Peristiwa Isra Miraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, menandai perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW yang luar biasa. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan ruhani yang membawa Nabi Muhammad SAW menembus batas-batas alam semesta menuju Sidratul Muntaha, titik tertinggi pencapaian spiritual. Tujuan utama perjalanan ini, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai riwayat dan tafsir, adalah untuk menerima wahyu mengenai sholat lima waktu, sebuah rukun Islam yang fundamental. Namun, perjalanan menuju penetapan jumlah rakaat sholat tersebut sarat dengan makna negosiasi, permohonan, dan hikmah ilahiah.
Sidratul Muntaha: Pohon di Ujung Alam Semesta
Sidratul Muntaha, yang secara harfiah berarti "pohon yang paling ujung," merupakan tempat yang sakral dan penuh misteri. Etimologi kata ini berasal dari bahasa Arab, dengan "sidrah" merujuk pada pohon bidara, dan "muntaha" berarti ujung atau puncak. Berbagai sumber, termasuk Ensiklopedi Agama dan Filsafat karya Mochtar Effendy dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai titik paling tinggi dan akhir di atas langit ketujuh, tempat yang tak terbayangkan oleh akal manusia biasa. Tempat ini bukan sekadar lokasi geografis, melainkan representasi dari batas pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memahami keagungan Ilahi.
Buku Kisah dan Hikmah Mikraj Rasulullah karya Imam Al-Qusyairi menawarkan berbagai perspektif mengenai Sidratul Muntaha. Beberapa riwayat menyebutnya sebagai tujuan akhir bagi siapa pun yang naik ke langit, tempat berhentinya arwah para syuhada, atau bahkan tujuan akhir perjalanan malaikat. Ada pula yang berpendapat bahwa Sidratul Muntaha merupakan tempat bertemunya seluruh ilmu pengetahuan makhluk, atau tempat yang hanya bisa dilewati oleh Nabi Muhammad SAW. Keunikan Sidratul Muntaha juga digambarkan dalam berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa sehelai daunnya saja mampu menaungi seluruh alam semesta, dan cahayanya mampu menerangi seluruh penghuni bumi. Deskripsi ini melukiskan keagungan dan keistimewaan Sidratul Muntaha yang melampaui batas-batas pemahaman manusia.
Ayat Al-Qur’an surat An-Najm (53): 13-17 juga menyebutkan Sidratul Muntaha, menjelaskan pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril dalam wujud aslinya di tempat tersebut. Ayat ini menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai tempat yang diliputi oleh sesuatu yang melampaui batas penglihatan manusia, menekankan keagungan dan kesakralan tempat tersebut. Deskripsi ini diperkuat oleh berbagai hadits yang menyebutkan keindahan Sidratul Muntaha yang tak terbayangkan, dengan buah-buahan dan perhiasan yang melimpah ruah. Buku Surga karya Mahir Ahmad Ash-Syufiy juga membahas ayat ini, menghubungkannya dengan penglihatan Nabi Muhammad SAW terhadap Jibril dalam wujud aslinya dan letak Sidratul Muntaha yang berada di dekat surga Ma’wa.
Pertemuan dengan Jibril dan Penerimaan Wahyu Sholat
Perjalanan Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha tidak hanya diwarnai oleh pemandangan alam semesta yang menakjubkan, tetapi juga pertemuan-pertemuan penting. Pertemuan dengan Malaikat Jibril dalam wujud aslinya merupakan salah satu peristiwa krusial. Berbagai riwayat menggambarkan Jibril dengan detail yang luar biasa, menggambarkan pakaiannya yang terbuat dari sutra hijau dan memiliki enam ratus sayap yang mampu menutupi cakrawala jika dibentangkan. Keindahan Jibril, dengan perhiasan dan kilauan yang mempesona, semakin memperkuat gambaran keagungan alam spiritual yang dihadapi Nabi Muhammad SAW.
Setelah melewati Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW bahkan mencapai tempat yang lebih tinggi, tempat yang bahkan Jibril pun enggan melampaui sendirian. Di tempat inilah, Nabi Muhammad SAW mendengar suara goresan pena, yang oleh para ulama diartikan sebagai penentu takdir, dan menerima perintah sholat sebanyak lima puluh waktu dalam sehari semalam. Perintah ini, meskipun berat, diterima oleh Nabi Muhammad SAW dengan penuh ketaatan.
Negosiasi dengan Allah SWT dan Nabi Musa AS
Namun, perjalanan spiritual ini tidak berhenti sampai di situ. Setelah menerima perintah sholat lima puluh waktu, Nabi Muhammad SAW turun dan bertemu dengan Nabi Musa AS. Nabi Musa AS, dengan pengalamannya memimpin Bani Israil, menyarankan Nabi Muhammad SAW untuk meminta keringanan kepada Allah SWT, karena beliau khawatir umat Nabi Muhammad SAW tidak akan mampu melaksanakan sholat sebanyak itu.
Peristiwa ini menggambarkan sebuah proses negosiasi antara Nabi Muhammad SAW dengan Allah SWT, yang dimediasi oleh Nabi Musa AS. Nabi Muhammad SAW beberapa kali bolak-balik antara Sidratul Muntaha dan Nabi Musa AS, memohon keringanan kepada Allah SWT. Allah SWT kemudian mengurangi jumlah sholat secara bertahap, hingga akhirnya ditetapkan menjadi lima waktu dalam sehari semalam. Proses ini menunjukkan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang, mempertimbangkan kemampuan dan kondisi umat manusia. Meskipun jumlah rakaat berkurang, nilai pahala tetap sama dengan sholat lima puluh waktu, menunjukkan hikmah Ilahiah di balik penetapan sholat lima waktu.
Penetapan Rakaat Sholat dan Hikmahnya
Setelah kembali ke bumi, Nabi Muhammad SAW membawa wahyu tentang sholat lima waktu. Awalnya, setiap waktu sholat diwajibkan dua rakaat, kecuali sholat Maghrib yang tiga rakaat. Penambahan rakaat terjadi setelah hijrah ke Madinah, dengan sholat Dzuhur, Ashar, dan Isya ditambah dua rakaat menjadi empat rakaat. Sholat Subuh dan Maghrib tetap dua dan tiga rakaat. Riwayat dari Aisyah RA menjelaskan perubahan ini, menunjukkan bahwa penetapan jumlah rakaat sholat juga merupakan proses yang bertahap dan disesuaikan dengan kondisi umat.
Kesimpulannya, perjalanan Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra Miraj bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang luar biasa. Tujuan utamanya adalah menerima wahyu tentang sholat lima waktu, sebuah proses yang melibatkan negosiasi, permohonan, dan hikmah Ilahiah. Sidratul Muntaha, sebagai simbol batas pengetahuan manusia, menunjukkan keagungan Allah SWT dan betapa luasnya alam semesta spiritual. Peristiwa ini mengajarkan kita tentang ketaatan, permohonan, dan hikmah di balik setiap perintah Ilahi. Perjalanan ini juga menjadi bukti kasih sayang Allah SWT yang mempertimbangkan kemampuan dan kondisi umatnya dalam menjalankan ibadah.