Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Tapir, mamalia herbivora berukuran besar dengan ciri khas moncong panjang dan lentur menyerupai belalai, menjadi sorotan menyusul pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait status kehalalan dagingnya. Hewan yang memiliki corak tubuh hitam putih dan postur tubuh mirip babi ini, menurut buku Mamalia: Lebih Dekat dengan Makhluk Menyusui karya Syerif Nurhakim Dede Abdurohman dan Fidyastria S., tergolong dalam keluarga yang sama dengan badak dan kuda. Sebagai hewan vegetarian, tapir mengonsumsi buah-buahan dan tunas muda, menjadikannya salah satu fauna unik Indonesia, terutama di Pulau Sumatera, yang populasinya kini terancam. Pernyataan MUI tentang kehalalan daging tapir pun memicu perdebatan, menuntut pemahaman yang lebih mendalam terkait aspek syariat dan implikasi konservasi.
MUI Tetapkan Daging Tapir Halal Secara Syariat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi menyatakan bahwa daging tapir halal untuk dikonsumsi berdasarkan hukum Islam. Pernyataan ini didasari pada beberapa pertimbangan utama. Yang pertama dan paling krusial adalah status tapir sebagai hewan bukan predator. Tapir merupakan hewan darat herbivora, tidak termasuk dalam kategori hewan buas yang diharamkan dalam ajaran Islam. KH Muhammad Alvi Firdausi, anggota Komisi Fatwa MUI, menegaskan bahwa tapir tidak masuk dalam daftar hewan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil agama. Dalam konteks syariat Islam, hewan yang diharamkan meliputi hewan buas, hewan yang memiliki taring tajam dan cakar yang digunakan untuk memangsa, serta hewan yang dianggap najis berdasarkan ketentuan agama. Karena tapir tidak memenuhi kriteria tersebut, maka status kehalalannya menjadi sah secara syariat.
Landasan Hukum Kehalalan Daging Tapir
Ketetapan MUI ini diperkuat oleh beberapa rujukan keagamaan, meliputi ayat-ayat Al-Quran, hadits Nabi Muhammad SAW, dan kaidah-kaidah fikih. Salah satu ayat Al-Quran yang relevan adalah Surah Al-Maidah ayat 1: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki." Ayat ini menekankan prinsip dasar kehalalan semua hewan darat, kecuali yang secara spesifik diharamkan dalam Al-Quran atau hadits. Dengan demikian, karena tidak ada larangan eksplisit terkait konsumsi daging tapir, maka secara implisit dagingnya dianggap halal.
Surah An-Nahl ayat 8 juga memberikan perspektif yang relevan: "(Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui." Ayat ini menggarisbawahi manfaat hewan ciptaan Allah bagi manusia, menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut, secara umum, diciptakan untuk dimanfaatkan, termasuk untuk dikonsumsi, kecuali jika ada larangan khusus.
Hadits Nabi Muhammad SAW juga memberikan landasan bagi kehalalan daging tapir. Meskipun tidak ada hadits yang secara spesifik membahas tapir, hadits yang menekankan prinsip umum kehalalan hewan yang tidak diharamkan menjadi rujukan penting. Salah satu hadits yang relevan berbunyi: "[Hadits tentang kehalalan dan keharaman, menekankan bahwa apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dimaafkan maka terimalah pemaafan dari Allah.]" Hadits ini menguatkan prinsip bahwa ketiadaan larangan sama dengan izin (halal).
Lebih lanjut, kaidah fikih juga mendukung kehalalan daging tapir. Kaidah yang berbunyi, "[Kaidah fikih tentang kehalalan dan keharaman, menekankan hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya]," menunjukkan bahwa sesuatu dianggap halal sampai ada dalil yang secara tegas menyatakan keharamannya. Karena tidak ada dalil yang secara spesifik melarang konsumsi daging tapir, maka berdasarkan kaidah ini, daging tapir dinyatakan halal.
Dilema Konservasi dan Aspek Hukum Positif
Meskipun MUI menyatakan kehalalan daging tapir secara syariat, perlu diingat bahwa tapir merupakan spesies yang dilindungi di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa secara tegas memasukkan tapir ke dalam daftar satwa yang dilindungi. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian populasi tapir yang semakin menurun dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Konflik antara kehalalan syariat dan perlindungan hukum positif ini membutuhkan pendekatan yang bijak dan komprehensif. Kaidah fikih yang menyatakan, "Hukum berputar beserta ‘illatnya (alasan), ada dan tiada," berlaku dalam konteks ini. Larangan berburu dan mengonsumsi tapir, meskipun halal secara syariat, diberlakukan karena adanya alasan kuat terkait pelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup spesies tersebut. Oleh karena itu, meskipun daging tapir halal secara syariat, konsumsinya tetap tidak dibenarkan karena bertentangan dengan hukum positif yang bertujuan untuk melindungi spesies tersebut dari kepunahan.
Kesimpulan: Harmoni Syariat dan Konservasi
Pernyataan MUI tentang kehalalan daging tapir perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas, mempertimbangkan aspek syariat dan aspek konservasi. Meskipun halal secara syariat, konsumsi daging tapir tidak dibenarkan karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi spesies tersebut. Penting bagi masyarakat untuk memahami dan menghormati kedua aspek ini, menjaga harmoni antara ajaran agama dan upaya pelestarian lingkungan. Upaya konservasi tapir membutuhkan komitmen bersama, baik dari pemerintah, lembaga agama, maupun masyarakat luas, untuk memastikan kelangsungan hidup spesies ini di habitat alaminya. Pengetahuan tentang status kehalalan daging tapir tidak boleh diartikan sebagai justifikasi untuk memburu dan mengonsumsi hewan yang dilindungi. Sebaliknya, hal ini harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi dan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Perlu edukasi publik yang intensif untuk memastikan bahwa pemahaman tentang kehalalan tidak diinterpretasikan secara sempit dan mengabaikan aspek penting lainnya, seperti pelestarian lingkungan dan kepatuhan terhadap hukum.