran peristiwa tersebut. Awalnya, Abu Bakar mungkin merasa heran dan sedikit ragu akan kebenaran cerita yang disampaikan sahabat-sahabatnya. Namun, kepercayaan mendalamnya kepada Rasulullah SAW melebihi segala keraguan. Ia tidak terjebak dalam logika duniawi yang terbatas, melainkan berpegang teguh pada keyakinan akan kejujuran dan kenabian Rasulullah SAW.
Tanpa ragu, Abu Bakar menyatakan keyakinannya. Ia tidak membutuhkan bukti-bukti empiris atau penjelasan ilmiah untuk membenarkan peristiwa Isra Miraj. Baginya, ucapan Rasulullah SAW sudah cukup. Ia kemudian menemui Rasulullah SAW, mendengarkan langsung penjelasan Nabi tentang perjalanan luar biasa tersebut, dan bahkan mencocokkan detail-detail perjalanan dengan pengetahuan yang dimilikinya tentang Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa). Pengalaman Abu Bakar mengunjungi Baitul Maqdis sebelumnya memberikannya pengetahuan yang cukup untuk memvalidasi cerita Nabi. Setelah mendengarkan penjelasan Nabi SAW dan membandingkannya dengan pengetahuannya, Abu Bakar dengan mantap menyatakan, "Ya Rasulullah, saya percaya."
Pernyataan keyakinan Abu Bakar ini bukan sekadar ucapan biasa. Ia merupakan penegasan iman yang luar biasa, di tengah gelombang skeptisisme dan penolakan. Kepercayaan Abu Bakar bukan hanya membenarkan peristiwa Isra Miraj, melainkan juga memperkuat iman para sahabat yang ragu. Keteguhan hatinya menjadi contoh teladan bagi seluruh umat Islam, menunjukkan bagaimana iman yang sejati mampu mengatasi keraguan dan tantangan.
Sejak saat itu, Rasulullah SAW memberikan gelar Ash-Shiddiq kepada Abu Bakar, yang berarti "yang sangat jujur dan banyak membenarkan." Gelar ini bukanlah sekadar penghargaan, melainkan pengakuan atas keteguhan iman dan kepercayaan Abu Bakar yang luar biasa. Gelar ini menjadi simbol dari keteguhan hati dan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Kepercayaan Abu Bakar tidak berhenti pada penerimaan semata. Ia bahkan menantang kaum musyrik, menyatakan bahwa sekalipun ada berita yang lebih luar biasa dari Isra Miraj, ia tetap akan percaya jika berita tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Sikap berani dan teguh ini menunjukkan keimanannya yang mendalam dan komitmennya yang tak tergoyahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam membenarkan peristiwa Isra Miraj bukanlah sekadar cerita sejarah. Ia merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam sepanjang zaman. Kisah ini mengajarkan tentang pentingnya:
-
Kepercayaan kepada Rasulullah SAW: Kepercayaan Abu Bakar berakar pada keyakinan yang mendalam akan kejujuran dan kenabian Rasulullah SAW. Ia tidak ragu untuk menerima apa yang disampaikan Nabi, meskipun hal itu melampaui batas nalar manusia.
-
Keteguhan Iman: Di tengah tekanan dan keraguan, Abu Bakar tetap teguh pada imannya. Ia tidak terpengaruh oleh cemoohan dan skeptisisme kaum Quraisy.
-
Keberanian Menyatakan Kebenaran: Abu Bakar berani menyatakan keyakinannya, meskipun hal itu berisiko. Ia tidak takut untuk membela kebenaran, meskipun kebenaran itu dianggap aneh dan tidak masuk akal oleh sebagian orang.
-
Mencari Ilmu dan Pemahaman: Abu Bakar tidak hanya menerima berita Isra Miraj secara pasif. Ia juga berusaha untuk memahami dan memvalidasi berita tersebut dengan pengetahuannya sendiri.
Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan peristiwa Isra Miraj menjadi bukti nyata bahwa iman yang sejati mampu mengatasi segala tantangan dan keraguan. Keteguhan hati dan kepercayaan yang tak tergoyahkan kepada Rasulullah SAW merupakan kunci untuk meraih kekuatan dan kedamaian batin. Kisah ini menjadi inspirasi bagi kita untuk selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dan memperkuat iman kita di tengah arus informasi dan tantangan zaman modern. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita untuk selalu meneladani keteguhan iman dan keberanian Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.