Jakarta – Hubungan intim suami istri, atau yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai jima’, merupakan aspek krusial dalam kehidupan rumah tangga. Lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, jima’ dalam Islam memiliki dimensi spiritual dan hukum yang kompleks, berkisar dari hukum wajib hingga haram, tergantung pada konteks dan kondisi pelaksanaannya. Pemahaman yang mendalam tentang hukum ini menjadi penting bagi pasangan muslim untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan ketaatan terhadap ajaran agama.
Jima’ sebagai Amalan Berpahala:
Islam memandang jima’ bukan semata-mata sebagai tindakan fisik, melainkan juga sebagai bentuk ibadah yang berpotensi mendatangkan pahala. Hadits dari Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW, "Di dalam perkawinan (jima’) salah seorang kalian ada sedekah," menunjukkan dimensi spiritual dari hubungan intim ini. Sedekah dalam konteks ini merujuk pada upaya suami istri dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain, baik secara fisik maupun emosional, sekaligus menjaga keturunan dan kelangsungan umat. Namun, pahala tersebut hanya didapatkan jika jima’ dilakukan sesuai dengan koridor hukum Islam.
Klasifikasi Hukum Jima’: Wajib, Sunnah, Makruh, dan Haram:
Berdasarkan berbagai sumber fiqh, seperti buku "Fiqh Keluarga Terlengkap" karya Rizem Aizid, hukum jima’ dapat dikategorikan ke dalam empat tingkatan: wajib, sunnah, makruh, dan haram. Pemahaman yang tepat terhadap masing-masing kategori ini sangat penting untuk menghindari pelanggaran syariat dan menjaga kesucian hubungan suami istri.
1. Jima’ Wajib:
Hukum jima’ menjadi wajib dalam situasi di mana salah satu atau kedua pasangan merasakan hasrat seksual yang sangat kuat, sehingga jika tidak dipenuhi dikhawatirkan akan berujung pada perbuatan maksiat seperti zina. Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk menyalurkan hajatnya, maka hendaklah ia mendatangi suaminya, meskipun ia sedang berada di tungku perapian." (HR. Ibnu Syaibah, Tirmidzi, Thabrani). Hadits ini menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan pasangan untuk mencegah terjadinya perselingkuhan atau perbuatan tercela lainnya. Kewajiban ini didasarkan pada prinsip menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta mencegah terjadinya fitnah dan kerusakan moral.
2. Jima’ Sunnah:
Hukum jima’ menjadi sunnah (dianjurkan) dalam konteks di luar keadaan darurat seperti yang dijelaskan di atas. Tujuannya dapat beragam, misalnya untuk mempererat hubungan suami istri, menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram, dan menahan nafsu dari godaan syahwat yang dapat mengarah pada perbuatan dosa. Melakukan jima’ dengan niat yang baik, seperti untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan menghindari fitnah, akan meningkatkan nilai ibadah dan pahala. Sunnah ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan biologis dan spiritual dalam kehidupan berumah tangga.
3. Jima’ Makruh:
Terdapat beberapa kondisi yang menjadikan jima’ hukumnya makruh (dibenci), meskipun tidak sampai haram. Beberapa contohnya antara lain:
-
Berjima’ di dalam kamar mandi: Sebagian ulama berpendapat bahwa melakukan jima’ di kamar mandi hukumnya makruh karena tidak sesuai dengan adab dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Islam menganjurkan agar jima’ dilakukan di tempat yang bersih dan terhormat, jauh dari tempat-tempat yang najis. Hal ini mencerminkan pentingnya menjaga kesucian dan kesakralan hubungan suami istri.
-
Menceritakan hubungan seks kepada orang lain: Menceritakan secara detail tentang hubungan intim kepada orang lain tanpa alasan yang mendesak hukumnya makruh bahkan tercela. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang termasuk manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya lalu ia menceritakan rahasianya." Hadits ini menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan dan privasi hubungan suami istri, karena hal tersebut merupakan bagian dari menjaga kehormatan dan kemuliaan rumah tangga. Membuka aib rumah tangga kepada orang lain dapat merusak keharmonisan dan menimbulkan fitnah.
4. Jima’ Haram:
Hukum jima’ menjadi haram (terlarang) dan berdosa besar jika dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu. Salah satu kondisi yang paling jelas adalah ketika istri sedang dalam masa haid atau nifas. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap yang diturunkan kepada Muhammad SAW." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Hadits ini menegaskan larangan tegas terhadap jima’ saat haid dan nifas. Para ulama sepakat tentang keharaman ini, berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah juga menegaskan keharaman jima’ saat haid dan nifas. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan reproduksi istri dan kesucian hubungan suami istri. Memaksakan jima’ dalam kondisi ini merupakan bentuk penganiayaan dan pelanggaran hak istri.
Kesimpulan:
Hukum jima’ dalam Islam memiliki dimensi yang luas dan kompleks, melampaui sekadar pemenuhan kebutuhan biologis. Pemahaman yang mendalam tentang hukum wajib, sunnah, makruh, dan haram sangat penting bagi pasangan muslim untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, menjalankan ibadah dengan benar, dan menghindari perbuatan dosa. Ketaatan terhadap hukum-hukum ini akan memperkuat ikatan suami istri, menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, dan menjadi contoh teladan bagi masyarakat. Konsultasi dengan ulama atau ahli agama dapat membantu pasangan muslim dalam memahami dan menerapkan hukum jima’ sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Penting untuk diingat bahwa tujuan utama dari jima’ adalah untuk mempererat hubungan suami istri dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT.