Peristiwa Isra Mi’raj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, lalu menuju Sidratul Muntaha, merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam Islam. Perjalanan ajaib ini, yang terjadi dalam sekejap mata, menempuh jarak ribuan kilometer yang secara manusia mustahil dilalui dalam waktu semalam. Pemahaman atas jarak geografis antara kedua masjid suci ini, dan alasan pemilihan Masjidil Aqsa sebagai titik keberangkatan menuju Sidratul Muntaha, membuka jendela pemahaman yang lebih dalam tentang peristiwa monumental ini.
Jarak Fisik: Makkah-Yerusalem, Sebuah Perjalanan Ribuan Kilometer
Masjidil Haram, kiblat umat Islam, berdiri megah di jantung Kota Makkah, Arab Saudi. Sementara Masjidil Aqsa, masjid suci ketiga dalam Islam, terletak di Kota Yerusalem, Palestina. Jarak geografis antara kedua lokasi ini, menurut berbagai sumber rujukan seperti buku "Misi di Planet Biru" karya Anita Sutrisnawati, diperkirakan mencapai sekitar 1.500 kilometer. Jarak ini, jika ditempuh dengan perjalanan darat konvensional, akan membutuhkan waktu yang signifikan. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa perjalanan dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 40 hari, sementara dengan kendaraan modern seperti mobil, perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 15 jam.
Namun, keajaiban Isra Mi’raj terletak pada kemampuan Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril untuk menempuh jarak tersebut dalam waktu singkat, hanya dalam satu malam. Hal ini dimungkinkan berkat kendaraan ajaib yang dinaiki Rasulullah, yaitu Buraq, yang kecepatannya digambarkan melebihi kecepatan manusia biasa, bahkan diperkirakan menyamai kecepatan cahaya. Kecepatan luar biasa Buraq ini hanya mungkin terjadi atas izin dan kuasa Allah SWT, menunjukkan kekuasaan Ilahi yang melampaui batas-batas ruang dan waktu sebagaimana yang dipahami manusia.
Masjidil Aqsa: Lebih dari Sekedar Titik Transit
Perjalanan Isra Mi’raj bukan sekadar perjalanan fisik dari Makkah ke Yerusalem. Pemilihan Masjidil Aqsa sebagai titik keberangkatan menuju Sidratul Muntaha bukanlah kebetulan. Banyak ulama dan cendekiawan Muslim telah meneliti dan mengemukakan berbagai alasan teologis dan historis di balik pemilihan lokasi suci ini. Buku "Kejadian Isra Mi’raj" karya Shabri Shaleh Anwar, misalnya, menekankan penggunaan kata kerja "asraa" (memperjalankan) bukan "saraa" (berjalan) dalam narasi Isra Mi’raj. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan tersebut bukan perjalanan biasa yang dilakukan atas kemampuan Nabi Muhammad SAW sendiri, melainkan perjalanan yang difasilitasi dan dikendalikan oleh Allah SWT.
Beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan alasan pemilihan Masjidil Aqsa sebagai titik keberangkatan antara lain:
-
Posisi Strategis: Beberapa literatur, seperti kitab Marah Labid atau Tafsir al-Munir karya Imam An-Nawawi, menyatakan bahwa Masjidil Aqsa memiliki posisi geografis yang tegak lurus dengan jalan menuju langit. Pandangan ini menyinggung aspek saintifik, menunjukkan bahwa lokasi Masjidil Aqsa mungkin dipilih karena dianggap sebagai titik akses yang paling optimal menuju langit. Tentu saja, pemahaman ini harus diinterpretasikan dalam konteks keajaiban ilahi yang melampaui hukum-hukum fisika yang dikenal manusia.
-
Pusat Sejarah Kenabian: Masjidil Aqsa memiliki sejarah panjang sebagai tempat suci yang dikunjungi oleh banyak nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Pemilihan Masjidil Aqsa dapat diartikan sebagai pengakuan atas sejarah kenabian sebelumnya dan pengumpulan keutamaan-keutamaan spiritual yang telah terpatri di tempat tersebut. Peristiwa ini dapat dimaknai sebagai penghormatan dan pengakuan atas warisan kenabian yang telah ada sebelumnya.
-
Simbol Akhirat: Ada juga pendapat yang mengaitkan Masjidil Aqsa dengan Padang Mahsyar, tempat perhimpunan manusia di hari kiamat. Pengalaman Nabi Muhammad SAW di Masjidil Aqsa, dengan pemandangan yang digambarkan mirip dengan kondisi akhirat, menunjukkan bahwa lokasi tersebut dipilih sebagai tempat yang tepat untuk mempersiapkan Nabi Muhammad SAW menghadapi perjalanan spiritual yang lebih tinggi menuju Sidratul Muntaha, tempat yang mewakili pertemuan langsung dengan Allah SWT. Pemilihan ini dapat diartikan sebagai simbol persiapan spiritual sebelum menghadapi pengalaman spiritual yang maha dahsyat.
-
Persiapan Menuju Sidratul Muntaha: Masjidil Aqsa, sebagai tempat suci yang sarat dengan sejarah dan spiritualitas, mungkin dipilih sebagai tempat persiapan spiritual sebelum Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan ke Sidratul Muntaha. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dapat dimaknai sebagai proses penyucian dan penguatan spiritual sebelum menghadapi pengalaman yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Isra Mi’raj, Sebuah Perjalanan Spiritual yang Tak Terbatas
Peristiwa Isra Mi’raj bukan hanya sekadar perjalanan fisik dari Makkah ke Yerusalem, melainkan perjalanan spiritual yang luar biasa yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan Allah SWT. Jarak geografis antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, yang mencapai 1.500 kilometer, menjadi latar belakang yang memperkuat keajaiban perjalanan ini. Pemilihan Masjidil Aqsa sebagai titik keberangkatan menuju Sidratul Muntaha memiliki makna yang dalam, menunjukkan aspek historis, teologis, dan spiritual yang saling terkait. Meskipun berbagai interpretasi dan penjelasan telah dikemukakan, hakikat Isra Mi’raj tetap merupakan misteri ilahi yang melampaui pemahaman manusia biasa. Peristiwa ini tetap menjadi sumber inspirasi dan pengingat akan kekuasaan Allah SWT serta pentingnya iman dan ketaatan kepada-Nya. Wallahu a’lam bisshawab.