Jakarta – Praktik masturbasi, atau dalam terminologi Arab dikenal sebagai istimna’ (إستمنى), merupakan tindakan merangsang organ genital secara fisik untuk mencapai kepuasan seksual. Perdebatan seputar hukumnya dalam Islam telah berlangsung lama, memunculkan beragam pandangan di kalangan ulama. Meskipun sebagian besar ulama sepakat mengharamkannya, nuansa perbedaan pendapat dan pertimbangan kontekstual perlu dipahami untuk memperoleh gambaran yang komprehensif. Artikel ini akan mengkaji hukum masturbasi berdasarkan pandangan berbagai mazhab fiqih, serta merujuk pada ayat Al-Qur’an dan hadis yang relevan.
Landasan Ayat Al-Qur’an dan Prinsip Menjaga Kemaluan:
Salah satu landasan utama dalam membahas hukum masturbasi adalah Surat Al-Mu’minun ayat 5-7. Ayat ini secara eksplisit menekankan pentingnya menjaga kemaluan: "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."
Ayat ini, menurut banyak ulama, merupakan dasar argumentasi utama yang mengharamkan masturbasi. Kalimat "Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya" mengindikasikan larangan segala bentuk aktivitas seksual di luar pernikahan yang sah, termasuk masturbasi. Istilah "hamba sahaya" yang disebutkan dalam ayat ini merujuk pada konteks historis masa turunnya wahyu, dan interpretasinya dalam konteks modern memerlukan pertimbangan yang cermat. Namun, inti pesan ayat ini tetap relevan: menjaga kemaluan dan menghindari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada perzinahan.
Pandangan Beragam Mazhab Fiqih:
Perbedaan pendapat mengenai hukum masturbasi muncul di antara empat mazhab fiqih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Perbedaan ini didasarkan pada interpretasi ayat Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad (pendapat hukum) para ulama. Berikut uraian lebih rinci:
1. Mazhab Hanbali:
Ulama Hanbali memiliki pandangan yang cenderung ketat. Mansur bin Yunus bin Idris Al-buhtawi, misalnya, memberikan pengecualian terbatas. Beliau berpendapat bahwa masturbasi dibolehkan bagi seseorang yang belum mampu menikah dan melakukannya untuk menghindari zina atau sebagai upaya pengendalian syahwat yang kuat. Namun, pandangan umum dalam mazhab ini, seperti yang tertuang dalam kitab Ghayatu Al-Muntahi, tetap mengharamkan masturbasi yang dilakukan tanpa adanya alasan darurat, seperti yang disebutkan di atas. Perbuatan tersebut dianggap tercela dan melanggar prinsip menjaga kemaluan.
2. Mazhab Syafi’i:
Mazhab Syafi’i umumnya mengharamkan masturbasi. Imam Syairiz dalam kitab Al-Muhadzab menyatakan haramnya istimna’ karena dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemutusan keturunan dan dianggap sebagai perbuatan yang perlu diberi sanksi (ta’zir), meskipun tidak terdapat had (hukuman) yang spesifik. Muhammad Khatib Asy-Syarabaini dalam Munghni Al-Muhtaj juga menyatakan bahwa meskipun tidak ada hukuman khusus, perbuatan tersebut tetap tercela.
3. Mazhab Hanafi:
Mazhab Hanafi menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan mazhab lain. Ibnu Abidin dalam Raddu Al-Muhtar mengharamkan masturbasi jika dilakukan untuk sekadar memuaskan syahwat. Namun, beliau memberikan pengecualian bagi mereka yang memiliki syahwat yang kuat dan tidak memiliki akses kepada pasangan yang halal, di mana masturbasi dianggap sebagai jalan terakhir untuk menghindari zina. Pandangan ini menekankan pada prinsip pencegahan dosa yang lebih besar (darurat). Dengan kata lain, melakukan masturbasi dalam kondisi tersebut dianggap lebih ringan dosanya daripada melakukan zina.
4. Mazhab Maliki:
Sebagian besar ulama Maliki berpendapat bahwa masturbasi hukumnya haram. Alasannya, jika masturbasi dibolehkan, hal itu dapat mengarah pada pelemahan moral dan menganggap remeh tindakan tersebut. Pandangan ini menekankan pada pentingnya menjaga kesucian diri dan menghindari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada perbuatan tercela.
Pertimbangan Kontekstual dan Ijtihad Kontemporer:
Penting untuk dicatat bahwa hukum fiqih bukanlah sesuatu yang statis. Ijtihad (upaya memahami hukum Islam melalui penalaran dan pertimbangan) terus dilakukan untuk menyesuaikan hukum dengan konteks zaman. Dalam konteks modern, permasalahan kesehatan mental dan seksual juga perlu dipertimbangkan. Beberapa ulama kontemporer mungkin akan memberikan penafsiran yang lebih fleksibel, terutama dalam kasus-kasus di mana masturbasi dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah kesehatan mental atau seksual yang serius. Namun, perlu diingat bahwa setiap ijtihad harus tetap berlandaskan pada Al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah-kaidah fiqih yang mapan.
Kesimpulan:
Hukum masturbasi dalam Islam masih menjadi perdebatan. Meskipun sebagian besar ulama mengharamkannya, terdapat perbedaan pendapat dan pengecualian dalam kondisi tertentu, terutama dalam upaya menghindari zina. Mazhab Hanafi menunjukkan fleksibilitas yang lebih besar dengan memberikan pengecualian dalam kondisi darurat, sementara mazhab lain cenderung memiliki pandangan yang lebih ketat. Penting bagi setiap individu untuk memahami berbagai perspektif ini dan melakukan konsultasi dengan ulama yang terpercaya untuk mendapatkan bimbingan yang sesuai dengan kondisi dan keyakinan mereka. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa menjaga kesucian diri dan menghindari segala bentuk perbuatan yang dapat mengarah pada perbuatan tercela merupakan prinsip fundamental dalam Islam. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan syahwat dan menjaga moralitas tetap menjadi hal yang penting. Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk memberikan fatwa, melainkan untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kompleksitas isu ini dalam konteks hukum Islam. Konsultasi dengan ulama yang berkompeten sangat dianjurkan untuk mendapatkan panduan yang tepat dan sesuai dengan konteks pribadi masing-masing.