Jakarta – Sejarah peradaban manusia, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, menyimpan catatan kelam tentang berbagai umat yang binasa akibat kesombongan, kezaliman, dan penolakan terhadap ajaran Tuhan. Salah satu kisah yang paling menggetarkan dan sarat pelajaran adalah kisah kehancuran kaum Ad, sebuah peradaban yang pernah mencapai puncak kekuatan dan kemakmuran, namun akhirnya luluh lantak oleh murka Ilahi. Kisah ini, yang dikisahkan secara detail dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan tafsirnya, menjadi pengingat akan pentingnya ketaatan, kerendahan hati, dan keimanan yang teguh.
Kaum Ad, umat Nabi Hud AS, dikenal sebagai umat pertama yang kembali menyembah berhala setelah banjir besar pada zaman Nabi Nuh AS. Ibnu Katsir, dalam kitab Qishashul Anbiyaa, menjelaskan bahwa Allah SWT menganugerahkan kepada kaum Ad kekuatan fisik dan kekuasaan yang luar biasa untuk ukuran zamannya. Keberadaan mereka, menurut pendapat yang sahih, disebutkan dalam Surah Al-Mukminun ayat 31: “Kemudian Kami ciptakan setelah mereka umat yang lain (kaum ‘Ad).” Ayat ini menunjukkan kaum Ad sebagai generasi penerus setelah umat Nabi Nuh, namun dengan jalan hidup yang berbeda dan berujung pada malapetaka.
Kehidupan kaum Ad, meskipun dikaruniai kekuatan dan kemakmuran, diwarnai oleh keangkuhan dan kesombongan yang luar biasa. Mereka hidup dalam kemewahan, membangun bangunan-bangunan megah, dan menguasai teknologi yang canggih untuk masa itu. Namun, kekuatan dan kemajuan material ini justru menumbuhkan sifat arogansi dan pembangkangan terhadap Sang Pencipta. Mereka tenggelam dalam penyembahan berhala, menolak kebenaran, dan menentang ajaran-ajaran Ilahi yang disampaikan oleh utusan-Nya.
Allah SWT, dalam rahmat dan kasih sayang-Nya, mengutus Nabi Hud AS untuk mengajak kaum Ad kembali ke jalan yang benar, untuk menyembah-Nya semata dan meninggalkan penyembahan berhala. Nabi Hud AS, sebagai rasul yang diutus, berdakwah dengan penuh kesabaran dan hikmah, mengajak mereka untuk bertaubat dan memohon ampunan. Namun, seruan Nabi Hud AS justru disambut dengan penolakan dan penghinaan.
Keangkuhan kaum Ad tampak jelas dalam respons mereka terhadap dakwah Nabi Hud AS. Para pemimpin dan pemuka kaum Ad, bukannya menyambut ajakan untuk kembali kepada Allah SWT, malah menganggap Nabi Hud AS sebagai orang gila dan pembohong. Surah Al-A’raf ayat 66 menggambarkan penolakan keras kepala mereka: “(Para pemuka yang kufur di antara kaumnya berkata), ‘Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menduga bahwa kamu termasuk para pembohong.’ ” Ayat ini menggambarkan bagaimana keangkuhan dan kesombongan telah membutakan hati mereka sehingga mereka tidak mampu menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Hud AS.
Penolakan kaum Ad bukan hanya berupa penghinaan verbal, namun juga berupa tantangan yang nyata. Mereka meminta Nabi Hud AS untuk menunjukkan bukti nyata atas kebenaran dakwahnya. Mereka bersikukuh pada keyakinan dan penyembahan berhala mereka, menolak untuk meninggalkan tradisi nenek moyang mereka meskipun telah diperingatkan tentang bahaya kesesatan. Dalam Surah Hud ayat 53, mereka menantang Nabi Hud AS: “Wahai Hud, engkau tidak mendatangkan suatu bukti yang nyata kepada kami dan kami tidak akan (pernah) meninggalkan sembahan kami karena perkataanmu serta kami tidak akan (pernah) percaya kepadamu.”
Nabi Hud AS, dengan kesabaran dan keteguhan iman yang luar biasa, menjawab tantangan tersebut. Beliau menegaskan kesaksiannya kepada Allah SWT dan menantang kaum Ad untuk melanjutkan kesombongan dan keangkuhan mereka. Dalam Surah Hud ayat 54-55, beliau berkata: “Sesungguhnya, aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa kau berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dengan yang lain, sebab itu jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku dan jangan kamu tunda lagi.” Pernyataan ini, menurut Ibnu Katsir, merupakan tantangan sekaligus penghinaan halus terhadap berhala-berhala yang disembah oleh kaum Ad. Nabi Hud AS menyerahkan semuanya kepada kehendak Allah SWT.
Setelah berulang kali memperingatkan dan menyeru kepada kebaikan, namun tetap diabaikan, Allah SWT menurunkan azab-Nya kepada kaum Ad. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa azab tersebut datang dalam bentuk angin topan yang dahsyat. Allah SWT mengirimkan awan yang tampak seperti awan hujan, namun di dalamnya tersimpan angin yang sangat kencang dan mematikan. Awan tersebut muncul dari lembah Mughits.
Awalnya, kaum Ad mengira awan tersebut membawa hujan yang sangat mereka nantikan setelah kemarau panjang. Namun, seorang wanita bernama Mahd, menurut para mufassir, adalah orang pertama yang menyadari bahwa awan tersebut bukanlah awan hujan biasa, melainkan pertanda azab yang mengerikan. Ia melihat angin yang menyerupai api, diiringi oleh beberapa sosok yang menggiring angin tersebut. Ketakutan dan kepanikan meliputi Mahd, hingga ia pingsan karena terkejut. Setelah siuman, ia menceritakan apa yang dilihatnya kepada kaum Ad.
Azab berupa angin topan yang dahsyat itu kemudian menimpa kaum Ad selama tujuh malam delapan hari tanpa henti. Angin tersebut bukan hanya angin biasa, namun angin yang sangat kuat dan panas, sehingga membinasakan seluruh kaum Ad tanpa tersisa seorang pun. Kekuatan dan kemakmuran yang mereka banggakan sirna dalam sekejap. Bangunan-bangunan megah mereka hancur lebur, dan seluruh peradaban mereka lenyap ditelan bumi.
Sementara itu, Nabi Hud AS dan orang-orang yang beriman kepada-Nya diselamatkan oleh Allah SWT. Mereka berlindung di tempat yang aman, sehingga terhindar dari azab yang mengerikan tersebut. Kisah ini menjadi bukti nyata akan perlindungan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang taat dan beriman.
Kisah kehancuran kaum Ad merupakan pelajaran berharga bagi seluruh umat manusia. Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya ketaatan kepada Allah SWT, kerendahan hati, dan menghindari kesombongan dan keangkuhan. Kekuatan dan kemakmuran material bukanlah jaminan keselamatan, namun keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT-lah yang akan melindungi kita dari azab dan malapetaka. Semoga kisah ini menjadi renungan bagi kita semua untuk selalu berada di jalan yang benar dan menjauhi segala bentuk kesombongan dan kezaliman. Wallahu a’lam bishawab.