Peristiwa Isra Miraj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW ke Masjidil Aqsa dan Sidratul Muntaha, merupakan momen sakral bagi umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa ini menandai penerimaan perintah salat lima waktu, pilar penting dalam ibadah Islam. Di Indonesia, Isra Miraj dirayakan sebagai hari libur nasional berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, mencerminkan pentingnya peristiwa ini dalam kalender keagamaan nasional. Peringatannya pun beragam, mulai dari pengajian, lomba-lomba bernuansa Isra Miraj, hingga ibadah sunnah sebagai bentuk penghormatan dan refleksi atas perjalanan suci Nabi. Namun, di beberapa negara mayoritas Muslim, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), pendekatan terhadap peringatan Isra Miraj berbeda signifikan. Ketiadaan perayaan resmi di kedua negara ini memicu pertanyaan dan diskusi mengenai perbedaan interpretasi dan praktik keagamaan di dunia Islam.
Arab Saudi: Konservatisme dan Fokus pada Ibadah Harian
Arab Saudi, sebagai kiblat umat Islam dunia, tidak menetapkan Isra Miraj sebagai hari libur nasional dan tidak menyelenggarakan perayaan khusus untuk memperingatinya. Hal ini, menurut berbagai sumber, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor kunci:
-
Pendekatan Konservatif terhadap Tradisi: Arab Saudi dikenal menganut interpretasi ajaran Islam yang cenderung konservatif. Perayaan-perayaan keagamaan yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits cenderung dihindari. Prioritas utama tetap pada pemahaman dan praktik ajaran inti Islam, mengutamakan keaslian dan menghindari penambahan-penambahan yang dianggap tidak esensial. Hal ini sejalan dengan penekanan pada pemahaman literal teks suci dan menghindari praktik-praktik yang dianggap bid’ah (inovasi dalam agama).
-
Fokus pada Ibadah Harian: Masyarakat Saudi secara umum lebih menekankan pada konsistensi dalam menjalankan ibadah harian, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan, dan zakat. Ibadah-ibadah rutin ini dianggap sebagai inti dari ketaatan kepada Allah SWT, sehingga perayaan-perayaan tambahan, termasuk Isra Miraj, dianggap kurang penting dibandingkan dengan konsistensi dalam menjalankan ibadah wajib. Prioritas ini mencerminkan penekanan pada aspek individual dalam beribadah, bukan pada perayaan-perayaan massal.
-
Aspek Sosial dan Budaya: Tradisi dan budaya Arab Saudi juga turut membentuk pendekatan terhadap perayaan keagamaan. Kesederhanaan dan fokus pada esensi ajaran Islam menjadi ciri khasnya. Perayaan-perayaan besar cenderung dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang memiliki landasan yang sangat kuat dalam teks suci dan sunnah Nabi. Isra Miraj, meskipun peristiwa penting, mungkin dianggap tidak memiliki bobot yang sama dengan perayaan-perayaan besar lainnya seperti Idul Fitri dan Idul Adha.
-
Pengaruh Wahhabisme: Beberapa sumber menghubungkan pendekatan Arab Saudi terhadap Isra Miraj dengan pengaruh gerakan Wahhabisme. Gerakan ini, yang dipelopori oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab pada abad ke-18, menekankan pada pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW secara literal. Wahhabisme menolak praktik-praktik keagamaan yang dianggap sebagai bid’ah atau penyimpangan dari ajaran asli Islam. Oleh karena itu, perayaan-perayaan yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, termasuk perayaan Isra Miraj yang tidak secara eksplisit disebutkan sebagai hari raya, cenderung dihindari. Namun, perlu dicatat bahwa pengaruh Wahhabisme ini merupakan perspektif yang perlu dikaji lebih lanjut dan tidak selalu diterima secara universal di kalangan ulama.
Uni Emirat Arab: Pergeseran Kebijakan dan Peringatan Alternatif
Uni Emirat Arab (UEA), negara tetangga Arab Saudi yang juga mayoritas penduduknya Muslim, memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Meskipun UEA juga tidak lagi menetapkan Isra Miraj sebagai hari libur nasional sejak tahun 2019, perayaan Isra Miraj masih tetap dirayakan oleh sebagian masyarakatnya. Sebelumnya, Isra Miraj termasuk dalam daftar hari libur resmi hingga tahun 2018. Perubahan kebijakan ini menunjukkan adanya pergeseran prioritas dalam penetapan hari libur nasional, mungkin didorong oleh berbagai faktor, termasuk pertimbangan ekonomi dan efisiensi administrasi.
Meskipun tidak ada libur nasional, masyarakat UEA masih memperingati Isra Miraj dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti salat tahajud, pembacaan Al-Qur’an, mendongeng tentang Nabi Muhammad SAW kepada anak-anak, dan berkumpul di masjid untuk mendengarkan khutbah dan mengikuti kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tidak ada perayaan resmi, makna dan pentingnya peristiwa Isra Miraj tetap dihargai dan dirayakan secara individual dan komunitas. Perbedaan pendekatan ini antara Arab Saudi dan UEA menunjukkan bahwa meskipun keduanya negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, interpretasi dan praktik keagamaan dapat bervariasi.
Kesimpulan: Pluralitas dalam Pemahaman dan Perayaan Keagamaan
Perbedaan pendekatan Arab Saudi dan UEA dalam memperingati Isra Miraj menyoroti pluralitas dalam pemahaman dan praktik keagamaan di dunia Islam. Tidak ada satu cara yang benar dalam merayakan peristiwa keagamaan, dan perbedaan pendekatan ini mencerminkan keragaman budaya, tradisi, dan interpretasi ajaran Islam di berbagai wilayah. Penting untuk memahami bahwa perbedaan ini tidak serta-merta menunjukkan adanya pertentangan atau ketidaksepahaman dalam keyakinan dasar Islam. Sebaliknya, perbedaan ini justru memperkaya khazanah pemahaman dan praktik keagamaan dalam konteks budaya masing-masing. Perbedaan ini juga mengingatkan kita akan pentingnya toleransi dan saling menghormati dalam keberagaman pemahaman keagamaan. Studi lebih lanjut mengenai faktor-faktor sosial, politik, dan teologis yang membentuk perbedaan ini diperlukan untuk memahami lebih dalam dinamika keagamaan di dunia Islam. Perbedaan ini bukan menjadi alasan untuk perpecahan, melainkan sebagai kesempatan untuk saling belajar dan memperkaya pemahaman tentang Islam yang lebih komprehensif dan inklusif.