Jakarta, 21 Januari 2025 – Rencana kontroversial relokasi dua juta warga Gaza ke Indonesia, yang dikabarkan digagas oleh tim transisi Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, telah memicu gelombang penolakan keras dari berbagai pihak, terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI tegas menyatakan penolakan terhadap rencana tersebut, yang dinilai sebagai upaya terselubung untuk melakukan genosida dan menguasai Jalur Gaza.
Prof. Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, dalam keterangan resmi MUI yang dirilis Selasa (21/1/2025), menyatakan bahwa rencana relokasi tersebut sama sekali tidak tercantum dalam poin-poin kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Ia menuding rencana ini sebagai manuver licik di tengah upaya perdamaian yang tengah berlangsung.
"Relokasi, yang sebenarnya adalah pengusiran terselubung, bertujuan untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya. Ini akan memberikan Israel kesempatan emas untuk melakukan pendudukan dan penguasaan penuh atas wilayah tersebut," tegas Prof. Sudarnoto. Ia menambahkan bahwa strategi ini mengingatkan pada peristiwa tahun 1948, di mana pengusiran massal warga Palestina merupakan bagian integral dari pendirian negara Israel.
Lebih jauh, Prof. Sudarnoto mengategorikan rencana relokasi ini sebagai bentuk genosida. Ia menekankan bahwa genosida tidak hanya terbatas pada pembunuhan massal, tetapi juga mencakup pengusiran massal dan pembatasan kelahiran secara sistematis yang bertujuan untuk menghilangkan suatu kelompok etnis tertentu. "Rencana ini harus diwaspadai. Proses gencatan senjata harus dikawal ketat agar tidak terjadi pengkhianatan," serunya.
Pernyataan MUI ini mengacu pada laporan NBC News yang menyebutkan bahwa Steve Witkoff, utusan Presiden Terpilih Trump untuk Timur Tengah, tengah mempertimbangkan kunjungan ke Jalur Gaza sebagai bagian dari upaya menjaga kesepakatan gencatan senjata. Dalam laporan tersebut, pejabat transisi tersebut menyebutkan bahwa pertanyaan mengenai rekonstruksi Gaza dan relokasi sementara sekitar dua juta warga Palestina menjadi isu krusial. Indonesia, disebut sebagai salah satu negara yang tengah dipertimbangkan sebagai lokasi relokasi.
Namun, Prof. Sudarnoto dengan tegas membantah justifikasi apapun di balik rencana tersebut. Ia mempertanyakan alasan di balik rencana relokasi tersebut, dan menyatakan bahwa alasan apapun yang dikemukakan tidak akan dapat membenarkan tindakan yang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan ini. "Tidak ada alasan yang dapat membenarkan pengusiran paksa jutaan manusia dari tanah air mereka," tegasnya.
MUI juga menyerukan kewaspadaan bagi negara-negara Islam, khususnya anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan masyarakat internasional. Prof. Sudarnoto menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap proses gencatan senjata untuk mencegah terjadinya pengkhianatan. Ia mengingatkan bahwa Israel memiliki sejarah panjang dalam melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesepakatan internasional.
"Jangan sampai, dengan dalih ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah basyariyah, upaya membantu warga Gaza justru dimanfaatkan untuk menghancurkan kedaulatan negara lain dan memuluskan agenda terselubung Israel," ungkap Prof. Sudarnoto. Ia khawatir bahwa penerimaan warga Gaza di Indonesia, dengan niat mulia untuk membantu, justru akan menjadi alat untuk menghancurkan kedaulatan Indonesia dan membiarkan Israel menguasai Gaza tanpa hambatan.
Pernyataan MUI ini bukanlah satu-satunya suara penolakan. Berbagai kalangan di Indonesia, baik dari kalangan akademisi, aktivis HAM, maupun masyarakat sipil, telah menyatakan keprihatinan dan penolakan terhadap rencana relokasi tersebut. Mereka khawatir rencana ini akan berdampak buruk bagi Indonesia, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun politik. Potensi konflik sosial, beban ekonomi negara, dan penurunan citra internasional menjadi beberapa kekhawatiran yang mengemuka.
Lebih jauh, rencana relokasi ini juga menuai kontroversi di kalangan warga Palestina dan Arab. Banyak yang melihat rencana ini sebagai upaya Israel untuk memaksa pengosongan wilayah Gaza secara paksa, dan menjadi langkah awal untuk mengklaim wilayah tersebut secara penuh. Ketakutan akan kehilangan tanah leluhur dan identitas budaya menjadi sentimen kuat yang mewarnai penolakan terhadap rencana tersebut.
Ketidakjelasan mengenai kesediaan warga Gaza untuk direlokasi juga menjadi poin penting yang diabaikan dalam rencana tersebut. Belum ada konfirmasi resmi mengenai apakah warga Gaza telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ini, atau apakah mereka menerima rencana relokasi tersebut. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa rencana tersebut dipaksakan tanpa memperhatikan hak-hak dasar dan aspirasi warga Gaza.
MUI, dalam pernyataan resminya, juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap tegas dan menolak rencana relokasi tersebut. Mereka meminta pemerintah untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari rencana ini dan memprioritaskan kepentingan nasional Indonesia. Seruan ini juga ditujukan kepada pemerintah Amerika Serikat dan Israel, agar menghentikan rencana relokasi dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Palestina-Israel.
Peristiwa ini sekali lagi menyoroti kompleksitas konflik Palestina-Israel dan peran aktor internasional di dalamnya. Rencana relokasi ini bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi juga menyangkut kedaulatan negara, hukum internasional, dan prinsip-prinsip dasar HAM. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan ketat dan sikap tegas dari semua pihak untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang terselubung di balik rencana relokasi warga Gaza. Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan pentingnya diplomasi dan penyelesaian damai yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Palestina-Israel, yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan menimbulkan penderitaan bagi jutaan manusia. Ke depan, diperlukan komitmen internasional yang lebih kuat untuk memastikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap kedaulatan negara.