Habib bin Muhammad al-‘Ajami al-Bashri, seorang sufi Persia yang hidup di Bashrah, merupakan figur yang menginspirasi tentang kekuatan pertobatan sejati. Kisahnya, yang termaktub dalam Tadzkiratul Auliya karya Fariduddin Attar dan diterjemahkan oleh Kasyif Ghoiby sebagai Muslim Saints and Mystics: Episode from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints), mengungkapkan transformasi dramatis dari seorang rentenir kejam menjadi sufi yang dikaruniai karamah luar biasa.
Sebelum hidayah ilahi menyinari hidupnya, Habib al-‘Ajami dikenal sebagai sosok yang bergelimang harta namun serakah dan sombong. Kekayaannya justru menjadi bumerang, menciptakan jarak antara dirinya dengan masyarakat. Kehadirannya menimbulkan rasa takut dan penghindaran, sebuah gambaran nyata betapa ketamakan telah membutakan hatinya. Kehidupannya berputar di sekitar penagihan utang, sebuah aktivitas yang dilakukannya dengan cara-cara yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Setiap hari, Habib al-‘Ajami menjelajahi kota, mencari para debiturnya. Ia tak segan-segan menuntut ganti rugi dengan alasan sepatunya aus akibat perjalanan menagih utang, sebuah dalih yang menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kesulitan yang dialami orang lain. Bagi Habib al-‘Ajami, keuntungan materi menjadi prioritas utama, tanpa sedikit pun rasa empati dan keadilan. Ia adalah simbol klasik dari seorang rentenir yang memanfaatkan kelemahan orang lain untuk memperkaya diri.
Suatu hari, ia mendatangi rumah seorang wanita yang berutang kepadanya. Namun, wanita tersebut tidak berada di rumah. Habib al-‘Ajami kemudian menagih utang kepada istri sang debitur. Wanita itu menyatakan kemiskinannya, menjelaskan bahwa ia hanya memiliki sisa daging kambing yang baru saja disembelih. Dengan terpaksa, ia menawarkan sisa daging kambing tersebut sebagai pelunasan sebagian utang.
Habib al-‘Ajami, yang mata hatinya masih tertutup oleh keserakahan, menerima tawaran tersebut. Ia bahkan meminta wanita itu memasak daging tersebut, tanpa mengingat kondisi wanita itu yang kekurangan minyak dan roti. Tanpa segan-segan, ia memberikan minyak dan roti, namun dengan syarat wanita itu harus membayar gantinya. Perilaku ini menunjukkan betapa ia masih terbelenggu oleh ketamakannya, bahkan dalam situasi yang seharusnya menimbulkan rasa simpati.
Setelah daging kambing itu matang dan siap disajikan, tiba-tiba seorang pengemis datang meminta sedikit makanan. Reaksi Habib al-‘Ajami sangat mengejutkan. Ia menghardik pengemis itu dengan kata-kata kasar dan tidak berperikemanusiaan, menunjukkan kekurangan empati yang mendalam. Ia menyatakan bahwa memberikan makanan kepada pengemis akan menjadikan mereka miskin. Sikap egois dan kejam ini menunjukkan betapa jauhnya ia dari nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman.
Namun, takdir berbicara. Pengemis itu kemudian meminta kepada wanita tersebut untuk memberikan sedikit daging. Betapa terkejutnya wanita itu ketika ia melihat daging yang baru saja ia masak berubah menjadi darah hitam. Kejadian ini merupakan tanda dari Allah SWT, sebuah peringatan atas perbuatan kejam Habib al-‘Ajami. Dengan wajah pucat pasi, wanita itu menunjukkan daging yang telah berubah kepada Habib al-‘Ajami.
Melihat kejadian itu, Habib al-‘Ajami merasakan api penyesalan yang membakar jiwanya. Untuk pertama kalinya, ia menyadari kekejaman perbuatannya. Ia menyesali keserakahan dan kekejaman yang telah ia lakukan selama ini. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam kehidupannya.
Keesokan harinya, Habib al-‘Ajami berubah. Ia berniat untuk mengembalikan uang kepada para debiturnya. Namun, dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sekelompok anak-anak yang mengejeknya sebagai "Habib lintah darat". Kata-kata anak-anak itu, yang mencerminkan citra buruknya di masyarakat, menghantam hatinya dengan keras. Ia jatuh terkulai, tertunduk lemah di hadapan Allah SWT.
Habib al-‘Ajami akhirnya bertobat. Ia mengumumkan kepada masyarakat bahwa ia akan mengembalikan semua hartanya kepada para debitur. Orang-orang berbondong-bondong datang ke rumahnya, mengambil hartanya hingga habis tak bersisa. Ia bahkan memberikan cadar istrinya dan pakaian yang ia kenakan kepada mereka yang masih datang untuk mengambil hartanya.
Dengan tubuh yang terbuka, Habib al-‘Ajami meninggalkan rumahnya dan menyepi di sebuah pertapaan di pinggir Sungai Eufrat. Ia mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah SWT dan berguru kepada Hasan al-Bashri. Ia menjalani hidup yang sederhana dan fakir, jauh dari kemewahan yang pernah ia nikmati.
Meskipun hidup dalam kemiskinan, Habib al-‘Ajami tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai suami. Istrinya masih menuntut nafkah, namun Habib al-‘Ajami hanya bisa memberikan janji bahwa ia bekerja untuk Tuhan yang Maha Pemurah dan akan memberikan rezeki pada waktunya.
Pada hari kesepuluh, Habib al-‘Ajami merasa gelisah. Ia takut tidak bisa memberikan apa pun kepada istrinya. Namun, Allah SWT menunjukkan keajaiban-Nya. Beberapa pemuda datang ke rumah Habib al-‘Ajami membawa berbagai macam makanan dan barang berharga sebagai rezeki dari Allah SWT.
Kejadian ini menunjukkan bahwa Allah SWT akan melimpahkan rezeki kepada orang-orang yang bertobat dan mengabdikan dirinya kepada-Nya. Habib al-‘Ajami merasakan kebesaran dan kasih sayang Allah SWT yang tak terbatas.
Sejak saat itu, Habib al-‘Ajami memfokuskan dirinya untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia hidup sebagai seorang sufi yang menjauhi urusan duniawi. Doa-doanya mustajab, dan Allah SWT melimpahkan karamah kepadanya tanpa henti. Kisah Habib al-‘Ajami menjadi bukti bahwa pertobat yang sejati akan membawa seseorang kepada kehidupan yang lebih baik dan dikaruniai berkah dari Allah SWT. Transformasi hidupnya dari rentenir kejam menjadi sufi yang dihormati merupakan suatu bukti nyata tentang kekuasaan Allah SWT dalam mengubah hati manusia. Kisah ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk selalu menjaga kejujuran, keadilan, dan ketakwaan dalam setiap langkah kehidupan.