Jakarta – Dalam khazanah Islam, dzikir menempati posisi yang sangat terhormat. Lebih dari sekadar aktivitas ritual, dzikir—yakni mengingat dan menyebut nama Allah SWT dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan—merupakan manifestasi keimanan yang mendalam, sebuah ikhtiar untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, serta sarana penenang jiwa dan penguat iman. Namun, seberapa besar sebenarnya keutamaan dzikir? Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bahkan menempatkannya di atas amalan-amalan mulia lainnya, termasuk infak harta yang berlimpah. Artikel ini akan mengkaji lebih dalam tentang keutamaan dzikir berdasarkan hadits dan Al-Qur’an, serta implikasinya bagi kehidupan seorang muslim.
Keutamaan Dzikir: Melebihi Infak Emas dan Perak
Hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan keutamaan dzikir seringkali dikutip sebagai landasan utama bagi pemahaman akan kemuliaan amalan ini. Hadits tersebut, sebagaimana tercantum dalam buku Syarah Doa dan Dzikir Hishnul Muslim karya Said bin Ali, menyatakan bahwa dzikir kepada Allah SWT merupakan amal terbaik dan tersuci di sisi-Nya, bahkan melebihi sedekah berupa emas dan perak.
Sayangnya, teks hadits yang diberikan dalam berita asal tidak tertera secara lengkap dan akurat. Penulisan hadits yang menggunakan karakter yang tidak standar membuat interpretasi menjadi sulit dan berpotensi menimbulkan kesalahan. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan akurat, perlu merujuk pada sumber hadits yang terpercaya dan terverifikasi, seperti kitab-kitab hadits shahih seperti Bukhari dan Muslim, atau referensi-referensi hadits lainnya yang kredibel dan terjamin keaslian sanadnya.
Namun, inti pesan hadits tersebut tetap jelas: dzikir memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Keutamaan dzikir yang melampaui infak harta benda menunjukkan betapa pentingnya hubungan vertikal antara hamba dan Tuhannya. Infak harta, meskipun merupakan amalan yang sangat dianjurkan, tetap merupakan amalan yang bersifat material. Sedangkan dzikir merupakan amalan yang bersifat spiritual, menghubungkan hati secara langsung kepada Allah SWT. Khusyu’ dan kekhusyukan dalam berdzikir menjadi kunci utama untuk meraih keutamaan tersebut. Bukan sekadar mengucapkan lafadz dzikir secara mekanis, melainkan meresapi makna dan menghadirkan hati sepenuhnya di hadapan Allah SWT.
Lebih lanjut, beberapa riwayat hadits yang membahas keutamaan dzikir juga menghubungkannya dengan amalan-amalan mulia lainnya, seperti jihad fi sabilillah. Meskipun jihad memiliki tempat tersendiri dalam Islam, dzikir dapat diartikan sebagai "jihad akbar" atau jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu dan setan. Dengan berdzikir, seorang muslim senantiasa memperkuat benteng keimanannya, sehingga terhindar dari godaan dan tipu daya musuh yang nyata maupun yang tersembunyi.
Hadits Abu Darda’ dan Implikasinya
Berita asal juga menyebutkan hadits dari Abu Darda’ raḍiyallāhu ‘anhu. Hadits ini, meskipun perlu diverifikasi keabsahannya melalui rujukan hadits yang sahih, menunjukkan konteks pertanyaan para sahabat kepada Nabi SAW tentang amalan terbaik. Jawaban Nabi SAW yang menekankan dzikir mengingat Allah SWT menunjukkan prioritas amalan spiritual dalam meraih ridha Allah SWT. Perbandingan dengan menginfakkan emas dan perak, serta menghadapi musuh di medan perang, menunjukkan skala prioritas yang perlu diperhatikan oleh setiap muslim. Bukan berarti infak dan jihad tidak penting, melainkan dzikir menjadi fondasi yang kokoh bagi seluruh amalan lainnya. Tanpa keimanan yang kuat yang terbangun melalui dzikir, infak dan jihad pun dapat kehilangan nilai dan keberkahannya.
Hadits ini juga menggarisbawahi pentingnya konsistensi dalam berdzikir. Bukan hanya sekedar melakukannya sesekali, melainkan menjadikannya sebagai kebiasaan sehari-hari, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang muslim. Khusyu’ dan keikhlasan menjadi kunci utama untuk mendapatkan keberkahan dari amalan dzikir.
Perintah Berdzikir dalam Al-Qur’an:
Selain hadits, Al-Qur’an juga secara eksplisit memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa mengingat-Nya. Ayat Al-Baqarah ayat 152 yang dikutip dalam berita asal, menunjukkan janji Allah SWT untuk mengingat hamba-Nya yang senantiasa mengingat-Nya. Ayat ini menegaskan hubungan timbal balik antara hamba dan Tuhannya. Allah SWT tidak hanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tetapi juga Maha Menghargai setiap usaha hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Ayat ini juga mengandung pesan penting tentang bersyukur atas nikmat-nikmat Allah SWT. Dzikir tidak hanya sebatas mengingat Allah SWT, tetapi juga mensyukuri segala karunia dan rahmat yang telah diberikan-Nya. Kesadaran akan nikmat Allah SWT akan mendorong hamba-Nya untuk senantiasa taat dan menjauhi larangan-Nya.
Dzikir: Amalan Tanpa Batas Waktu dan Tempat
Keistimewaan dzikir lainnya adalah fleksibilitasnya. Tidak ada batasan waktu dan tempat tertentu untuk berdzikir. Seorang muslim dapat melakukannya di mana saja dan kapan saja, baik dalam keadaan senang maupun susah, sehat maupun sakit. Hal ini menunjukkan betapa mudahnya amalan ini untuk dijalankan, dan betapa pentingnya untuk selalu mengingat Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.
Kesimpulan:
Dzikir bukanlah sekadar amalan ritual belaka, melainkan inti dari keimanan dan kedekatan dengan Allah SWT. Keutamaannya yang melampaui infak harta benda, sebagaimana disebutkan dalam hadits, menunjukkan prioritas amalan spiritual dalam meraih ridha Allah SWT. Al-Qur’an juga secara eksplisit memerintahkan untuk senantiasa mengingat Allah SWT, sekaligus sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Dengan demikian, dzikir hendaknya menjadi amalan yang diutamakan dan dikonsistenkan oleh setiap muslim, sebagai pondasi yang kokoh dalam membangun keimanan dan meraih keberkahan hidup di dunia dan akhirat. Namun, perlu diingat bahwa kebenaran dan keabsahan hadits perlu diverifikasi melalui rujukan hadits yang sahih dan terpercaya untuk menghindari kesalahan interpretasi. Wallahu a’lam bisshawab.