Jakarta – Kehidupan sosial manusia dipenuhi dengan interaksi yang kompleks. Seringkali, apa yang tampak dari luar—perilaku, penampilan, bahkan ucapan seseorang—tidak sepenuhnya mencerminkan realitas batiniahnya. Perbedaan antara penampilan dan realitas ini menjadi celah bagi munculnya prasangka, suatu kecenderungan untuk menilai orang lain berdasarkan asumsi dan dugaan yang belum tentu benar. Ironisnya, mencari-cari kekurangan orang lain seringkali terasa lebih mudah daripada mengapresiasi kebaikannya, sebuah kecenderungan yang dilarang tegas dalam ajaran Islam. Surah Al-Hujurat ayat 12 menjadi landasan penting dalam memahami bahaya prasangka dan pentingnya berpikir positif dalam membangun hubungan sosial yang harmonis.
Ayat tersebut berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini secara gamblang melarang prasangka buruk dan menggunjing. Kata “prasangka” (ظَنّ) dalam ayat ini merujuk pada dugaan atau asumsi yang tidak didasari bukti yang kuat. Lebih jauh lagi, ayat ini menekankan bahwa sebagian prasangka termasuk dosa. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya Allah SWT memandang tindakan ini. Bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan perbuatan yang berpotensi merusak hubungan antarmanusia dan menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa.
Penjelasan lebih rinci mengenai makna dan implikasi ayat ini dapat ditemukan dalam berbagai tafsir Al-Qur’an. Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, misalnya, menjelaskan bahwa prasangka yang tidak berdasar menjadi dosa karena berakar pada pemikiran buruk dan negatif. Pemikiran ini, jika dibiarkan berkembang, dapat memicu permusuhan, fitnah, dan perselisihan. Ayat ini, menurut Prof. Quraish Shihab, juga menguatkan prinsip hukum bahwa seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti kesalahannya. Tuduhan dan prasangka tanpa bukti yang kuat merupakan pelanggaran prinsip keadilan ini.
Lebih lanjut, Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa bisikan-bisikan negatif yang terlintas dalam benak masih dapat ditoleransi, asalkan tidak dikembangkan menjadi dugaan dan buruk sangka yang kemudian disebarluaskan. Pengendalian diri dan kehati-hatian dalam menanggapi pikiran negatif sangatlah penting untuk mencegah terjadinya dosa.
Tafsir Qurthubi, yang dirujuk dalam buku "Fiqih Bertetangga" karya Fathiy Syamsudin, memberikan penjabaran lebih lanjut mengenai larangan menggunjing (ghibah). Imam Qurthubi menjelaskan bahwa ghibah adalah menceritakan hal-hal negatif tentang seseorang di belakangnya. Lebih jauh lagi, jika seseorang menceritakan hal-hal yang sama sekali tidak benar tentang orang lain, maka ia telah berbuat dusta. Hal ini menunjukkan bahwa ghibah tidak hanya terbatas pada penyebaran informasi negatif yang benar, tetapi juga mencakup pembohongan dan fitnah.
Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, yang juga dikutip dalam Tafsir Qurthubi, memberikan definisi yang lebih konkret mengenai ghibah. Rasulullah SAW bersabda: "Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Rasulullah SAW bersabda, "Kamu menyebut sesuatu dari kawanmu yang ia sangat benci jika dikatakan." Kemudian, para sahabat bertanya, "Bagaimana jika saya menceritakan apa yang memang terjadi pada saudaraku?" Rasulullah SAW menjawab, "Jika engkau menceritakan apa yang terjadi pada saudaramu, berarti kamu telah menggunjingnya; dan apabila engkau menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu, maka engkau telah membohonginya." (HR. Muslim)
Hadits ini dengan jelas menjelaskan bahwa ghibah mencakup dua hal: pertama, menceritakan hal-hal negatif yang benar tentang seseorang di belakangnya, dan kedua, menyebarkan informasi palsu atau fitnah tentang seseorang. Keduanya merupakan perbuatan tercela dan dilarang dalam Islam. Analogi memakan daging saudara sendiri yang sudah mati digunakan dalam ayat Al-Hujurat ayat 12 untuk menggambarkan betapa menjijikkan dan kejinya perbuatan menggunjing dan berburuk sangka. Perbuatan ini merusak persaudaraan dan menciptakan perpecahan di antara sesama muslim.
Implikasi Al-Hujurat ayat 12 dalam kehidupan bermasyarakat sangat luas. Ayat ini menjadi pedoman penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan harmonis. Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai ajakan untuk menghindari penyebaran berita bohong (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian melalui media sosial maupun komunikasi lainnya. Membangun opini publik yang sehat dan bertanggung jawab memerlukan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi dan menghindari prasangka buruk terhadap individu atau kelompok tertentu.
Di era informasi digital yang serba cepat ini, penting untuk selalu memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Jangan sampai kita menjadi bagian dari rantai penyebaran berita bohong yang dapat merusak reputasi orang lain dan menimbulkan perselisihan di masyarakat. Sikap kritis dan bijak dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi menjadi kunci penting dalam menjaga keharmonisan sosial.
Selain itu, Al-Hujurat ayat 12 juga mengajarkan pentingnya berpikir positif (husnudzon) dan berprasangka baik (tafa’ul) terhadap sesama. Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menjelaskan diri mereka, mendengarkan pendapat mereka dengan hati terbuka, dan menghindari kesimpulan yang terburu-buru merupakan manifestasi dari husnudzon. Dengan berpikir positif, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan menghindari konflik yang tidak perlu.
Dalam konteks hukum dan peradilan, ayat ini juga menekankan pentingnya asas praduga tak bersalah. Seseorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum terbukti kesalahannya melalui proses hukum yang adil dan transparan. Tuduhan dan prasangka tanpa bukti yang kuat dapat merugikan seseorang dan melanggar hak asasi manusianya.
Kesimpulannya, Surah Al-Hujurat ayat 12 memberikan panduan yang komprehensif mengenai pentingnya menghindari prasangka buruk, menggunjing, dan mencari-cari kesalahan orang lain. Ayat ini bukan hanya sekadar larangan, tetapi juga ajakan untuk membangun hubungan sosial yang didasarkan pada rasa saling menghormati, kepercayaan, dan kasih sayang. Dalam kehidupan bermasyarakat yang semakin kompleks, pemahaman dan pengamalan Al-Hujurat ayat 12 menjadi semakin relevan dan penting untuk menciptakan lingkungan yang damai, harmonis, dan penuh dengan kebaikan. Dengan menghindari prasangka dan mengutamakan berpikir positif, kita dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan beradab.