Jakarta, 17 Januari 2025 – Usulan Ketua DPD RI, Sultan B Najamuddin, yang mendorong pemanfaatan dana zakat untuk membiayai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai respons beragam, khususnya dari kalangan ulama. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menyatakan bahwa penggunaan dana zakat untuk program tersebut memiliki potensi menimbulkan perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama. Pernyataan ini disampaikannya sebagai tanggapan atas usulan Sultan yang disampaikan pada Selasa (14/1/2025).
"Penggunaan dana zakat untuk MBG hanya tepat jika diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga fakir dan miskin," tegas Buya Anwar, sapaan akrab Anwar Abbas, dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025). Ia menekankan bahwa penyaluran dana zakat memiliki ketentuan yang sangat spesifik dan terikat pada delapan golongan asnaf yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis, yaitu: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, orang yang terlilit hutang, budak yang ingin memerdekakan diri, ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan), dan fi sabilillah (di jalan Allah). Oleh karena itu, menurutnya, pemberian MBG kepada anak-anak dari keluarga mampu tidak sesuai dengan kaidah penyaluran zakat.
Buya Anwar lebih lanjut menjelaskan bahwa dana infak dan sedekah memiliki fleksibilitas yang lebih luas dibandingkan zakat. "Dana infak dan sedekah dapat digunakan untuk membiayai MBG bagi anak-anak dari keluarga yang berada, karena penyalurannya tidak seketat zakat," ujarnya. Hal ini dikarenakan infak dan sedekah bersifat sukarela dan tidak terikat pada ketentuan penerima yang spesifik seperti zakat.
Terkait usulan pemanfaatan dana wakaf, Buya Anwar memberikan penolakan tegas. Ia menjelaskan bahwa konsep wakaf memiliki prinsip fundamental yang tidak memungkinkan untuk digunakan dalam konteks MBG. "Wakaf terdiri dari dua unsur utama: benda atau zat (pokok wakaf) dan manfaatnya (hasil wakaf). Pokok wakaf harus tetap utuh dan tidak boleh hilang. Oleh karena itu, istilah ‘wakaf makanan bergizi’ tidak tepat karena zat atau pokoknya akan habis terpakai," jelasnya.
Namun, Buya Anwar memberikan pengecualian. Ia menyatakan bahwa pemanfaatan hasil pengelolaan harta wakaf untuk MBG dimungkinkan, asalkan terdapat persetujuan dari pihak yang mewakafkan dan penggunaan tersebut tidak bertentangan dengan niat awal pewakaf. Dengan demikian, penggunaan dana wakaf untuk MBG harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak boleh menghilangkan pokok wakaf itu sendiri.
Sebagai alternatif pendanaan MBG, Buya Anwar menyarankan pemanfaatan dana hadiah, hibah, atau infak dan sedekah. Namun, ia mengakui bahwa penggunaan alternatif ini pun berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam dan pemahaman yang komprehensif terkait hukum Islam dalam hal ini.
Menyikapi keterbatasan anggaran pemerintah, Buya Anwar mengusulkan pendekatan bertahap dalam pelaksanaan MBG. "Jika dana pemerintah masih terbatas, sebaiknya MBG dilaksanakan satu atau dua hari dalam seminggu terlebih dahulu. Kemudian, di tahun berikutnya, jika anggaran sudah mencukupi, pelaksanaan MBG dapat ditingkatkan menjadi lima atau enam hari dalam seminggu," sarannya.
Namun, Buya Anwar juga menyoroti kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam Indonesia. Ia menilai aneh jika pemerintah mengalami kesulitan pendanaan untuk program MBG yang tergolong penting bagi kesejahteraan rakyat. "Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi pengelolaan sumber daya alam kita. Para pengusaha pertambangan telah menikmati keuntungan besar dari konsesi yang diberikan pemerintah. Kini, pemerintah harus mengarahkan pengelolaan sumber daya alam tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," tegasnya.
Ia menekankan perlunya pemerintah bersikap tegas dalam menentukan bagi hasil antara pemerintah dan pengusaha. Dengan demikian, pendapatan negara akan meningkat dan dapat dialokasikan untuk berbagai program penting, termasuk MBG. Hal ini, menurutnya, merupakan solusi yang lebih berkelanjutan dan adil dibandingkan dengan mengandalkan dana zakat, wakaf, atau infak dan sedekah yang memiliki batasan dan ketentuan masing-masing.
Sebelumnya, Ketua DPD RI, Sultan B Najamuddin, mengajukan usulan melibatkan masyarakat dalam pendanaan MBG, termasuk dengan memanfaatkan dana zakat. Menurutnya, dana zakat yang jumlahnya sangat besar di Indonesia dapat menjadi sumber pendanaan tambahan untuk program tersebut. Usulan ini, meski mendapat dukungan dari beberapa pihak, juga menuai kontroversi dan memerlukan kajian lebih lanjut dari berbagai perspektif, termasuk dari sisi keagamaan dan hukum.
Pernyataan Buya Anwar mewakili pandangan MUI yang menekankan pentingnya memahami dan menaati kaidah-kaidah penyaluran zakat, wakaf, dan infak sesuai dengan syariat Islam. Ia juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mengelola sumber daya alam secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Debat mengenai pendanaan MBG ini menunjukkan kompleksitas permasalahan sosial dan ekonomi di Indonesia, serta menuntut solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek keagamaan, hukum, dan ekonomi. Perdebatan ini juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, termasuk dana zakat, wakaf, dan sumber daya alam. Ke depan, diharapkan tercipta dialog yang lebih konstruktif antara pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat untuk mencari solusi terbaik bagi pembiayaan program-program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas.