Jakarta – Hukum menunda mandi wajib setelah berhadas besar menjadi pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat Muslim. Secara fikih, mandi wajib merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mengalami hadas besar, seperti setelah melakukan hubungan intim suami istri atau berakhirnya masa haid bagi wanita. Al-Qur’an sendiri telah memerintahkan mandi wajib dalam surat Al-Maidah ayat 6: "…jika kamu junub maka mandilah." Ayat ini secara tegas menegaskan kewajiban tersebut, namun tidak secara eksplisit menentukan batas waktu pelaksanaannya. Oleh karena itu, pemahaman lebih lanjut diperlukan untuk mengkaji hukum menunda mandi wajib.
Kewajiban Mandi Wajib dan Fleksibilitas Waktu Pelaksanaan
Buku "Tuntunan Lengkap Salat Wajib, Sunnah, Doa dan Zikir" karya Zakaria R. Rachman menjelaskan hakikat mandi wajib sebagai proses mengguyur seluruh tubuh dengan air, memastikan rambut dan kulit terbasahi sempurna. Tujuannya adalah untuk mensucikan diri dari hadas besar. Proses ini, dalam konteks thaharah (pensucian), memerlukan niat yang tulus untuk menghilangkan hadas tersebut.
Namun, meskipun mandi wajib merupakan kewajiban, fleksibilitas waktu pelaksanaannya menjadi poin penting yang dibahas oleh para ulama. KH. M. Syafi’i Hadzami dalam "Taudhihul Adillah" menegaskan kewajiban mandi wajib, tetapi tidak mewajibkan pelaksanaan segera kecuali jika seseorang terdesak untuk melaksanakan salat. Artinya, penundaan diperbolehkan, namun tetap dalam koridor syariat.
Contohnya, pasangan suami istri yang melakukan hubungan intim setelah salat Isya dapat menunda mandi wajib hingga menjelang salat Subuh. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al Baijuri dalam Hasyiyahnya Fathu Al Qarib Al Mujib yang menyatakan, "Dan tidak wajib mandi dengan segera pada asalnya, walaupun atas orang yang melakukan zina." Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa segera mandi bukanlah syarat mutlak, meskipun dianjurkan.
Konsekuensi penundaan mandi wajib perlu dipahami. Meskipun diperbolehkan menunda, makruh hukumnya bagi orang yang berhadas besar untuk makan, minum, tidur, dan mengulangi hubungan intim sebelum mandi. Namun, kemakruhan ini dapat hilang dengan beristinja (membersihkan diri) dan berwudhu, meskipun belum melakukan mandi wajib.
Hadis dan Pendapat Ulama Terkait Penundaan Mandi Wajib
Hadis riwayat Abu Hurairah RA memberikan gambaran menarik terkait hal ini. Diceritakan bahwa Nabi SAW bertemu Abu Hurairah dalam kondisi junub. Abu Hurairah merasa tidak pantas duduk bersama Nabi SAW dalam kondisi tersebut, sehingga segera pergi mandi. Nabi SAW kemudian bersabda, "’Kamu dari mana wahai Abu Hurairah?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tadi Anda menjumpaiku saat itu dalam kondisi junub, maka aku tidak senang untuk duduk-duduk bersamamu sehingga aku mandi dahulu.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Subhanallah, sungguh orang mukmin itu tidak najis,’" (Muttafaqun ‘alaih).
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menafsirkan hadis ini sebagai petunjuk bahwa orang junub diperbolehkan menunda mandi wajib, meskipun segera mandi lebih dianjurkan. Hadis ini menunjukkan adanya kelonggaran dalam hal waktu, mengingat Nabi SAW tidak menegur Abu Hurairah atas penundaan tersebut.
Namun, kebolehan menunda mandi wajib tetap memiliki batasan. Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa penundaan diperbolehkan selama waktu salat belum hampir habis. Beliau menegaskan, "Sungguh orang junub boleh mengakhirkan mandi junubnya selama waktu salat tidak hampir habis baginya." Pernyataan ini menekankan pentingnya tidak menunda mandi wajib hingga waktu salat sudah mepet, sehingga dapat menghambat kewajiban salat tepat waktu.
Hadis lain dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa jika Rasulullah SAW hendak tidur dalam kondisi junub, beliau akan membasuh kemaluan dan berwudhu. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan membersihkan diri dan berwudhu dapat dilakukan sebagai langkah awal sebelum mandi wajib, sekaligus mengurangi dampak kemakruhan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kesimpulan Hukum Menunda Mandi Wajib
Berdasarkan kajian fikih dan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa menunda mandi wajib setelah berhadas besar diperbolehkan, namun dengan beberapa catatan penting:
-
Penundaan tidak boleh dilakukan hingga waktu salat hampir habis. Ini merupakan batasan utama yang harus dipatuhi agar tidak menghambat pelaksanaan salat fardhu tepat waktu.
-
Meskipun diperbolehkan menunda, segera mandi wajib tetap dianjurkan. Hal ini sesuai dengan semangat ketaatan dan kesempurnaan dalam menjalankan ibadah.
-
Selama menunda mandi wajib, makruh hukumnya untuk makan, minum, tidur, dan mengulangi hubungan intim. Namun, kemakruhan ini dapat dikurangi dengan beristinja dan berwudhu.
-
Niat yang tulus dan kesadaran akan kewajiban mandi wajib tetap menjadi hal yang penting. Penundaan bukan berarti menghilangkan kewajiban, melainkan memberikan kelonggaran dalam hal waktu dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang telah dijelaskan.
Rukun dan Sunnah Mandi Wajib
Agar mandi wajib sah, beberapa rukun dan sunnah perlu diperhatikan:
Rukun Mandi Wajib:
-
Niat: Niat merupakan rukun terpenting dalam mandi wajib. Niat harus dihaturkan di dalam hati dengan ucapan "Nawaitu ghusla li-raf’i hadatsil kubra minal janabah lillahi ta’ala" (Saya niat mandi untuk menghilangkan hadas besar dari junub karena Allah Ta’ala).
-
Menyiramkan air ke seluruh badan: Air harus mencapai seluruh permukaan tubuh, memastikan rambut dan kulit terbasahi. Air disiramkan secara merata, bukan hanya sekadar meneteskan air.
-
Menghilangkan najis: Jika ada najis yang menempel di tubuh, harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum mandi wajib.
Sunnah Mandi Wajib:
-
Membaca basmalah: Membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sebelum memulai mandi.
-
Mencuci tangan tiga kali: Sebelum memulai mandi, cucilah tangan tiga kali.
-
Mencuci kemaluan tiga kali: Bersihkan kemaluan dengan air tiga kali.
-
Berwudhu: Lakukan wudhu seperti wudhu untuk salat.
-
Mengawali dengan sisi kanan tubuh: Mulailah mengguyur air dari sisi kanan tubuh.
-
Menggosok seluruh badan: Gosok seluruh badan hingga bersih dari kotoran dan najis.
Wallahu a’lam bisshawab. (Hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenaran). Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang hukum menunda mandi wajib setelah berhadas besar. Penting untuk selalu berpegang pada dalil-dalil yang sahih dan berijtihad sesuai dengan kemampuan dan bimbingan ulama yang berkompeten.