Masjid Agung Al-Azhar, megah berdiri di jantung Kota Jakarta Selatan, kawasan Blok M, bukanlah sekadar tempat ibadah. Bangunan monumental ini menyimpan sejarah panjang, menjadi saksi bisu perjalanan dakwah dan pendidikan Islam di Indonesia, sekaligus merupakan pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pendidikan yang signifikan. Aksesibilitasnya yang mudah, baik melalui transportasi publik seperti MRT Stasiun ASEAN dan Halte Busway Masjid Agung, maupun kendaraan pribadi dengan area parkir yang memadai, menjadikan masjid ini mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dari Masjid Agung Kebayoran Baru hingga Al-Azhar: Sebuah Nama yang Mencerminkan Visi Global
Perjalanan sejarah Masjid Agung Al-Azhar bermula pada tahun 1952, tujuh tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Dibangun di atas lahan seluas 43.755 m², tanah wakaf dari Bapak Sjamsuridjal, Wali Kota Jakarta Raya pertama, masjid ini awalnya dikenal dengan nama Masjid Agung Kebayoran Baru, sesuai dengan lokasinya. Namun, sebuah kunjungan istimewa dari seorang Syekh terkemuka dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, mengubah perjalanan sejarahnya. Menurut penuturan Bapak Tatang Komara, Kepala Kantor dan Pengurus Takmir Masjid Agung Al-Azhar, Syekh tersebut, yang tak lain adalah Rektor Universitas Al-Azhar Kairo kala itu, mengusulkan perubahan nama menjadi Masjid Agung Al-Azhar, sebuah nama yang menginspirasi dan mencerminkan cita-cita luhur universitas Islam ternama di Mesir tersebut. Perubahan nama ini bukan sekadar pergantian label, melainkan sebuah simbol aspirasi untuk menjadikan masjid ini sebagai pusat pembelajaran dan pengembangan Islam yang berwawasan global.
Proses pembangunan masjid yang memakan waktu enam tahun, hingga akhirnya rampung pada tahun 1958, mengalami berbagai dinamika. Namun, semangat untuk membangun tempat ibadah yang megah dan representatif bagi umat Islam di Jakarta tetap berkobar. Hasilnya, sebuah bangunan arsitektur yang unik dan memukau tercipta.
Arsitektur yang Unik: Perpaduan Timur Tengah dan Eropa
Desain Masjid Agung Al-Azhar, yang digarap oleh tim arsitek yang sama dengan Masjid Istiqlal, merupakan perpaduan harmonis antara elemen arsitektur Timur Tengah dan Eropa. Kubah elipsnya yang unik, berbeda dari bentuk kubah masjid pada umumnya, menjadi ciri khas yang membedakannya dari masjid-masjid lain di Indonesia. Keunikan arsitektur ini bukan hanya sekadar estetika, melainkan juga refleksi dari cita-cita untuk menciptakan ruang ibadah yang menginspirasi dan mencerminkan kekayaan budaya dan peradaban Islam. Bentuk kubah yang "setengah bulat bukan, elips juga bukan," seperti diungkapkan Bapak Tatang Komara, menunjukkan keberanian dalam berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai estetika Islam.
Lebih dari Tempat Ibadah: Pusat Dakwah, Pendidikan, dan Sosial
Masjid Agung Al-Azhar tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata. Sejak awal, masjid ini dirancang sebagai pusat kegiatan umat Islam yang inklusif. Visi ini tercermin dalam perannya sebagai tempat berkumpulnya berbagai golongan umat Islam, sekaligus menjadi tempat kunjungan tamu negara dan tokoh agama internasional, termasuk Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Semangat "masjid perekat umat," seperti yang ditekankan Bapak Tatang Komara, menjadi landasan utama dalam menjalankan berbagai program dan kegiatan di masjid ini.
Kegiatan keagamaan di Masjid Agung Al-Azhar berlangsung intens setiap hari, dari Senin hingga Minggu. Kajian-kajian keagamaan yang beragam, meliputi fikih, akidah, dan tafsir, diselenggarakan secara rutin. Kajian Tafsir Al-Azhar, yang digelar setiap Kamis siang, merupakan salah satu program unggulan yang telah berlangsung lama dan menjadi ikon masjid ini. Selain kajian rutin, program pengajian khusus remaja juga menjadi daya tarik tersendiri, menarik peserta dari berbagai daerah, bahkan luar Jakarta. Kehadiran mahasiswa dari berbagai universitas, termasuk Universitas Indonesia, juga turut meramaikan kegiatan keagamaan di masjid ini.
Buya Hamka: Sosok yang Tak Terpisahkan dari Sejarah Al-Azhar
Peran Buya Hamka dalam sejarah Masjid Agung Al-Azhar tak dapat diabaikan. Meskipun bukan pendiri, beliau menjadi imam besar pertama dan berperan sangat aktif dalam memakmurkan masjid ini. Karya monumental Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, telah menguatkan posisi masjid sebagai pusat pembelajaran Islam yang berpengaruh secara nasional dan internasional. Warisan pemikiran dan kepemimpinan Buya Hamka terus menginspirasi hingga saat ini, dan namanya selalu dikaitkan erat dengan keberhasilan Masjid Agung Al-Azhar dalam menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan berwawasan luas.
Program Sosial yang Menjangkau Masyarakat Luas
Komitmen Masjid Agung Al-Azhar terhadap masyarakat tidak hanya terfokus pada kegiatan keagamaan. Berbagai program sosial dijalankan secara konsisten, diantaranya santunan bulanan untuk masyarakat kurang mampu, pembagian takjil selama Ramadan, dan layanan bagi mualaf. Dana untuk program-program sosial ini bersumber dari infak jamaah dan usaha masjid, seperti penyewaan aula dan parkir. Lembaga Lazwaf Al-Azhar dibentuk khusus untuk mengelola dan mengembangkan program-program sosial ini.
Program pembagian takjil selama Ramadan menjadi salah satu program unggulan. Ribuan porsi takjil disiapkan setiap tahunnya, bahkan persiapan untuk Ramadan berikutnya telah dimulai jauh-jauh hari, menunjukkan perencanaan yang matang dan keseriusan dalam melayani kebutuhan jamaah.
Cikal Bakal Jaringan Pendidikan Al-Azhar: Mewujudkan Visi Pendidikan Islam Berkualitas
Masjid Agung Al-Azhar bukan hanya berperan sebagai pusat keagamaan dan sosial, melainkan juga menjadi cikal bakal jaringan pendidikan Al-Azhar yang kini telah berkembang pesat. Lebih dari 220 sekolah Al-Azhar tersebar di seluruh Indonesia, merupakan buah dari visi Buya Hamka untuk menyediakan pendidikan Islam berkualitas bagi umat. Jaringan pendidikan ini mencakup berbagai jenjang, dari Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas, bahkan perguruan tinggi. Reputasi sekolah-sekolah Al-Azhar yang tinggi menunjukkan kesuksesan dalam mewujudkan visi tersebut.
Kesimpulan: Sebuah Ikon Kebanggaan Umat Islam Indonesia
Masjid Agung Al-Azhar Blok M adalah lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia merupakan pusat dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial yang memberikan kontribusi besar bagi umat Islam di Indonesia. Sejarah yang kaya, kegiatan yang beragam, dan semangat inklusif yang dijunjung tinggi menjadikan masjid ini sebuah ikon kebanggaan umat Islam, sebuah warisan berharga yang terus berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, tetapi tetap teguh pada nilai-nilai dasar ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Statusnya sebagai "yayasan umat," bukan yayasan keluarga atau pribadi, menunjukkan komitmen untuk terus berkhidmat bagi masyarakat luas.