Sebuah prediksi kontroversial mengemuka, mengklaim kiamat akan terjadi pada tanggal 13 November 2026. Prediksi ini dilontarkan oleh fisikawan Heinz von Foerster dari Universitas Illinois, yang menggunakan rumus matematika untuk menghitung "hari kiamat" tersebut. Klaim Foerster, yang dikutip dari berbagai sumber berita termasuk detikEdu, berdasarkan proyeksi pertumbuhan populasi manusia yang eksponensial. Ia berargumen bahwa bahkan jika umat manusia mampu mengatasi berbagai tantangan besar, pertumbuhan populasi yang tak terkendali akan akhirnya menyebabkan kehancuran diri sendiri. Dengan kata lain, menurut Foerster, populasi manusia akan mencapai angka tak terhingga, memicu bencana yang ia sebut sebagai "kiamat".
Prediksi ini, yang didasarkan pada model matematika dan analisis tren populasi, secara inheren bersifat spekulatif dan jauh dari konsensus ilmiah. Model-model matematika, sebagaimana dipahami dalam metodologi ilmiah, hanya mampu memprediksi tren berdasarkan data dan asumsi yang ada. Model tersebut tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor tak terduga, kejadian-kejadian tak terantisipasi, atau intervensi-intervensi yang dapat mengubah arah tren tersebut. Dalam konteks prediksi kiamat, model ini mengabaikan kompleksitas interaksi sosial, perkembangan teknologi, dan faktor-faktor lingkungan yang secara signifikan dapat memengaruhi pertumbuhan dan keberlanjutan populasi manusia. Oleh karena itu, menerima prediksi ini sebagai kebenaran mutlak akan menjadi kesalahan metodologis yang serius.
Lebih jauh lagi, prediksi Foerster bersifat deterministik, menganggap kehancuran sebagai konsekuensi tak terelakkan dari pertumbuhan populasi. Pandangan ini mengabaikan kapasitas manusia untuk beradaptasi, berinovasi, dan mengubah perilaku untuk menghadapi tantangan. Sejarah manusia sendiri telah menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi krisis dan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan demografis yang signifikan. Dengan demikian, prediksi Foerster merupakan reduksi yang berlebihan dari kompleksitas realitas manusia dan mengabaikan potensi manusia untuk membentuk masa depannya sendiri.
Pertanyaan yang lebih penting muncul ketika kita membandingkan prediksi ini dengan perspektif agama, khususnya Islam. Dalam Islam, kiamat (Yawm al-Qiyamah) merupakan keyakinan fundamental yang diyakini oleh seluruh umat Muslim. Kiamat, bukan sekadar berakhirnya kehidupan di bumi, melainkan peristiwa kosmik yang maha dahsyat, menandai berakhirnya seluruh alam semesta sebagaimana yang kita kenal. Peristiwa ini digambarkan dalam Al-Qur’an dan hadis dengan detail yang luar biasa, menunjukkan kehancuran total dan kebangkitan kembali.
Namun, waktu pasti terjadinya kiamat hanya diketahui oleh Allah SWT. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, surah Al-A’raf ayat 187: "Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Pengetahuan tentang hari kiamat itu hanya di sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskannya kecuali Dia. Ia sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) di langit dan di bumi. Ia tidak akan datang kepadamu melainkan secara tiba-tiba’." Ayat ini secara tegas menolak upaya manusia untuk menentukan waktu pasti kiamat, menekankan ketidakmampuan akal manusia untuk memahami kejadian maha besar tersebut.
Keyakinan akan datangnya kiamat merupakan rukun iman dalam Islam. Meragukannya dianggap sebagai kekurangan dalam keimanan. Namun, keyakinan ini tidak berarti harus diiringi dengan upaya untuk memprediksi waktu terjadinya. Sebaliknya, keyakinan akan kiamat seharusnya memotivasi umat manusia untuk bertaqwa kepada Allah SWT, berbuat kebaikan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Al-Qur’an menggambarkan kiamat dengan gambaran yang sangat dahsyat. Beberapa ayat menggambarkan kehancuran alam semesta, seperti dalam surah Al-Qari’ah yang melukiskan gunung-gunung yang hancur seperti bulu yang beterbangan dan manusia yang berhamburan seperti lalat. Surah Al-Anbiya menggambarkan langit yang digulung seperti gulungan kertas, sementara surah Al-Haqqah menggambarkan tiupan sangkakala dan benturan bumi dan gunung. Gambaran-gambaran ini bukan sekadar kiasan, melainkan ungkapan simbolik tentang kekuasaan dan kebesaran Allah SWT yang melampaui batas pemahaman manusia.
Selain gambaran kiamat itu sendiri, Al-Qur’an dan hadis juga menyebutkan tanda-tanda kiamat (alaamat al-sa’ah). Tanda-tanda ini dibagi menjadi dua kategori: tanda-tanda kecil (alaamat sughra) dan tanda-tanda besar (alaamat kubra). Tanda-tanda kecil merupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi secara bertahap dan sudah mulai tampak di zaman modern ini, seperti meningkatnya kejahatan, perselisihan, dan kemerosotan moral. Tanda-tanda besar merupakan peristiwa-peristiwa yang lebih spektakuler dan menandai dekatan kiamat secara lebih signifikan, seperti terbitnya matahari dari barat, kemunculan Dajjal, dan kemunculan Ya’juj dan Ma’juj.
Tanda-tanda kiamat ini bukanlah prediksi waktu pasti kiamat, melainkan peringatan bagi umat manusia agar senantiasa bertaqwa dan mempersiapkan diri. Mempelajari tanda-tanda kiamat bukan untuk menentukan waktu terjadinya, melainkan untuk meningkatkan keimanan dan memperbaiki perilaku.
Kesimpulannya, prediksi kiamat 2026 yang dilontarkan oleh Heinz von Foerster berdasarkan rumus matematika harus dilihat dengan kritis dan tidak dapat diterima sebagai kebenaran mutlak. Prediksi ini mengabaikan kompleksitas realitas manusia dan potensi manusia untuk membentuk masa depannya sendiri. Sementara keyakinan akan kiamat dalam Islam merupakan rukun iman yang tak terbantahkan, waktu pasti terjadinya hanya diketahui oleh Allah SWT. Upaya untuk memprediksi waktu kiamat bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak memiliki dasar yang kuat. Fokus utama umat Islam seharusnya tertuju pada bertaqwa kepada Allah SWT, berbuat kebaikan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan iman dan tawakkal. Mempelajari tanda-tanda kiamat sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan keimanan dan memperbaiki perilaku, bukan untuk menentukan waktu pasti terjadinya.