Jakarta, 22 Januari 2025 – Anggota Majelis Masyayikh, Badriyah Fayumi, menyerukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pondok pesantren (ponpes) di Indonesia menyusul meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan keagamaan tersebut. Pernyataan tegas ini disampaikan dalam Kongres Pendidikan Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu kemarin. Badriyah menekankan urgensi menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan kondusif, bebas dari ancaman kekerasan seksual yang kian meresahkan.
"Kejadian kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan yang seharusnya paling aman, yaitu lembaga pendidikan seperti pondok pesantren," ujar Badriyah. "Oleh karena itu, yang terpenting adalah membangun ekosistem yang mampu mencegah dan menangani kekerasan seksual secara efektif dan komprehensif."
Pernyataan Badriyah ini bukan sekadar seruan moral, melainkan refleksi atas realitas yang memprihatinkan. Meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan ponpes menunjukkan adanya celah sistemik yang perlu segera diatasi. Tidak hanya berdampak traumatis bagi korban, fenomena ini juga menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan keagamaan yang selama ini dianggap sebagai benteng moral dan tempat menuntut ilmu yang aman.
Badriyah menunjuk beberapa faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di ponpes. Pertama, dan yang paling krusial, adalah komitmen para pengasuh pesantren, baik kiai maupun bu nyai. Komitmen ini bukan hanya sebatas pernyataan retorika, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata berupa penerapan aturan yang tegas, pengawasan yang ketat, dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses oleh santri.
"Komitmen para pengasuh pesantren merupakan kunci utama," tegas Badriyah. "Mereka harus menjadi garda terdepan dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Tanpa komitmen yang kuat dari para pengasuh, upaya pencegahan akan menjadi sia-sia."
Lebih lanjut, Badriyah menekankan pentingnya peran aktif negara, khususnya Kementerian Agama (Kemenag), dalam memberikan dukungan dan pengawasan yang efektif terhadap ponpes. Kemenag, menurutnya, perlu berperan lebih proaktif dalam memberikan pelatihan dan edukasi kepada para pengasuh ponpes terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, Kemenag juga perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan ponpes.
"Pesantren wajib membuka diri," lanjut Badriyah. "Santri, orang tua santri, dan masyarakat sekitar harus diberikan akses mudah untuk melaporkan setiap indikasi atau kejadian kekerasan seksual. Negara, melalui Kemenag dan aparat penegak hukum, harus siap turun tangan untuk menindak tegas pelaku dan memberikan perlindungan kepada korban."
Badriyah juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan ponpes. Sistem pelaporan yang transparan dan mekanisme penyelesaian kasus yang adil dan efektif akan memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada santri untuk berani melaporkan jika mengalami atau menyaksikan kekerasan seksual. Hal ini juga akan membantu mencegah terjadinya pembiaran dan impunitas bagi pelaku.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kasus kekerasan seksual di ponpes adalah relasi kuasa yang timpang antara kiai dan santri. Seringkali, posisi kiai yang dihormati dan disegani membuat santri enggan melaporkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh kiai atau pihak yang memiliki otoritas di lingkungan ponpes.
"Relasi kuasa yang kuat antara kiai dan santri seringkali menjadi kendala dalam pengungkapan kasus," ungkap Badriyah. "Kadang-kadang, hanya pernyataan kiai yang melarang kekerasan seksual saja tidak cukup. Santri perlu diyakinkan bahwa mereka aman dan terlindungi jika melaporkan kasus kekerasan seksual, sekalipun pelakunya adalah kiai sendiri." Pernyataan ini menyoroti pentingnya membangun budaya berani speak up dan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang efektif.
Peran Bu Nyai (pengasuh pesantren perempuan) juga mendapat perhatian khusus dari Badriyah. Bu Nyai, dengan kedekatannya dengan santriwati, memiliki peran penting dalam mencegah dan mendeteksi dini kasus kekerasan seksual. Mereka dapat menjadi tempat curhat dan konselor bagi santriwati yang mengalami masalah, termasuk kekerasan seksual. Oleh karena itu, pelatihan dan pemberdayaan Bu Nyai dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sangatlah penting.
Saat ini, Majelis Masyayikh tengah merumuskan draf penjaminan mutu pesantren yang akan menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di seluruh ponpes di Indonesia. Draf tersebut akan memuat indikator-indikator penting, salah satunya adalah terciptanya lingkungan belajar yang ramah anak dan bebas dari kekerasan. Draf ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi ponpes dalam menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan kondusif bagi seluruh santri.
Namun, penyusunan draf ini hanyalah langkah awal. Penerapan dan pengawasan terhadap implementasi draf tersebut menjadi kunci keberhasilan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di ponpes. Kemenag, lembaga pendidikan tinggi keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa draf tersebut diimplementasikan secara efektif dan konsisten di seluruh ponpes di Indonesia.
Lebih jauh lagi, diperlukan upaya sistemik dan terintegrasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas. Upaya ini mencakup edukasi dan sosialisasi tentang kekerasan seksual, pelatihan bagi para pengasuh ponpes dan tenaga pendidik, penyediaan layanan dukungan bagi korban, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.
Pentingnya membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan ponpes tidak dapat diabaikan. Kampanye publik yang masif, melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media massa, sangat diperlukan untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat terkait kekerasan seksual. Hal ini termasuk menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual.
Kesimpulannya, maraknya kasus kekerasan seksual di ponpes merupakan masalah serius yang membutuhkan penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan. Peran aktif semua pihak, mulai dari para pengasuh ponpes, pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas, sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual bagi seluruh santri di Indonesia. Hanya dengan kerja sama dan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan lingkungan belajar yang kondusif dan melindungi hak-hak anak di lingkungan ponpes. Langkah-langkah yang tegas dan terukur, disertai dengan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang adil, menjadi kunci untuk memberantas kejahatan ini dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia.