Peristiwa Isra dan Mikraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW yang luar biasa dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha, merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam. Kejadian spektakuler ini, yang diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran (QS Al-Isra’ [17]:1 dan QS An-Najm [53]:13-18) dan diperkuat oleh hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah SAW – sebanyak 20 riwayat dari 6 sahabat dalam Shahih Al-Bukhari dan 18 riwayat dari 7 sahabat dalam Shahih Muslim – bukan sekadar kisah perjalanan, melainkan mukjizat yang menguji dan menguji keimanan setiap muslim. Peringatan Isra dan Mikraj setiap tahunnya menjadi momentum penting untuk merenungkan keagungan peristiwa ini dan memperkuat keimanan.
Isra, perjalanan malam hari dari Mekkah ke Yerusalem, dan Mikraj, perjalanan selanjutnya menuju Sidratul Muntaha, menantang nalar manusia. Bagaimana mungkin perjalanan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan bagi penduduk Mekkah untuk mencapai Syam, dapat ditempuh Nabi Muhammad SAW hanya dalam semalam? Perjalanan yang dimulai setelah shalat Isya’ dan kembali sebelum shubuh ini, menjadi bukti nyata kekuasaan Allah SWT dan kenabian Rasulullah SAW. Ketidakmampuan akal manusia untuk memahami sepenuhnya peristiwa ini justru menjadi ujian iman. Sebagaimana disebutkan dalam sejumlah literatur, seperti As Sirah An Nabawiyah fi Dhau Al Mashaadir Al Ashliyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah, kejadian ini mengungkapkan dimensi qudrah Ilahiyah (kekuasaan Allah) yang melampaui batas-batas nalar manusia.
Tidak mengherankan jika sebagian kalangan, yang lemah imannya, bahkan murtad setelah mendengar kisah Isra dan Mikraj. Hal ini diungkap dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Peristiwa ini menjadi ikhtibar imani, ujian iman yang sesungguhnya. Pemahaman atas Isra dan Mikraj tidak cukup hanya dengan membaca teksnya secara literal, melainkan membutuhkan qiro’atul iman, pemahaman yang dilandasi keimanan yang kuat. Hanya dengan iman yang teguh, kita dapat menerima dan memahami keajaiban ini sebagai bukti nyata kekuasaan Allah SWT, kekuasaan yang mampu mewujudkan "Kun Fayakun" – jadilah maka jadilah. Kejadian ini memperkuat keyakinan kita akan kebesaran dan keagungan Allah SWT, serta memperluas pemahaman kita tentang hal-hal ghaib.
Ayat Al-Quran yang mengawali kisah Isra dan Mikraj dengan kalimat "Maha Suci Allah…", mengajak kita untuk merenungkan keagungan peristiwa tersebut. Ungkapan "telah memperjalankan hamba-Nya…" menunjukkan penghormatan dan pemuliaan Allah SWT terhadap Rasulullah SAW, menegaskan posisi beliau sebagai hamba pilihan yang mendapatkan derajat istimewa. Namun, penting untuk diingat bahwa keistimewaan ini tidak meniadakan kehambaan beliau, berbeda dengan keyakinan sebagian pemeluk agama lain terhadap nabi Isa AS. Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam At Tafsir Al Munir menjelaskan bahwa perjalanan Isra dan Mikraj dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan ruh dan jasad, dalam keadaan sadar dan menunggangi Buraq, bukan dalam mimpi atau keadaan tidur, seperti pendapat sebagian orang.
Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal Al-Quran memberikan tafsir yang lebih mendalam. Beliau melihat perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sebagai perjalanan spiritual yang menghubungkan akidah tauhid sejak zaman Nabi Ibrahim dan Ismail AS hingga Nabi Muhammad SAW. Perjalanan ini juga menghubungkan tempat-tempat suci agama-agama samawi, menunjukkan pewarisan risalah kenabian dari para nabi sebelumnya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Perjalanan monumental ini melampaui dimensi ruang dan waktu, mengandung makna yang jauh lebih luas daripada yang tampak pada pandangan pertama.
Beberapa ulama menyebut perjalanan Isra dan Mikraj sebagai Rihlatu’t Tasyrif, perjalanan kehormatan dan pemuliaan, di mana Rasulullah SAW hanya perlu duduk tenang, karena seluruh akomodasi dan transportasi telah disiapkan oleh Allah SWT. Hal ini berbeda dengan peristiwa Hijrah, yang disebut Rihlatu’t Taklif, perjalanan perjuangan yang penuh tantangan dan memerlukan perencanaan, strategi, dan pengorbanan. Meskipun dalam peristiwa Hijrah, Rasulullah SAW menghadapi ancaman pembunuhan dan seharusnya membutuhkan kendaraan super cepat seperti Buraq, Allah SWT tidak memberikannya. Perbedaan ini memberikan pelajaran berharga: dalam berjuang untuk perubahan yang lebih baik, kita tidak boleh hanya berdiam diri, melainkan harus mengerahkan seluruh kemampuan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Masjidil Aqsha di Palestina, yang disebut Allah SWT sebagai tempat yang "telah Kami berkahi sekelilingnya", memiliki keberkahan material dan spiritual yang luar biasa. Keberkahan material meliputi kesuburan tanah, melimpahnya air dan pepohonan, serta letak geografis yang strategis di jantung negeri-negeri Islam, berbatasan dengan Lebanon, Suriah, Yordania, Teluk Aqabah, dan Sinai, Mesir. Imam Al-Ashfihani mendefinisikan barakah secara syar’i sebagai "tetapnya kebaikan Ilahi pada sesuatu". Imam Ibnu Katsir dan Ibnu’l Jauzi dalam tafsir mereka menekankan kesuburan tanah dan melimpahnya air di Palestina sebagai bagian dari keberkahan tersebut.
Keberkahan spiritual Masjidil Aqsha dan Palestina meliputi: pertama, sebagai tempat diutusnya para nabi dan tempat turunnya malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih; kedua, sebagai tempat pemakaman para nabi; dan ketiga, sebagai bumi Padang Mahsyar, tempat pertanggungjawaban di akhirat. Konflik dan permasalahan di Palestina saat ini, yang telah menjadi isu kemanusiaan internasional ("Free Palestine"), juga merupakan bagian dari konsekuensi dari keberkahan dan sejarah panjang tempat suci ini.
Isra dan Mikraj, sebagai mukjizat yang menguji iman, mengajak kita untuk merenungkan kembali kekuasaan Allah SWT yang maha besar dan maha agung. Peristiwa ini bukan sekadar kisah perjalanan, melainkan bukti nyata dari "Kun Fayakun"-Nya, yang mampu mewujudkan apa pun yang Dia kehendaki. Semoga peringatan Isra dan Mikraj ini semakin memperkuat keimanan kita dan mendorong kita untuk selalu berserah diri kepada Allah SWT.