Jakarta – Islam secara tegas mengharamkan konsumsi sejumlah makanan dan minuman, di antaranya daging babi dan anjing. Namun, Al-Qur’an memberikan pengecualian dalam kondisi darurat, sebuah prinsip yang telah memicu perdebatan panjang di kalangan ulama mengenai batasan dan kadar konsumsi makanan haram yang dibolehkan. Ayat Al-Baqarah 173 menjadi rujukan utama: "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 173). Ayat ini menjadi landasan hukum yang fleksibel, mengakui kondisi ekstrem yang memaksa manusia untuk mengonsumsi makanan yang biasanya diharamkan. Namun, fleksibilitas ini membutuhkan penafsiran yang cermat dan mendalam untuk menentukan batasannya.
Perdebatan mengenai kadar konsumsi makanan haram dalam kondisi darurat telah menghasilkan berbagai pandangan di kalangan ulama. Buku Fiqhul Islam wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili, misalnya, memaparkan dua pendapat utama yang mencerminkan perbedaan interpretasi terhadap ayat tersebut dan prinsip-prinsip fikih yang relevan.
Pendapat Mayoritas Ulama (Jumhur Ulama): Konsumsi Minimal untuk Kelangsungan Hidup
Mayoritas ulama berpendapat bahwa konsumsi makanan haram dalam kondisi darurat harus dibatasi seminimal mungkin, hanya cukup untuk mencegah kematian. Pandangan ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang dianggap lebih kuat dan menekankan pada prinsip kehati-hatian dalam menghadapi larangan agama. Kadar yang dibolehkan, menurut jumhur ulama, hanya sebatas beberapa suapan yang cukup untuk mempertahankan nyawa dan memungkinkan seseorang untuk melaksanakan ibadah seperti salat atau puasa setelahnya. Ukurannya bukanlah kenyang, melainkan sekadar cukup untuk melewati kondisi darurat tersebut.
Argumentasi jumhur ulama didasari pada frasa "…bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…" dalam ayat Al-Baqarah 173. Mereka berpendapat bahwa "melampaui batas" merujuk pada konsumsi yang berlebihan, melebihi kebutuhan minimal untuk bertahan hidup. Konsumsi yang melebihi kebutuhan tersebut dianggap melanggar prinsip darurat dan kembali pada hukum haram. Mereka juga mengacu pada kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa apa yang dibolehkan karena darurat, hanya sebatas untuk mengatasi kedaruratan tersebut. Setelah kondisi darurat berlalu dan makanan halal tersedia, konsumsi makanan haram harus dihentikan. Tidak ada pembenaran untuk terus mengonsumsi makanan haram meskipun masih merasa lapar, jika sudah ada akses pada makanan halal.
Mazhab Maliki: Konsumsi Hingga Kenyang dalam Kondisi Darurat
Berbeda dengan jumhur ulama, Mazhab Maliki memberikan pandangan yang lebih longgar. Mazhab ini berpendapat bahwa dalam kondisi darurat, seseorang dibolehkan mengonsumsi makanan haram hingga kenyang. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memperbolehkan menyimpan sisa makanan haram tersebut sebagai bekal jika khawatir menghadapi kondisi darurat serupa di perjalanan. Sisa makanan tersebut baru boleh dibuang setelah kondisi darurat berlalu dan tidak lagi dibutuhkan.
Argumentasi Mazhab Maliki juga berlandaskan ayat Al-Baqarah 173, namun dengan penafsiran yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa kondisi darurat menghilangkan sifat haram pada makanan tersebut, sehingga makanan yang biasanya haram menjadi halal dalam konteks tersebut. Dengan kata lain, kondisi darurat menciptakan suatu kondisi hukum yang baru, di mana hukum haram makanan tersebut sirna karena kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup. Mereka menekankan pada makna "terpaksa" dalam ayat tersebut, di mana kebutuhan untuk bertahan hidup menjadi faktor penentu yang menghapuskan hukum haram. Perbedaan interpretasi ini terletak pada pemahaman mengenai "melampaui batas". Bagi Mazhab Maliki, "melampaui batas" bukan berarti melewati rasa kenyang, melainkan mengonsumsi makanan haram secara sengaja dan berlebihan ketika kondisi darurat sudah berlalu atau ketika makanan halal sudah tersedia.
Perbedaan Pendapat dan Konteks Darurat
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan Mazhab Maliki menunjukkan kompleksitas dalam memahami dan menerapkan hukum Islam dalam situasi yang tidak lazim. Kedua pendapat tersebut sama-sama mengakui adanya pengecualian hukum dalam kondisi darurat, namun berbeda dalam menentukan batasannya. Jumhur ulama cenderung lebih konservatif, menekankan pada konsumsi minimal untuk bertahan hidup, sementara Mazhab Maliki lebih fleksibel, memperbolehkan konsumsi hingga kenyang.
Perlu diperhatikan bahwa definisi "darurat" sendiri juga perlu diperjelas. Kondisi darurat yang dimaksud bukan sekadar rasa lapar biasa, melainkan situasi yang mengancam jiwa, di mana tidak ada akses pada makanan halal. Kondisi ini bisa terjadi karena bencana alam, perang, atau keterbatasan akses pada sumber makanan. Jika kelaparan terjadi secara meluas dan berkepanjangan, seperti dalam kasus bencana alam besar atau konflik berskala luas, para ulama umumnya sepakat bahwa konsumsi makanan haram hingga kenyang dibolehkan untuk menyelamatkan jiwa.
Mazhab Syafi’i dan Kondisi Umum Kekurangan Makanan Halal
Mazhab Syafi’i menambahkan satu dimensi penting dalam perdebatan ini. Mereka berpendapat bahwa jika kondisi kekurangan makanan halal merupakan hal yang umum dan meluas di suatu wilayah atau negara, maka konsumsi makanan haram tidak lagi terbatas pada kondisi darurat sesaat. Dalam konteks ini, konsumsi makanan haram dibolehkan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, meskipun tidak dalam situasi darurat yang mengancam jiwa secara langsung. Ini menunjukkan bahwa Mazhab Syafi’i mempertimbangkan faktor sosial dan geografis dalam menentukan hukum konsumsi makanan haram. Jika sulit atau bahkan mustahil menemukan makanan halal di suatu tempat, maka konsumsi makanan haram menjadi suatu kebutuhan yang dibolehkan.
Kesimpulan:
Hukum konsumsi makanan haram dalam kondisi darurat merupakan isu fikih yang kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap ayat Al-Qur’an, hadis, dan kaidah-kaidah ushul fiqh. Perbedaan pendapat di kalangan ulama menunjukkan adanya ruang interpretasi yang luas, tergantung pada konteks dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar Islam. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai kadar konsumsi, semua ulama sepakat bahwa konsumsi makanan haram hanya dibolehkan dalam kondisi darurat yang benar-benar mendesak dan mengancam jiwa, dengan tujuan utama untuk mempertahankan hidup. Konsumsi tersebut harus seminimal mungkin dan dihentikan segera setelah kondisi darurat berlalu dan makanan halal tersedia. Dalam situasi kelaparan massal dan berkepanjangan, konsumsi makanan haram hingga kenyang umumnya dibolehkan sebagai upaya untuk menyelamatkan nyawa. Pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai pendapat ulama dan konteks darurat menjadi penting untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.