Sampit, Kalimantan Tengah – Gelombang pengunduran diri mengguncang persiapan keberangkatan jemaah haji Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, untuk tahun 2025. Sebanyak 34 calon jemaah haji dari total kuota 206 orang telah menyatakan niatnya untuk membatalkan perjalanan suci mereka, meninggalkan kekosongan yang signifikan menjelang keberangkatan yang dijadwalkan pada 2 Mei mendatang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesiapan dan tantangan dalam pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji di daerah tersebut.
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kotim, Khairil Anwar, dalam keterangannya kepada Antara pada Minggu (5/1/2025), mengungkapkan keprihatinan atas fenomena ini. "Dari 188 calon jemaah haji yang telah diverifikasi, 34 di antaranya telah mengundurkan diri," jelasnya. Situasi ini semakin rumit dengan adanya empat calon jemaah lainnya yang masih belum memberikan kepastian, menambah ketidakpastian jumlah jemaah yang akan berangkat. Kemenag Kotim masih memberikan waktu hingga Februari 2025 bagi calon jemaah yang bimbang untuk menentukan pilihan mereka.
Berbagai faktor melatarbelakangi keputusan para calon jemaah untuk mengundurkan diri. Salah satu penyebab utama adalah meninggalnya pasangan atau anggota keluarga yang direncanakan akan berangkat bersama. Kehilangan yang mendalam ini tentu saja berdampak signifikan pada rencana ibadah haji mereka. "Padahal, jika ada anggota keluarga yang meninggal, seperti orang tua atau suami, ahli warisnya bisa menggantikan," ujar Khairil, menjelaskan adanya mekanisme penggantian yang seharusnya dapat dimanfaatkan.
Namun, faktor lain yang tak kalah penting adalah ketidakpastian Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang hingga saat ini belum diumumkan pemerintah. Ketidakjelasan ini menimbulkan keraguan dan kekhawatiran di kalangan calon jemaah, terutama terkait kemampuan finansial mereka. "Sampai saat ini Bipih belum ditetapkan karena belum ada rapat antara Kemenag pusat dengan Komisi VIII DPR," terang Khairil. "Jadi, kami belum tahu apakah Bipih tahun ini naik atau turun, tetapi kemungkinan tidak akan jauh berbeda dari tahun lalu." Ketidakpastian ini, meskipun kemungkinan kenaikannya tidak signifikan, tetap menjadi faktor penghambat bagi beberapa calon jemaah yang mungkin mempertimbangkan kembali kemampuan finansial mereka.
Pengunduran diri sejumlah calon jemaah haji ini menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Khairil Anwar mengungkapkan kekecewaannya atas situasi tersebut, mengingat terbatasnya kuota haji setiap tahun dan panjangnya daftar tunggu. Di Kotim sendiri, waktu tunggu untuk menunaikan ibadah haji diperkirakan mencapai 26 tahun, sebuah angka yang mencerminkan besarnya antusiasme masyarakat untuk menjalankan rukun Islam kelima ini. Meskipun demikian, jumlah pasti calon jemaah yang berada dalam daftar tunggu tidak diungkapkan secara spesifik oleh Khairil.
Sistem antrean haji yang digunakan mengacu pada data dari Kemenag Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dengan nomor urut yang ditentukan secara acak dari seluruh kabupaten/kota di wilayah tersebut. Hal ini berarti, meskipun calon jemaah yang mengundurkan diri berasal dari Kotim, kuota yang kosong akan diisi oleh calon jemaah lain dari kabupaten/kota lain yang berada di urutan bawah daftar tunggu. "Kuota yang kosong akan tetap diisi, tetapi kita tidak tahu apakah penggantinya dari Kotim atau kabupaten lain, karena sistem antreannya acak dari seluruh kabupaten/kota di Kalteng," jelas Khairil. "Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kuota kita tidak terisi secara optimal."
Kehilangan kuota ini bukan hanya kerugian bagi Kotim, tetapi juga menunjukkan kompleksitas dalam manajemen penyelenggaraan haji. Sistem antrean yang berbasis urutan acak, meskipun adil, juga menyoroti tantangan dalam memastikan kuota terisi secara maksimal dan efisien. Hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut mengenai sistem antrean dan strategi komunikasi yang lebih efektif untuk meminimalisir angka pengunduran diri.
Kemenag Kotim pun berharap agar jumlah calon jemaah yang mengundurkan diri tidak bertambah. Pihaknya terus berupaya melakukan sosialisasi dan memberikan penjelasan kepada calon jemaah yang masih ragu untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka sebelum batas waktu yang ditentukan. Namun, Khairil menegaskan bahwa Kemenag tidak dapat memaksa calon jemaah, karena keputusan akhir tetap berada di tangan mereka. "Mudah-mudahan kuota tahun ini bisa tercapai. Kami terus melakukan sosialisasi agar kuota terpenuhi sesuai harapan," harap Khairil.
Fenomena ini juga menyoroti pentingnya transparansi dan komunikasi yang efektif antara pemerintah, khususnya Kemenag, dengan calon jemaah haji. Informasi yang jelas dan tepat waktu mengenai Bipih, mekanisme penggantian jemaah, dan proses keberangkatan sangat krusial untuk meminimalisir kebingungan dan keraguan di kalangan calon jemaah. Sosialisasi yang komprehensif dan responsif terhadap pertanyaan dan kekhawatiran calon jemaah perlu ditingkatkan untuk memastikan keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji.
Lebih jauh lagi, kasus ini juga mengungkap pentingnya dukungan psikologis bagi calon jemaah yang menghadapi kehilangan anggota keluarga. Meninggalnya pasangan atau anggota keluarga yang direncanakan untuk berangkat bersama merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan dan dapat berdampak besar pada kesiapan mental untuk melakukan perjalanan ibadah haji. Dukungan dan pendampingan yang memadai dari pihak Kemenag atau lembaga terkait dapat membantu calon jemaah dalam menghadapi situasi sulit ini dan mengambil keputusan yang tepat.
Secara keseluruhan, pengunduran diri puluhan calon jemaah haji dari Kotim merupakan peristiwa yang kompleks dan multi-faktorial. Kehilangan anggota keluarga, ketidakpastian Bipih, dan sistem antrean haji yang berbasis urutan acak merupakan beberapa faktor yang saling terkait dan berkontribusi terhadap fenomena ini. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan transparansi informasi, komunikasi yang efektif, dukungan psikologis, dan evaluasi sistem antrean haji yang lebih efisien. Hal ini penting untuk memastikan keberangkatan jemaah haji berjalan lancar dan kuota haji dapat terisi secara optimal, serta memberikan pelayanan terbaik bagi para calon jemaah yang telah lama menantikan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Kejadian ini juga menjadi pengingat pentingnya kesiapan mental dan spiritual, selain kesiapan finansial, dalam menghadapi perjalanan ibadah haji yang penuh makna dan tantangan.