Peristiwa Isra dan Mi’raj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kemudian Sidratul Muntaha, merupakan tonggak sejarah spiritual umat Islam yang sarat dengan keajaiban dan hikmah. Perjalanan luar biasa ini bukan sekadar peristiwa historis, melainkan manifestasi kasih sayang Ilahiah dan bukti nyata kenabian Rasulullah SAW. Di balik keajaiban perjalanan tersebut, tersimpan makna mendalam yang terpatri dalam bacaan tahiyat, sebuah rangkaian kalimat yang kita ucapkan dalam setiap salat, serta penetapan kewajiban salat lima waktu yang menjadi pondasi ibadah umat Islam hingga kini.
Tahiyat: Dialog Suci di Puncak Kedekatan dengan Sang Khalik
Bacaan tahiyat, yang kita kenal sebagai bagian integral dari tasyahud dalam salat, menyimpan kisah inspiratif yang berakar dari peristiwa Isra dan Mi’raj. Berbagai literatur keagamaan, seperti buku Khutbah Jumat: Tema-tema Kontemporer karya Najamuddin Petta Solong dkk., mengungkap asal-usulnya sebagai dialog sakral antara Rasulullah SAW dan Allah SWT di Sidratul Muntaha, titik puncak perjalanan spiritual tersebut.
Bayangkanlah Rasulullah SAW, di hadapan Sang Pencipta, diliputi kekaguman dan kerendahan hati yang mendalam. Di tengah kebesaran dan keagungan Ilahiah yang tak terhingga, beliau dihadapkan pada dilema: bagaimana cara memberikan salam yang pantas kepada Tuhan Yang Maha Esa? Pertanyaan ini, yang mungkin tampak sederhana bagi kita, mencerminkan kerendahan hati dan kesungguhan Rasulullah SAW dalam menjalankan tugas kenabiannya. Beliau tidak berani sembarangan dalam menghadapi momen sakral tersebut.
Jawaban atas dilema tersebut datang melalui wahyu Ilahi. Allah SWT mewahyukan salam yang sempurna, yang menjadi inti dari bacaan tahiyat: "Attahiyatul Mubarakatush Shalawatu Thayyibaatulillah." Kalimat ini, yang berarti "Segala pujian, penghormatan, dan pengagungan hanya untuk Allah," merupakan pernyataan totalitas penghambaan dan pengakuan atas keesaan Allah SWT. Ini bukan sekadar salam, melainkan pernyataan iman yang paling tulus dan khusyuk.
Respon Allah SWT terhadap salam Rasulullah SAW pun sarat dengan kasih sayang dan rahmat: "Assalamu’ alika ayyuhan Nabiyyu warahmatullahi wa barakaatuh," yang bermakna, "Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan Allah senantiasa tercurah kepadamu, wahai Nabi." Balasan ini bukan sekadar ungkapan formal, melainkan manifestasi kasih sayang Allah SWT yang tak terhingga kepada utusan-Nya.
Namun, yang lebih mengagumkan adalah respons selanjutnya dari Rasulullah SAW. Beliau, yang baru saja menerima salam dan rahmat langsung dari Allah SWT, tidak larut dalam kebanggaan diri. Sebaliknya, beliau langsung mengingat umatnya, menunjukkan kepedulian dan cinta yang luar biasa kepada mereka. Beliau melanjutkan dengan doa: "Assalamu’alaina wa’ala ibadillahish shalihiin," yang artinya, "Semoga keselamatan juga tercurah kepada kami dan seluruh hamba Allah yang shalih."
Inilah inti dari makna tahiyat: pengakuan keesaan Allah, penerimaan rahmat dan keselamatan-Nya, dan doa untuk keselamatan seluruh umat. Peristiwa ini menggambarkan betapa Rasulullah SAW, sebagai pemimpin umat, tidak pernah melupakan umatnya, bahkan di saat beliau berada di puncak kedekatan dengan Allah SWT. Kasih sayang dan kepedulian beliau kepada umatnya menjadi cerminan akhlak mulia yang patut diteladani.
Kejadian agung ini disaksikan oleh para malaikat di Sidratul Muntaha. Mereka turut merasakan kebesaran Allah SWT dan kemuliaan Rasulullah SAW. Sebagai bentuk pengakuan dan kesaksian, mereka pun mengucapkan syahadat: "Asyhadu Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa Rasuluhu," yang berarti, "Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
Rangkaian dialog suci ini, yang penuh dengan hikmah dan kasih sayang, kemudian diabadikan sebagai bacaan tahiyat. Setiap kali kita mengucapkannya dalam salat, kita seolah-olah turut merasakan momen sakral tersebut, merenungkan makna penghambaan, dan memohon keselamatan bagi diri sendiri dan seluruh umat Islam. Kita juga melanjutkan dengan shalawat kepada Rasulullah SAW sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.
Isra Mi’raj dan Penetapan Salat Lima Waktu: Pilar Ibadah Umat Islam
Selain bacaan tahiyat, peristiwa Isra dan Mi’raj juga menandai momen penting lainnya: penetapan kewajiban salat lima waktu. Sebelum peristiwa ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat salat. Namun, di Sidratul Muntaha, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk melaksanakan salat lima waktu sebagai bentuk ibadah dan komunikasi langsung dengan-Nya.
Buku Mengungkap Rahasia Shalat Para Nabi menjelaskan detail perintah tersebut. Hadits yang diriwayatkan menjelaskan tentang penetapan salat lima waktu dan konsekuensinya: "Lima waktu itu setara dengan lima puluh waktu. Tak akan lagi berubah keputusan-Ku." Hadits ini menekankan pentingnya salat lima waktu sebagai ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah SWT. Bahkan, Rasulullah SAW mengungkapkan rasa malunya kepada Allah SWT karena merasa berat untuk melaksanakannya, namun Allah SWT tetap menetapkan jumlah tersebut. Ini menunjukkan betapa pentingnya salat lima waktu bagi kehidupan spiritual seorang muslim.
Setelah peristiwa Isra dan Mi’raj, salat lima waktu menjadi rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang baligh dan berakal sehat. Kewajiban ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk pengabdian dan komunikasi langsung dengan Allah SWT. Melalui salat, seorang muslim dapat membersihkan jiwa, mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan memohon ampunan serta rahmat-Nya. Salat juga menjadi sarana untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan ketahanan spiritual dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Kesimpulannya, peristiwa Isra dan Mi’raj bukan hanya perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual yang sarat dengan makna mendalam. Bacaan tahiyat dan penetapan salat lima waktu merupakan warisan berharga dari peristiwa agung ini, yang hingga kini terus menjadi pedoman dan penguat spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia. Memahami kisah di balik bacaan tahiyat dan kewajiban salat lima waktu akan semakin meningkatkan kekhusyukan dan keikhlasan kita dalam menjalankan ibadah, serta mendekatkan kita kepada Allah SWT. Semoga kita senantiasa dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.