Jakarta – Ayat 27 Surah Al-Isra memberikan gambaran tajam tentang perilaku yang mendekatkan seseorang kepada sifat-sifat setan: pemborosan harta. Ayat tersebut berbunyi: "إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا" (Innal-mubaððirīna kānū ikhwāna asy-syayāṭīn, wa kāna asy-syayṭānu lirabbihi kafūrā). Terjemahannya yang umum adalah: "Sesungguhnya orang-orang yang memboroskan (hartanya) adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."
Ayat ini, yang kaya akan makna dan konteks historis, menawarkan lebih dari sekadar peringatan sederhana tentang pengelolaan keuangan. Ia menyoroti akar spiritual dari pemborosan, menghubungkannya dengan sifat-sifat jahat dan ketidaktaatan kepada Allah SWT. Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjelaskan ayat ini dengan rinci, mengungkapkan kedalaman makna dan implikasinya bagi kehidupan seorang muslim.
Kemenag RI menekankan penggunaan ungkapan "saudara setan" dalam konteks budaya Arab pra-Islam. Analogi ini bukan sekadar metafora, melainkan menunjukkan kesamaan perilaku dan karakteristik antara pemboros dan setan. Orang yang meniru perilaku suatu kelompok, dalam hal ini perilaku setan yang ditandai dengan pemborosan, dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut. Dengan demikian, pemilihan kata "saudara" menunjukkan kesamaan yang mendalam antara tindakan pemborosan dengan sifat-sifat inheren setan.
Lebih dari sekedar kebiasaan buruk, pemborosan harta dalam konteks ayat ini diposisikan sebagai tindakan maksiat. Ia bukan hanya soal pengelolaan keuangan yang kurang bijak, melainkan refleksi dari kekurangan iman dan ketidaktaatan kepada Allah SWT. Pemborosan dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah SWT, karena harta itu sendiri merupakan anugerah yang harus dikelola dengan bijaksana dan bermanfaat.
Tafsir Kemenag RI menjelaskan bahwa konsekuensi dari pemborosan ini berlapis. Di dunia, individu yang terjerumus dalam pemborosan seringkali tergoda oleh bisikan-bisikan setan, yang mengarah kepada keinginan-keinginan sesaat dan melupakan kewajiban yang lebih besar. Sedangkan di akhirat, konsekuensi yang lebih berat menanti, yaitu masuk ke dalam neraka Jahannam. Ini menunjukkan betapa seriusnya Allah SWT memandang perilaku pemborosan ini.
Ayat ini juga menyingkap konteks historis yang relevan. Surah Al-Isra, termasuk ayat 27, diturunkan pada masa jahiliyah, di mana kebiasaan menumpuk harta rampasan perang, perampokan, dan penyamunan merupakan hal yang biasa. Harta yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar kemudian dihambur-hamburkan untuk pamer kekayaan dan mendapatkan kemasyhuran. Praktik ini juga digunakan untuk menghalangi penyebaran Islam, melemahkan umat muslim, dan bahkan membantu musuh-musuh Islam.
Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berkaitan dengan pemborosan dalam arti yang sempit, tetapi juga memperluas maknanya kepada penggunaan harta yang tidak bermanfaat, bahkan merugikan. Penggunaan harta untuk memperkuat kekuatan yang melawan ajaran Allah SWT, misalnya, juga termasuk dalam konteks pemborosan yang dikecam dalam ayat ini.
Lebih jauh, bagian akhir ayat, "وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا" (wa kāna asy-syayṭānu lirabbihi kafūrā), menekankan sifat ingkar setan kepada Tuhannya. Kata "kafūr" (ingkar) di sini tidak hanya berarti menolak perintah Allah SWT, tetapi juga menunjukkan keengganan untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan. Setan merupakan contoh klasik makhluk yang dikaruniai kemampuan dan kekuasaan, namun enggan untuk bersyukur dan malah menggunakan kekuasaannya untuk menyesatkan manusia.
Hubungan antara pemborosan dan sifat ingkar setan ini menunjukkan sebuah kaitan yang mendalam. Pemboros seringkali lupa akan asal usul harta yang dimilikinya, yaitu anugerah dari Allah SWT. Mereka tidak mensyukuri nikmat tersebut dan malah menggunakannya untuk kepentingan yang tidak bermanfaat, bahkan merugikan diri sendiri dan orang lain. Ini menunjukkan kesamaan sifat antara pemboros dengan setan, yaitu ketidaktaatan dan keengganan untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.
Dalam konteks kekinian, makna ayat ini masih sangat relevan. Pemborosan tidak hanya berupa penghamburan uang secara fisik, tetapi juga bisa berupa pemborosan waktu, tenaga, dan potensi lainnya. Menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak produktif, mengorbankan kesehatan karena kelelahan berlebihan tanpa tujuan yang jelas, atau menguras energi untuk urusan yang tidak penting, semuanya dapat dianggap sebagai bentuk pemborosan.
Lebih lanjut, pemborosan juga dapat berupa penggunaan teknologi yang tidak bijak. Kecanduan media sosial, misalnya, dapat mengakibatkan pemborosan waktu dan energi yang signifikan. Begitu juga dengan penggunaan gadget yang berlebihan tanpa tujuan yang produktif. Semua ini merupakan bentuk pemborosan yang harus dihindari karena dapat menjauhkan seseorang dari tujuan hidup yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, Surah Al-Isra ayat 27 bukan hanya sebuah ayat yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan, tetapi juga merupakan pedoman hidup yang mengajak umat muslim untuk hidup dengan bijaksana, berhemat, dan mensyukuri semua nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Pemborosan harta bukan hanya masalah duniawi, tetapi juga berkaitan erat dengan spiritualitas dan kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Memahami kedalaman makna ayat ini akan membantu umat muslim untuk lebih bijak dalam mengelola hidup dan hartanya, sehingga terhindar dari sifat-sifat setan dan mendapatkan ridho Allah SWT.