Jakarta – Dalam ajaran Islam, bekerja bukanlah sekadar tuntutan ekonomi semata, melainkan sebuah perintah ilahi yang bernilai ibadah. Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 105 dengan tegas memerintahkan umat manusia untuk bekerja, menekankan pentingnya usaha dan produktivitas dalam kehidupan. Namun, pertanyaan mengenai pekerjaan "terbaik" mengarah pada dimensi moral dan keberkahan, bukan semata-mata pada besaran pendapatan. Hadits-hadits Rasulullah SAW memberikan pencerahan mengenai hal ini, mengarahkan pandangan kita pada esensi pekerjaan yang bernilai di mata Allah SWT.
Salah satu hadits yang paling sering dikutip terkait pekerjaan terbaik diriwayatkan oleh Al-Miqdam RA dari Nabi SAW: "Makanan apa saja yang dimakan seseorang adalah lebih baik memakan dari hasil usaha tangan sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud AS, beliau makan dari hasil tangannya sendiri." (HR Bukhari, Abu Daud, an-Nasai). Hadits ini bukan sekadar anjuran untuk bekerja keras, melainkan sebuah penegasan akan kemuliaan usaha mandiri. Nabi Daud AS, seorang nabi yang dihormati, dijadikan contoh teladan dalam hal ini. Beliau, meskipun berstatus nabi, tetap bekerja dan tidak bergantung pada pemberian orang lain. Pesan yang tersirat adalah kemandirian ekonomi dan penghormatan terhadap hasil jerih payah sendiri. Kebahagiaan dan keberkahan yang didapat dari hasil kerja keras sendiri jauh lebih bernilai daripada memperoleh rezeki dengan cara yang mudah namun kurang berkah.
Hadits ini juga menepis anggapan bahwa bekerja hanya untuk kalangan tertentu. Status sosial, jabatan, atau bahkan kedudukan sebagai nabi tidak menjadi penghalang untuk bekerja keras dan menghidupi diri sendiri. Justru, kerja keras dan kemandirian menjadi cerminan ketaqwaan dan kesederhanaan. Prinsip ini relevan hingga saat ini, di mana budaya instan dan ketergantungan pada bantuan eksternal cenderung melunturkan nilai kerja keras dan usaha mandiri.
Hadits lain memberikan perspektif berbeda mengenai pekerjaan terbaik. Suatu ketika, Rasulullah SAW ditanya, "Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?" Beliau menjawab, "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi)." (HR Ahmad). Kata "kasb" dalam hadits ini merujuk pada usaha atau pekerjaan untuk mencari rezeki. Asy Syaibani menjelaskan lebih lanjut bahwa kasb adalah upaya memperoleh harta melalui jalan dan sebab yang halal. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat Nabi SAW tidak sekadar mempertanyakan pekerjaan dengan penghasilan tertinggi, melainkan lebih fokus pada aspek keberkahan dan kehalalannya.
Perlu ditekankan di sini bahwa hadits ini tidak membatasi pekerjaan terbaik hanya pada usaha mandiri. Jual beli yang mabrur, atau jual beli yang diberkahi, juga termasuk kategori pekerjaan terbaik. Ini membuka peluang bagi berbagai jenis pekerjaan di bidang perdagangan dan bisnis, selama dilakukan dengan prinsip-prinsip keislaman. Kunci keberkahan dalam jual beli terletak pada kejujuran, transparansi, dan keadilan dalam bertransaksi. Keuntungan bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan, melainkan juga bagaimana proses transaksi tersebut dilakukan.
Hadits dari Abu Sa’id menegaskan hal ini: "Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada." (HR At Tirmidzi). Hadits ini menempatkan pedagang jujur dan terpercaya sejajar dengan para nabi dan syuhada, menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya profesi perdagangan jika dijalankan dengan integritas. Kejujuran dan kepercayaan menjadi kunci utama keberkahan dalam bisnis. Seorang pedagang yang jujur tidak hanya akan mendapatkan keuntungan materi, tetapi juga akan mendapatkan ridho Allah SWT dan penghormatan dari masyarakat.
Lebih lanjut, hadits dari Hakim bin Hizam RA memberikan detail mengenai prinsip-prinsip jual beli yang diberkahi: "Nabi SAW bersabda, ‘Penjual dan pembeli dalam masa khiyar selama belum berpisah atau sampai berpisah. Apabila keduanya jujur dan transparan, diberkahilah keduanya dalam jual belinya. Dan apabila saling menyembunyikan dan berbohong, hilanglah berkah dalam jual beli mereka.’" (HR Al Bukhari). Hadits ini menekankan pentingnya kejujuran dan transparansi dalam setiap transaksi jual beli. Kedua belah pihak, penjual dan pembeli, memiliki hak untuk mengetahui informasi yang relevan dan akurat mengenai barang atau jasa yang diperjualbelikan. Kejujuran dan transparansi akan menciptakan rasa saling percaya dan keberkahan dalam transaksi. Sebaliknya, kecurangan dan penipuan akan menghilangkan keberkahan dan dapat berdampak negatif bagi kedua belah pihak.
Namun, pandangan Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudhihul Ahkam memberikan perspektif yang lebih komprehensif. Beliau berpendapat bahwa pekerjaan terbaik sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing individu. Pekerjaan apa pun, selama dilakukan dengan niat baik, tanpa unsur penipuan, dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang terkait, dapat bernilai baik di mata Allah SWT. Hal ini menekankan pentingnya kesesuaian antara kemampuan dan minat individu dengan pekerjaan yang dipilih. Tidak ada satu pun pekerjaan yang secara inheren lebih baik daripada pekerjaan lainnya, asalkan dilakukan dengan cara yang halal dan bertanggung jawab.
Kesimpulannya, ajaran Islam tidak memberikan satu definisi tunggal mengenai pekerjaan "terbaik". Hadits-hadits Rasulullah SAW mengarahkan kita pada esensi pekerjaan yang bernilai, yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan usaha mandiri, kejujuran, transparansi, dan keberkahan. Baik usaha mandiri maupun bisnis, selama dijalankan dengan integritas dan prinsip-prinsip keislaman, dapat menjadi pekerjaan yang mulia dan diberkahi. Pilihan pekerjaan yang tepat harus dipertimbangkan berdasarkan kemampuan, minat, dan kesesuaian dengan nilai-nilai Islam. Yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan usaha yang konsisten dalam menjalankan pekerjaan tersebut. Keberhasilan tidak hanya diukur dari keuntungan materi, melainkan juga dari dampak positif yang diberikan kepada diri sendiri, masyarakat, dan Allah SWT.