Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Ketidakhadiran Imam Husham Al-Husainy dari Pusat Pendidikan Islam Karbalaa di Dearborn dalam upacara pelantikan Presiden Donald Trump pada Senin lalu telah memicu spekulasi dan kontroversi. Meskipun namanya tercantum dalam draf awal program acara sebagai pemberi doa, Al-Husainy secara tiba-tiba absen tanpa penjelasan resmi dari pihak panitia pelantikan maupun sang imam sendiri. Keheningan ini semakin memperkuat dugaan adanya tekanan politik dan kontroversi yang membayangi keputusan mendadak tersebut.
Upacara pelantikan tetap berlangsung dengan doa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh agama lain, termasuk Lorenzo Sewell dari Gereja 180 Detroit, Kardinal Timothy Dolan, Pendeta Franklin Graham, Rabi Ari Berman, dan Pendeta Frank Mann. Ketiadaan perwakilan dari komunitas Muslim Amerika, khususnya sosok yang semula dijadwalkan seperti Al-Husainy, menciptakan kekosongan yang signifikan dan menjadi sorotan media serta publik.
Akar permasalahan ini dapat ditelusuri hingga ke pernyataan kontroversial Al-Husainy dalam sebuah wawancara dengan pembawa acara Fox News, Sean Hannity, pada tahun 2007. Dalam wawancara tersebut, Al-Husainy menolak untuk menyebut Hizbullah sebagai organisasi teroris, sebuah pernyataan yang langsung memicu gelombang kritik tajam, terutama dari Organisasi Zionis Amerika (ZOA). Pernyataan ini menjadi semakin sensitif mengingat Hizbullah telah ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Amerika Serikat sejak tahun 1997.
Transkip wawancara tersebut memperlihatkan bagaimana Al-Husainy berupaya membela pendiriannya. "Itulah penjelasan Anda," kata Al-Husainy, menurut transkrip Fox News. "Hizbullah adalah organisasi Lebanon. Dan saya tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, ada makna alkitabiah dari Hizbullah. Dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam, kata itu berarti umat Tuhan dan itu berarti ya." Penjelasan ini, yang berusaha memisahkan konteks politik Hizbullah dari makna literal nama organisasi tersebut, tampaknya tidak cukup untuk meredam kontroversi.
Al-Husainy juga membantah tuduhan bahwa ia memimpin demonstrasi pro-Hizbullah di Dearborn atau Washington. Ia mengklaim, "Kami berdoa untuk perdamaian dan gencatan senjata di Timur Tengah bagi semua pihak untuk menghentikan pembunuhan orang-orang tak berdosa dan pemboman." Namun, bantahan ini tidak mampu memadamkan api kritik yang telah berkobar.
Tekanan terhadap Al-Husainy semakin meningkat menjelang pelantikan Trump. ZOA, melalui pernyataan resminya, secara tegas mendesak panitia pelantikan untuk membatalkan rencana penampilan Al-Husainy. Presiden ZOA, Morton A. Klein, menyatakan dengan lantang, "Itu akan mengirimkan pesan yang mengerikan dan memberikan noda hitam pada masa jabatan baru Presiden Trump untuk memberikan platform yang menonjol kepada seorang antisemit dan pembela Hizbullah pada pelantikan Trump." Pernyataan ini secara langsung menuding Al-Husainy sebagai antisemit, tuduhan yang sangat serius dan berpotensi merusak reputasinya.
Ironisnya, Al-Husainy diketahui merupakan pendukung Trump dalam pemilihan presiden. Ia bahkan menggambarkan Trump sebagai sosok yang "lebih dekat dengan ajaran Musa, Yesus, dan Muhammad," sebuah pernyataan yang menunjukkan adanya keselarasan ideologis, setidaknya dalam pandangan Al-Husainy. Dukungannya terhadap Trump, menurut pengakuannya sendiri, didasarkan pada pendekatan konservatif presiden tersebut terhadap isu-isu seperti pernikahan sesama jenis dan inisiatif transgender, yang dianggapnya sejalan dengan nilai-nilai agama.
Namun, dukungan ini tampaknya tidak cukup untuk melindungi Al-Husainy dari tekanan politik dan kontroversi yang mengelilinginya. Pernyataan kontroversial terkait Hizbullah, yang telah berlalu bertahun-tahun, kembali menghantui dan akhirnya berujung pada pencoretan namanya dari daftar pembicara dalam upacara pelantikan.
Kejadian ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting. Pertama, apakah tekanan dari kelompok-kelompok seperti ZOA cukup kuat untuk mempengaruhi keputusan panitia pelantikan? Kedua, apakah ada pertimbangan politik lain yang turut berperan dalam pencoretan Al-Husainy? Ketiga, bagaimana peran kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama dalam konteks ini? Keempat, apakah pencoretan ini mencerminkan adanya standar ganda dalam mengukur loyalitas dan dukungan politik?
Keheningan dari pihak panitia pelantikan dan Al-Husainy sendiri semakin memperkeruh situasi. Kurangnya transparansi dan penjelasan resmi hanya memicu spekulasi dan interpretasi yang beragam. Kejadian ini menjadi pelajaran penting tentang kompleksitas hubungan antara politik, agama, dan kebebasan berekspresi, khususnya dalam konteks Amerika Serikat yang majemuk.
Lebih lanjut, kasus ini juga menyoroti betapa sensitifnya isu Hizbullah di Amerika Serikat. Organisasi ini, yang memiliki akar di Lebanon, telah lama menjadi subjek perdebatan dan kontroversi, dengan berbagai pihak memiliki pandangan yang berbeda tentang sifat dan perannya dalam konflik regional. Pernyataan Al-Husainy, meskipun diucapkan bertahun-tahun lalu, tetap memiliki dampak signifikan dan menunjukkan betapa sulitnya menavigasi perdebatan politik dan ideologis yang kompleks ini.
Kesimpulannya, pencoretan Imam Al-Husainy dari upacara pelantikan Presiden Trump merupakan peristiwa yang kompleks dan multi-faceted. Kejadian ini bukan hanya sekadar perubahan program acara, tetapi juga mencerminkan pertarungan politik dan ideologis yang lebih luas, melibatkan isu-isu sensitif seperti terorisme, kebebasan berekspresi, dan hubungan antara komunitas Muslim Amerika dengan pemerintahan AS. Ketiadaan penjelasan resmi dari pihak terkait hanya menambah misteri dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab untuk memahami sepenuhnya konteks dan implikasi dari peristiwa ini. Kejadian ini patut menjadi bahan kajian mendalam bagi para analis politik, pakar agama, dan siapapun yang tertarik untuk memahami dinamika politik dan sosial di Amerika Serikat.