Jakarta – Hadits Nabi Muhammad SAW memperingatkan akan datangnya zaman penuh tipu daya sebelum hari kiamat tiba, sebuah era di mana kebenaran terdistorsi dan kebatilan dirayakan. Dalam konteks zaman penuh fitnah ini, muncullah sosok yang disebut sebagai ruwaibidhah, sebuah istilah yang relevansi dan implikasinya semakin terasa nyata di era digital saat ini. Pemahaman mendalam tentang ruwaibidhah sangat krusial untuk menavigasi kompleksitas informasi dan opini yang membanjiri kehidupan modern kita.
Hadits yang meriwayatkan tentang ruwaibidhah terdapat dalam beberapa kitab hadits, di antaranya Sunan Ibnu Majah dan Kanzun Ummal. Redaksi hadits tersebut beragam, namun inti pesannya konsisten. Dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara.” Ketika ditanya tentang makna ruwaibidhah, Rasulullah SAW menjawab: “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.”
Riwayat lain dari Anas bin Malik dalam kitab Kanzun Ummal menguatkan pesan tersebut dengan redaksi yang sedikit berbeda. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di zaman Dajjal penuh dengan kedustaan. Pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat.” Kemudian, beliau menjelaskan makna ruwaibidhah sebagai: “Seorang yang fasik berbicara tentang urusan umum.”
Kedua riwayat tersebut, meskipun dengan redaksi berbeda, menunjukkan kesamaan inti: ruwaibidhah muncul dalam konteks zaman penuh kebohongan dan pengkhianatan, di mana kebenaran terpinggirkan. Mereka adalah individu-individu yang tidak memiliki kompetensi, wawasan, atau pengetahuan yang memadai, namun berani mencampuri urusan publik dan mengeluarkan pendapat yang seringkali menyesatkan.
Secara etimologis, kata ruwaibidhah berasal dari akar kata rabadha dalam bahasa Arab. Kata kerja rabadha memiliki beberapa makna, salah satunya adalah “berlutut” atau “bersandar”. Transformasi rabadha menjadi ruwaibidhah menunjukkan subjek pelaku tindakan tersebut. Makna ini kemudian berkembang menjadi “orang lemah yang tidak mampu atau menahan diri dari perkara-perkara yang sifatnya tinggi”, menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memahami kompleksitas isu-isu publik.
Makna lain yang lebih relevan dengan konteks hadits adalah “orang bodoh yang berbicara tentang masalah umum”. Definisi ini menekankan pada aspek ketidakmampuan intelektual dan kurangnya pengetahuan yang dimiliki ruwaibidhah dalam mengkaji dan menganalisis isu-isu publik. Mereka adalah individu yang berbicara tanpa dasar pengetahuan yang kuat, seringkali mengeluarkan opini yang dangkal, bahkan menyesatkan.
Lebih lanjut, ruwaibidhah dapat diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kompetensi, wawasan, dan pengetahuan dalam bidang tertentu, namun aktif memberikan komentar dan pendapat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Mereka seringkali mencampuri urusan yang jauh dari keahlian dan kompetensi mereka, sehingga menimbulkan kebingungan dan bahkan kerugian bagi masyarakat.
Relevansi ruwaibidhah di era modern, khususnya di era media sosial, sangatlah signifikan. Platform digital telah menciptakan ruang publik yang terbuka bagi siapa saja untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. Namun, kemudahan akses ini juga telah memicu proliferasi informasi yang tidak terverifikasi, opini yang bias, dan komentar yang tidak bertanggung jawab.
Media sosial, dengan algoritmanya yang kompleks, seringkali mengangkat suara ruwaibidhah ke permukaan, memberikan mereka platform untuk menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan. Informasi yang tidak benar dengan mudah tersebar luas, sementara informasi yang benar justru sulit untuk menembus lautan informasi yang membingungkan.
Fenomena ini diperparah dengan kecenderungan masyarakat untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan bias kognitif mereka, tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, pendapat ruwaibidhah yang seringkali berisi kebohongan atau interpretasi yang salah, justru dipercaya oleh banyak orang.
Lebih parah lagi, di era media sosial, banyak individu yang mencitrakan diri sebagai ahli di bidang tertentu, padahal pengetahuan mereka sangat terbatas. Mereka mengeluarkan pendapat tentang isu-isu publik yang kompleks, seperti politik, ekonomi, atau agama, tanpa memiliki landasan pengetahuan yang memadai.
Dalam konteks agama, fenomena ini sangat berbahaya. Kemudahan akses informasi agama melalui media sosial telah menyebabkan munculnya "ulama dadakan" yang mengeluarkan fatwa atau pendapat agama tanpa memiliki kualifikasi dan pengetahuan yang cukup. Mereka seringkali menafsirkan teks agama secara sesuai keinginan mereka sendiri, tanpa memperhatikan konteks dan kaidah-kaidah tafsir yang benar.
Perdebatan liar di media sosial yang berkaitan dengan paham agama merupakan manifestasi nyata dari munculnya ruwaibidhah di era modern. Hal ini mengakibatkan kebingungan dan perpecahan di kalangan umat beragama. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki diskriminasi yang baik dalam menyerap informasi dan menentukan sumber informasi yang valid dan terpercaya.
Untuk mencegah dampak negatif dari munculnya ruwaibidhah, kita perlu memiliki kemampuan kritis dalam menilai informasi dan opini yang beredar di media sosial. Kita harus melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum mempercayai suatu informasi, dan berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat tentang isu-isu yang bukan keahlian kita.
Lebih dari itu, kita juga perlu memiliki kemampuan untuk membedakan antara pendapat yang berbasis fakta dan pendapat yang berbasis opini atau emosi. Kita harus menghindari penyebaran informasi yang tidak benar atau menyesatkan, dan mengutamakan etika dan kebijaksanaan dalam berkomunikasi di media sosial.
Kesimpulannya, ruwaibidhah bukanlah hanya fenomena yang terjadi di masa lalu. Di era digital saat ini, munculnya ruwaibidhah justru semakin menonjol dan berpotensi menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan etika berkomunikasi di media sosial sangat diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari munculnya ruwaibidhah dan menjaga integritas informasi di masyarakat. Wallahu a’lam bishawab.