Jakarta, 3 Januari 2025 – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dengan tegas membantah dan menolak keras wacana penyelenggaraan Musyawarah Luar Biasa (MLB) NU yang tengah berhembus. Dalam konferensi pers yang digelar di kantor PBNU hari ini, Gus Yahya bahkan melontarkan pernyataan kontroversial, menyebut kelompok yang menginisiasi MLB sebagai "orang-orang nganggur".
Pernyataan tersebut disampaikan Gus Yahya dengan nada lugas dan tanpa basa-basi. "Ada yang nanya siapa sih ini yang mau buat MLB? Saya bilang orang nganggur," tegasnya di hadapan awak media. Pernyataan ini tentu saja menimbulkan reaksi beragam di kalangan publik dan internal NU sendiri, mengingat sensitivitas isu kepemimpinan dan dinamika organisasi keagamaan sebesar NU.
Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa mekanisme penyelenggaraan MLB telah diatur secara rinci dan jelas dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Ia menekankan bahwa syarat utama untuk menggelar MLB adalah adanya permintaan resmi dan tertulis dari lebih dari 50% perwakilan Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Cabang (PC) NU di seluruh Indonesia. Ketiadaan persyaratan tersebut, menurut Gus Yahya, menjadi dasar kuat penolakannya terhadap wacana MLB yang saat ini beredar.
"Nah ini kalau yang minta orang-orang ngopi, kita harus ngomong bagaimana?" sindir Gus Yahya, menyiratkan ketidakseriusan dan kurangnya legitimasi dari kelompok yang menginisiasi MLB. Metafora "orang-orang ngopi" ini, meskipun terkesan informal, menunjukkan kekecewaan dan ketidakpercayaan Gus Yahya terhadap kredibilitas dan kapasitas kelompok tersebut dalam mengelola organisasi sebesar NU. Pernyataan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap upaya yang dianggapnya hanya berupa wacana tanpa landasan yang kuat, baik secara yuridis maupun substansial.
Gus Yahya juga mempertanyakan dasar hukum dan argumentasi yang diajukan oleh kelompok yang ingin menggelar MLB. Ia menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan dan meyakinkan dari kelompok tersebut mengenai alasan dan urgensi penyelenggaraan MLB. Ketiadaan transparansi dan penjelasan yang komprehensif ini semakin memperkuat kecurigaan Gus Yahya terhadap niat dan tujuan sebenarnya di balik wacana MLB tersebut. Hal ini juga menjadi sorotan penting, mengingat pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan organisasi besar seperti NU.
Sebelumnya, sebuah kelompok yang menamakan diri Presidium Penyelamatan Organisasi Nahdlatul Ulama telah secara terbuka menyatakan niatnya untuk menggelar MLB NU. Kelompok ini bahkan telah menunjuk beberapa kota sebagai calon lokasi penyelenggaraan MLB, di antaranya Jombang, Surabaya, Bangkalan di Jawa Timur, Semarang di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Pemilihan kota-kota tersebut, yang sebagian besar merupakan basis kuat NU, menunjukkan ambisi kelompok ini untuk menggalang dukungan dan legitimasi dari akar rumput NU.
Namun, langkah kelompok tersebut tampaknya mendapat penolakan keras dari PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Penolakan ini bukan hanya sekedar penolakan administratif, melainkan juga mengandung kritik tajam terhadap motif dan kapasitas kelompok yang dianggapnya tidak memiliki legitimasi dan dasar hukum yang cukup untuk menggerakkan wacana MLB.
Pernyataan Gus Yahya ini memicu berbagai spekulasi dan interpretasi. Beberapa kalangan menilai pernyataan tersebut sebagai upaya untuk membendung potensi ancaman terhadap kepemimpinannya. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa Gus Yahya hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga keutuhan dan kestabilan organisasi NU sesuai dengan AD/ART.
Perlu diingat bahwa NU merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia dengan jutaan anggota dan jaringan yang luas. Stabilitas dan kesatuan organisasi ini sangat penting, tidak hanya bagi internal NU sendiri, tetapi juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, setiap upaya yang berpotensi memecah belah atau mengganggu kestabilan organisasi ini perlu dikaji dan direspons secara serius.
Konflik internal dalam organisasi sebesar NU bukanlah hal yang baru. Sejarah NU mencatat berbagai dinamika dan perdebatan internal, namun selalu mampu diselesaikan melalui mekanisme internal yang demokratis dan sesuai dengan AD/ART. Oleh karena itu, penting untuk melihat wacana MLB ini dalam konteks sejarah dan dinamika internal NU.
Pernyataan Gus Yahya juga perlu dilihat sebagai upaya untuk menjaga agar proses pengambilan keputusan dalam NU tetap berjalan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan. Ia menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan soliditas organisasi dengan tetap berpegang teguh pada aturan dan mekanisme yang telah disepakati bersama.
Lebih jauh lagi, pernyataan "orang-orang nganggur" memunculkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya kelompok yang dimaksud. Identitas dan latar belakang mereka perlu dikaji lebih dalam untuk memahami motif dan tujuan sebenarnya di balik wacana MLB. Apakah mereka merupakan kelompok yang benar-benar peduli dengan nasib NU, atau justru memiliki agenda terselubung yang dapat merugikan organisasi?
Kejelasan mengenai identitas dan latar belakang kelompok tersebut sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan spekulasi yang tidak perlu. Penting juga untuk memastikan bahwa setiap upaya perubahan atau reformasi dalam NU dilakukan melalui jalur yang benar dan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga komunikasi dan transparansi dalam organisasi besar seperti NU. Ketiadaan transparansi dan komunikasi yang efektif dapat memicu kesalahpahaman dan konflik internal. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menjaga komunikasi yang terbuka dan jujur untuk menghindari konflik yang tidak perlu.
Kesimpulannya, pernyataan Gus Yahya yang tegas menolak wacana MLB NU dan menyebut inisiatornya sebagai "orang-orang nganggur" merupakan peristiwa penting yang perlu dikaji secara mendalam. Peristiwa ini tidak hanya menyoroti dinamika internal NU, tetapi juga mempertanyakan pentingnya mekanisme internal yang demokratis, transparansi, dan akuntabilitas dalam organisasi besar seperti NU. Ke depannya, perlu ada upaya untuk memastikan bahwa setiap perbedaan pendapat dan dinamika internal diselesaikan melalui jalur yang benar dan sesuai dengan AD/ART, demi menjaga kesatuan dan soliditas NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Peristiwa ini juga menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi yang efektif dan transparansi dalam organisasi besar untuk mencegah munculnya konflik dan kesalahpahaman.