Pertanyaan mengenai kapan ruh ditiupkan ke dalam janin merupakan salah satu pertanyaan fundamental dalam pemahaman penciptaan manusia menurut ajaran Islam. Proses penciptaan ini, yang melibatkan peniupan ruh oleh malaikat, merupakan momen sakral yang menandai peralihan dari sekadar materi biologis menjadi entitas hidup yang berjiwa. Lebih dari sekadar proses biologis, peristiwa ini juga diyakini sebagai titik awal penentuan takdir individu, di mana malaikat mencatat rezeki, amal, ajal, dan akhir kehidupan seseorang – apakah menuju surga atau neraka.
Hadits sebagai Acuan Utama:
Hadits riwayat Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud RA, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, memberikan gambaran komprehensif mengenai tahapan penciptaan manusia hingga akhir hayatnya. Hadits ini, sebagaimana tercantum dalam buku Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawi terjemahan Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, menjelaskan proses tersebut secara detail:
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah (mani), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpalan darah) selama empat puluh hari pula, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat, lalu ia meniupkan ruh ke dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat perkara: tentang rezekinya, amalannya, ajalnya, dan apakah ia termasuk orang yang sengsara atau bahagia. Demi Allah, Dzat yang tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian benar-benar beramal dengan amalan penduduk surga sehingga jarak antara dia dengan surga itu tinggal sejengkal. Namun, ia didahului oleh catatan takdirnya sehingga ia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka ia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang di antara kalian beramal dengan amalan penduduk neraka sehingga jarak antara dia dengan neraka tinggal sejengkal. Namun, ia didahului oleh catatan takdirnya sehingga ia beramal dengan amalan penduduk surga, maka ia pun masuk ke dalamnya.”
Hadits ini bukan sekadar menjelaskan tahapan biologis pembentukan janin, tetapi juga menekankan peran takdir dalam kehidupan manusia. Meskipun manusia berikhtiar dan beramal, takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT tetap menjadi penentu akhir perjalanan hidup. Konsep ini mengajarkan pentingnya keimanan dan ketaatan kepada Allah, karena usaha manusia tetap berada dalam kerangka takdir Ilahi.
Konsensus Ulama dan Waktu Peniupan Ruh:
Berdasarkan interpretasi hadits dan kajian para ulama sebagaimana dijelaskan dalam Al-Wafi, terdapat konsensus yang menyatakan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 120 hari sejak proses pembuahan awal. Artinya, momen sakral ini diperkirakan terjadi sekitar bulan keempat hingga awal bulan kelima masa kehamilan. Ketiga fase yang dijelaskan dalam hadits – nutfah (40 hari), ‘alaqah (40 hari), dan mudghah (40 hari) – menjumlahkan total 120 hari, sebelum ruh ditiupkan.
Periode 120 hari ini bukan hanya sebuah angka, tetapi juga mencerminkan tahapan perkembangan biologis janin yang signifikan. Dari sekadar sel tunggal (nutfah), janin berkembang menjadi segumpalan darah (’alaqah) yang kemudian membentuk struktur tubuh dasar (mudghah). Setelah melewati tahapan ini, janin siap menerima ruh, yang memberikan kehidupan dan kesadaran.
Tradisi dan Praktik Keagamaan:
Pemahaman mengenai waktu peniupan ruh ini telah melahirkan berbagai tradisi dan praktik keagamaan di masyarakat, khususnya di Indonesia. Salah satu yang paling dikenal adalah acara “selamatan empat bulanan” bagi ibu hamil. Acara ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga merupakan bentuk syukur dan doa kepada Allah SWT atas keselamatan dan kesehatan janin yang telah menerima ruh.
Tradisi ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya berdoa dan memohon kepada Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses kehamilan dan kelahiran. Membaca doa dan ayat-ayat Al-Quran pada momen empat bulanan diyakini sebagai bentuk permohonan perlindungan dan keberkahan bagi ibu dan janin.
Doa-doa untuk Ibu Hamil di Bulan Keempat:
Berbagai referensi keagamaan, seperti buku Lengkap & Praktis Doa Dzikir Harian Khusus Ibu Hamil karya Ustaz Syaifurrahman El-Fati dan Bimbingan Doa dan Wirid Ibu Hamil karya M. Syukron Maksum, menyajikan beberapa doa yang dianjurkan untuk dibaca ibu hamil di bulan keempat kehamilan. Doa-doa ini berisi permohonan perlindungan, kesehatan, dan kebaikan bagi janin yang telah diberi ruh.
Berikut contoh dua doa yang sering dipanjatkan:
(Doa Pertama): Doa ini berisikan permohonan perlindungan dan kesehatan bagi janin selama berada di dalam kandungan, serta permohonan agar proses kelahiran berjalan lancar dan bayi lahir sehat, sempurna, cerdas, dan berakhlak mulia. Doa ini juga memohon keberkahan untuk bayi agar kelak dapat membaca dan mengamalkan Al-Quran dan Hadits.
(Doa Kedua): Doa ini lebih komprehensif, mencakup permohonan agar janin menjadi keturunan yang baik, saleh, sehat, cerdas, berilmu, beruntung, kaya, dermawan, dan berbakti kepada orang tua. Doa ini juga memohon kemudahan dalam proses kelahiran, keselamatan bagi ibu dan bayi, serta keberkahan dan husnul khatimah.
Kedua doa di atas, meskipun berbeda redaksi, menunjukkan inti permohonan yang sama: keselamatan, kesehatan, dan kebaikan bagi ibu dan janin. Doa-doa tersebut juga mencerminkan harapan orang tua agar anak mereka kelak menjadi pribadi yang saleh dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Kesimpulan:
Peniupan ruh ke dalam janin pada usia sekitar 120 hari kehamilan merupakan momen penting dalam perspektif Islam. Momen ini bukan hanya menandai dimulainya kehidupan berjiwa, tetapi juga menandai dimulainya penentuan takdir individu. Tradisi selamatan empat bulanan dan doa-doa yang dipanjatkan oleh ibu hamil merefleksikan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam mengharapkan keselamatan dan keberkahan bagi ibu dan janinnya. Peristiwa ini menekankan kembali pentingnya keimanan, ketaatan, dan doa kepada Allah SWT dalam setiap tahapan kehidupan manusia. Perlu diingat bahwa semua ini berdasarkan pemahaman dan interpretasi hadits dan kajian ulama, dan Wallahu a’lam bishawab (Allah SWT yang lebih mengetahui kebenarannya).