Jakarta, 13 Januari 2025 – Perkembangan pesat akad syariah di Indonesia telah melampaui ekspektasi, menarik minat tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga non-muslim. Hal ini diungkapkan oleh Dr. KH. Saad Ibrahim, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam sambutannya di Maybank Shariah Thought Leaders Forum 2025 di Fairmont Hotel, Jakarta. Pernyataan ini mengungkap dinamika ekonomi syariah yang semakin kompleks dan meluas pengaruhnya di masyarakat Indonesia.
KH. Saad Ibrahim, mengutip laporan lapangan termasuk data yang disampaikan oleh Komisaris Independen Maybank Indonesia, menyatakan bahwa implementasi kebijakan "syariah first" telah mendorong pertumbuhan signifikan transaksi berbasis syariah. Pengamatan langsung di beberapa kota besar seperti Balikpapan, Padang, Malang, dan Surabaya memperkuat data tersebut. "Yang menarik, transaksi-transaksi syariah, akad-akad syariah, tidak hanya diambil oleh muslim, tetapi juga oleh non-muslim," tegasnya.
Fenomena ini, menurut KH. Saad, menunjukkan dua orientasi yang berbeda namun saling melengkapi. Bagi muslim, perkembangan akad syariah menunjukkan pergeseran orientasi yang semakin ideologis, meskipun tetap mempertimbangkan aspek profit. Sebaliknya, motivasi utama kalangan non-muslim dalam mengadopsi akad syariah lebih terfokus pada keuntungan finansial. "Yang muslim orientasinya berubah ideologis, di samping profit. Tapi yang non-muslim, hampir pasti orientasinya adalah profit," jelasnya.
Keberhasilan bank-bank syariah di negara-negara seperti Perancis dan Jerman, menurut KH. Saad, merupakan bukti nyata dari kemaslahatan dan manfaat yang ditawarkan oleh sistem keuangan syariah. Sistem ini terbukti memberikan dampak positif, tidak hanya bagi mereka yang secara teologis menganut prinsip syariah, tetapi juga bagi masyarakat luas. "Rahmatan lil alamin, dampak kebaikannya dirasakan baik oleh muslim maupun non-muslim," tambahnya.
Lebih jauh, KH. Saad Ibrahim memaparkan empat indikator penting yang mencerminkan relasi yang sehat antara individu dengan kekayaannya dalam perspektif Islam. Keempat indikator ini memberikan kerangka etis dan spiritual dalam pengelolaan harta, menghindari potensi eksploitasi dan ketidakadilan.
Empat Indikator Relasi Sehat dengan Kekayaan:
Pertama, dimensi teologis kepemilikan harta. KH. Saad menekankan bahwa kekayaan bukanlah milik mutlak individu, melainkan amanah dari Allah SWT. Konsep al-milkul mustaf (kepemilikan pinjaman) mengingatkan bahwa setiap individu hanya sebagai pengelola sementara, bertanggung jawab atas penggunaannya. Pemahaman ini membentuk landasan spiritual dalam pengelolaan harta, mencegah sikap tamak dan mementingkan diri sendiri.
Kedua, penerapan prinsip syariah dalam bermuamalah. Setelah memahami dimensi teologis kepemilikan, individu diwajibkan untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam segala transaksi dan kegiatan ekonomi. Hal ini meliputi kejujuran, keadilan, transparansi, dan menghindari riba (bunga). Penerapan prinsip syariah ini bukan sekadar kepatuhan ritual, tetapi juga merupakan wujud tanggung jawab moral dan spiritual dalam berinteraksi ekonomi.
Ketiga, etos kerja yang tinggi. KH. Saad menegaskan bahwa kemalasan merupakan bentuk kekufuran dalam Islam. Etos kerja yang tinggi, dipandang sebagai bentuk ibadah dan usaha untuk mendapatkan rizki yang halal. Sikap rajin dan tekun dalam bekerja bukan hanya untuk mencapai keuntungan materi, tetapi juga sebagai wujud syukur dan pengabdian kepada Allah SWT. Kinerja yang optimal dan produktif merupakan refleksi dari keimanan dan komitmen terhadap nilai-nilai agama.
Keempat, sikap bijak dalam menghadapi keberhasilan dan kegagalan. Bagaimana seseorang bersikap ketika memperoleh kekayaan dan bagaimana ia menghadapi kegagalan merupakan indikator penting lainnya. Penggunaan kekayaan untuk kepentingan kemaslahatan umat, terutama membantu kaum lemah, merupakan tanda kebaikan dan ketakwaan. Sikap rendah hati dan menerima kegagalan dengan lapang dada juga menunjukkan kedewasaan spiritual dan ketahanan mental.
KH. Saad Ibrahim menekankan pentingnya keempat indikator tersebut dalam bermuamalah (bertransaksi). Keempat indikator ini bukan hanya sekadar pedoman etis, tetapi juga merupakan pilar penting dalam membangun sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Penerapan prinsip-prinsip ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara aspek material dan spiritual dalam kehidupan ekonomi.
Implikasi dan Analisis:
Perkembangan pesat akad syariah dan minat yang tinggi dari kalangan non-muslim memiliki implikasi yang luas bagi perekonomian Indonesia. Hal ini menunjukkan potensi besar ekonomi syariah untuk menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah perlu mendukung pengembangan ekonomi syariah dengan kebijakan yang tepat dan terintegrasi. Selain itu, perlu adanya edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, tentang prinsip dan manfaat akad syariah.
Minat non-muslim terhadap akad syariah juga menunjukkan bahwa sistem ini memiliki daya tarik universal yang melampaui batasan agama. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Namun, perlu diwaspadai potensi penyalahgunaan prinsip syariah untuk tujuan yang tidak etis. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dan regulasi yang ketat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap transaksi syariah.
Pergeseran orientasi muslim yang semakin ideologis dalam bertransaksi syariah juga perlu mendapat perhatian. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah tidak hanya sekadar sistem keuangan, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan beragama. Oleh karena itu, pendidikan agama dan nilai-nilai moral perlu diperkuat untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip syariah diterapkan dengan benar dan konsisten.
Kesimpulannya, perkembangan akad syariah di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks dan menarik. Minat yang tinggi dari kalangan muslim dan non-muslim menunjukkan potensi besar ekonomi syariah untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional dan internasional. Namun, perlu adanya strategi yang terintegrasi dan komprehensif untuk memastikan keberlanjutan dan kebermanfaatan ekonomi syariah bagi seluruh lapisan masyarakat. Pentingnya edukasi, regulasi yang ketat, dan penguatan nilai-nilai moral menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekonomi syariah di masa mendatang. Keberhasilan ini tidak hanya akan berdampak pada perekonomian, tetapi juga pada peningkatan kualitas kehidupan bermasyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.