Jakarta, 20 Januari 2025 – Upacara pelantikan Presiden Donald Trump untuk masa jabatan keduanya, yang akan berlangsung pada Senin, 20 Januari 2025 pukul 12 siang waktu setempat (Selasa, 21 Januari 2025 pukul 00.00 WIB), akan menampilkan sebuah momen yang menarik perhatian: kehadiran Imam Husham Al-Husainy, seorang imam Muslim asal Amerika Serikat, yang akan memimpin doa. Kehadiran Al-Husainy, bersama tiga pemuka agama lain dari latar belakang berbeda, memunculkan pertanyaan mengenai makna simbolis peristiwa ini – apakah ini sebuah refleksi atas komitmen terhadap inklusifitas, atau sebuah strategi politik yang cerdik dari pihak Trump?
Al-Husainy, direktur Irak-Amerika dari Pusat Pendidikan Islam Karbala di Dearborn, Michigan, akan berbagi panggung dengan Pendeta Lorenzo Sewell dari gereja 180 di Detroit, Rabbi Dr. Ari Berman, Presiden Universitas Yeshiva di New York, dan Pastor Frank Mann dari Keuskupan Katolik Roma di Brooklyn. Keempatnya akan membawakan doa berkat dalam upacara pelantikan yang menandai dimulainya masa jabatan kedua Trump di Gedung Putih.
Pemilihan Al-Husainy sebagai salah satu pemimpin doa dalam acara kenegaraan sebesar ini bukanlah tanpa konteks. Michigan, negara bagian tempat Al-Husainy bermukim dan berkarya, memiliki komunitas Muslim Arab-Amerika yang signifikan. Komunitas ini, menurut berbagai laporan, menunjukkan pergeseran dukungan politik yang signifikan menuju Trump dalam pemilihan presiden November 2024 lalu. Kekecewaan terhadap pemerintahan Biden, khususnya terkait penanganan konflik Gaza dan dukungan yang dianggap berlebihan terhadap Israel, diyakini menjadi salah satu faktor utama di balik pergeseran tersebut. Trump, yang secara aktif berupaya meraih suara dari komunitas ini, tampaknya telah berhasil membalikkan dukungan yang sebelumnya condong ke kubu Demokrat.
Dukungan Al-Husainy terhadap Trump bukanlah rahasia. Sebelum pemilihan, Al-Husainy secara terbuka menyatakan dukungannya, mengatakan, "Saya mendukung Donald Trump karena ia menentang pernikahan sesama jenis dan ia adalah orang yang paling Kristen dalam pemilihan ini. Ia akan mengembalikan kita ke nilai-nilai konservatif, dan saya seorang Muslim dan saya akan mendukung siapa pun yang menentang pernikahan sesama jenis." Pernyataan ini, yang dikutip dari berbagai sumber berita termasuk Fox News, menunjukkan alasan di balik dukungannya yang didasarkan pada pandangan konservatif dan agama.
Kehadiran Al-Husainy di pelantikan, dengan demikian, dapat diinterpretasikan dari beberapa sudut pandang. Dari perspektif Trump, ini dapat dilihat sebagai sebuah strategi politik yang efektif untuk menunjukkan inklusifitas sembari mengukuhkan dukungan dari basis pemilih yang penting. Dengan menampilkan seorang imam Muslim yang secara terbuka mendukungnya, Trump dapat menetralisir kritik mengenai sikapnya terhadap komunitas Muslim dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang diterima oleh berbagai kelompok masyarakat.
Namun, interpretasi lain melihat partisipasi Al-Husainy sebagai sebuah momen yang kompleks dan berpotensi kontroversial. Pernyataan Al-Husainy yang mendukung Trump karena penentangannya terhadap pernikahan sesama jenis menunjukkan prioritas nilai-nilai konservatif dan agama tertentu di atas isu-isu sosial lainnya. Hal ini dapat memicu pertanyaan mengenai representasi komunitas Muslim yang lebih luas, yang memiliki beragam pandangan politik dan sosial. Apakah Al-Husainy benar-benar mewakili seluruh suara komunitas Muslim Amerika, atau hanya mewakili segmen tertentu yang memiliki pandangan politik yang selaras dengan Trump?
Lebih lanjut, partisipasi Al-Husainy juga menimbulkan pertanyaan mengenai batas-batas antara agama dan politik. Meskipun agama sering mempengaruhi pandangan politik seseorang, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua Muslim Amerika berpandangan sama dengan Al-Husainy. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan kehadirannya sebagai representasi dari seluruh komunitas Muslim Amerika.
Selain Al-Husainy, upacara pelantikan juga akan menghadirkan tokoh-tokoh agama lainnya, termasuk Kardinal Timothy M. Dolan, Uskup Agung Keuskupan Agung Katolik Roma New York, dan Pendeta Franklin Graham. Kehadiran mereka, bersama Al-Husainy, menunjukkan upaya untuk memperlihatkan keragaman agama di Amerika Serikat. Namun, pertanyaan mengenai representasi yang seimbang dan inklusif tetap berlaku. Apakah pemilihan para pemimpin doa ini benar-benar mewakili keragaman keyakinan dan pandangan di Amerika Serikat, atau hanya mewakili segmen tertentu yang sejalan dengan ideologi Trump?
Al-Husainy sendiri tiba di Amerika Serikat pada tahun 1970-an untuk belajar teknik penerbangan. Kini, ia telah menjadi anggota aktif komunitas Muslim Dearborn selama lebih dari dua dekade. Perjalanan hidupnya menunjukkan integrasi yang berhasil ke dalam masyarakat Amerika. Namun, pernyataan politiknya menunjukkan bahwa integrasi ini tidak selalu berarti penghapusan identitas agama dan politik pribadi.
Kesimpulannya, kehadiran Imam Husham Al-Husainy dalam upacara pelantikan Presiden Trump merupakan sebuah peristiwa yang kaya akan simbolisme dan interpretasi. Meskipun tampaknya menunjukkan upaya untuk menciptakan citra inklusifitas, peristiwa ini juga memunculkan pertanyaan mengenai strategi politik, representasi komunitas, dan hubungan antara agama dan politik di Amerika Serikat. Analisis yang lebih mendalam diperlukan untuk memahami makna sejati dari partisipasinya dan implikasinya terhadap dinamika politik dan sosial di negara tersebut. Apakah ini sebuah langkah menuju persatuan yang lebih besar, atau hanya sebuah taktik politik yang terselubung? Waktu akan memberikan jawabannya.