Gaza City, 17 Januari 2025 – Bayang-bayang gencatan senjata yang dijanjikan antara Hamas dan Israel sirna dalam rentetan serangan udara yang menghantam Jalur Gaza. Sehari sebelum kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Qatar dijadwalkan berlaku, puluhan warga Palestina tewas dalam serangan-serangan brutal yang dilakukan oleh Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen Israel terhadap perdamaian dan memicu kecaman internasional yang meluas.
Jumlah korban tewas terus meningkat secara dramatis. Laporan dari sumber medis yang dikutip oleh kantor berita WAFA menyebutkan angka korban jiwa telah mencapai 50 orang pada Jumat pagi, 17 Januari 2025, dengan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Serangan-serangan udara yang dilakukan oleh jet tempur Israel menargetkan berbagai lokasi di Gaza, termasuk tempat pengungsian warga sipil di Zeitoun, Gaza selatan, dan Jabalia di utara. Laporan saksi mata menggambarkan pemandangan mengerikan: bangunan-bangunan hancur, tubuh-tubuh bergelimpangan, dan jeritan keputusasaan yang menggema di tengah kepungan asap dan debu.
Salah satu serangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar bundaran an-Nazleh, Jabalia, di mana sebuah rumah dihantam rudal, menewaskan lima warga sipil, termasuk dua anak-anak dan dua perempuan. Serangan serupa juga terjadi di lingkungan Shuja’iyya, timur Kota Gaza, menambah daftar panjang korban sipil yang tak berdaya. Tragedi ini semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang telah melanda Gaza sejak awal konflik pada Oktober 2023.
Data dari otoritas kesehatan setempat menunjukkan gambaran yang lebih mengerikan lagi. Jumlah korban tewas Palestina akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai angka yang mencengangkan: 46.788 jiwa. Lebih dari 110.453 lainnya mengalami luka-luka, dengan mayoritas korban merupakan perempuan dan anak-anak. Angka-angka ini menggarisbawahi skala kerusakan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh konflik yang berkepanjangan ini.
Ironisnya, serangan-serangan mematikan ini terjadi hanya beberapa jam setelah Qatar mengumumkan kesepakatan gencatan senjata yang dijadwalkan mulai berlaku pada Minggu, 19 Januari 2025. Dalam 24 jam terakhir sebelum pengumuman tersebut, IDF telah melancarkan delapan serangan terpisah di Gaza, menewaskan 81 orang dan melukai 188 lainnya. Tindakan Israel ini telah memicu kecaman keras dari berbagai pihak, yang mempertanyakan niat sebenarnya di balik kesepakatan gencatan senjata yang telah diumumkan.
Pemerintah Israel sendiri memberikan penjelasan yang kontroversial atas serangan-serangan ini. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa "krisis menit terakhir" dengan Hamas telah menghambat persetujuan gencatan senjata dan pembebasan puluhan sandera yang ditawan oleh kelompok tersebut. Kantor Netanyahu menuduh Hamas mengingkari sebagian perjanjian, tanpa memberikan rincian lebih lanjut, dan menyatakan bahwa kabinet tidak akan mengadakan pertemuan untuk menyetujui perjanjian tersebut sampai Hamas mundur dari sikap yang dianggap sebagai pelanggaran kesepakatan.
Tuduhan Netanyahu ini dibantah oleh pihak Hamas. Seorang pejabat senior Hamas, Izzat al-Rishq, menegaskan bahwa kelompoknya tetap berkomitmen terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah diumumkan oleh para mediator. Pernyataan ini semakin memperumit situasi dan menimbulkan keraguan tentang kredibilitas klaim Israel.
Di tengah perselisihan ini, Netanyahu menghadapi tekanan domestik yang signifikan untuk memulangkan para sandera. Namun, mitra koalisi sayap kanannya mengancam akan menjatuhkan pemerintahannya jika ia memberikan terlalu banyak konsesi kepada Hamas. Situasi ini menciptakan dilema politik yang pelik bagi Netanyahu, yang harus menyeimbangkan tuntutan domestik dengan kebutuhan untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Sementara itu, Hamas menyatakan bahwa mereka tidak akan membebaskan tawanan yang tersisa tanpa adanya gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan IDF dari wilayah Gaza. Di sisi lain, Israel telah bersumpah untuk terus bertempur hingga Hamas dibubarkan dan Israel mempertahankan kontrol keamanan penuh atas wilayah tersebut. Perbedaan mendasar dalam tujuan dan strategi ini menjadi penghalang utama dalam upaya mencapai perdamaian yang langgeng.
Serangan-serangan Israel pasca pengumuman gencatan senjata ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan proses perdamaian. Ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua belah pihak, ditambah dengan tekanan politik domestik di Israel, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk negosiasi yang konstruktif. Kegagalan untuk mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan akan berdampak buruk pada warga sipil Palestina, yang telah menderita selama berbulan-bulan akibat konflik yang berkepanjangan.
Krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan semakin parah akibat serangan-serangan yang terus-menerus. Ribuan warga sipil telah kehilangan tempat tinggal dan hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Komunitas internasional harus mengambil peran yang lebih aktif dalam mendesak kedua belah pihak untuk menghentikan kekerasan dan kembali ke meja perundingan. Tekanan diplomatik yang kuat diperlukan untuk memaksa Israel untuk menghormati gencatan senjata dan untuk mendorong Hamas untuk berdialog secara konstruktif.
Kegagalan untuk mencapai solusi damai akan berdampak luas, tidak hanya pada Palestina dan Israel, tetapi juga pada stabilitas regional. Konflik yang berkepanjangan akan terus memicu kekerasan dan ketidakstabilan, mengancam perdamaian dan keamanan di seluruh Timur Tengah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya kolektif dari komunitas internasional untuk mendesak kedua belah pihak untuk berkomitmen pada perdamaian yang berkelanjutan dan untuk memastikan perlindungan warga sipil. Dunia internasional tidak boleh tinggal diam menyaksikan penderitaan rakyat Palestina dan harus berperan aktif dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini. Masa depan Gaza dan stabilitas regional bergantung pada kemampuan komunitas internasional untuk mendorong kedua belah pihak untuk mencapai gencatan senjata yang nyata dan memulai proses perdamaian yang berarti.