Perdebatan seputar perbedaan paham Wahabi dan Aswaja dalam konteks praktik keagamaan telah berlangsung lama dan kerap memicu kontroversi. Kedua aliran ini, meskipun sama-sama berlandaskan ajaran Islam, memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran tersebut, khususnya terkait pemurnian tauhid, pelaksanaan ibadah, dan penerimaan tradisi. Memahami perbedaan mendasar antara keduanya menjadi krusial bagi pemahaman yang komprehensif terhadap lanskap keislaman kontemporer dan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat memicu perpecahan.
Paham Wahabi: Penekanan pada Pemurnian Tauhid dan Pendekatan Tekstual yang Kaku
Gerakan Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-18 Masehi, merupakan sebuah gerakan pemurnian tauhid dalam Islam. Gerakan ini, yang seringkali mendapat penolakan dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), menekankan pada pemisahan yang tegas antara ajaran Islam yang dianggap murni dengan praktik-praktik yang dianggap sebagai bid’ah, takhayul, dan khurafat. Perlu dicatat bahwa istilah "Wahabi" sendiri seringkali digunakan secara kontroversial, bahkan oleh penganutnya sendiri, yang lebih menyukai sebutan "Salafi". Namun, untuk keperluan analisis ini, kedua istilah tersebut akan digunakan secara bergantian mengingat keterkaitan historis dan ideologisnya.
Penyebaran awal paham Wahabi menghadapi penolakan di berbagai wilayah seperti Nedj, Basrah, dan Huraimah. Namun, dukungan dari pihak kerajaan Arab Saudi pada akhirnya menjadi katalis bagi penyebaran dan pengukuhan paham ini. Dukungan tersebut, yang didorong oleh kepentingan politik, membuat paham Wahabi menjadi dominan di Arab Saudi hingga saat ini.
Salah satu ciri khas paham Wahabi adalah pendekatan tekstual yang kaku dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits. Mereka cenderung mengutamakan penafsiran literal tanpa mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan budaya. Hal ini menyebabkan mereka seringkali mengabaikan konteks hadits dan tidak mengaitkannya dengan hadits lain atau ayat Al-Qur’an yang relevan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Konsekuensinya, penafsiran mereka seringkali bersifat sempit dan eksklusif, mengarah pada kecenderungan untuk menilai kelompok lain sebagai sesat, bahkan sampai pada tuduhan bid’ah dan pengkafiran terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Pendekatan Wahabi juga ditandai dengan pemisahan yang tegas antara agama dan budaya. Tradisi dan kebiasaan yang tidak memiliki dasar eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits, meskipun telah menjadi bagian integral dari budaya masyarakat setempat, seringkali ditolak dan dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Sikap ini seringkali menimbulkan konflik dan ketegangan sosial, terutama di daerah-daerah dengan budaya yang kaya dan beragam.
Paham Aswaja: Moderasi, Toleransi, dan Keseimbangan dalam Beragama
Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) merupakan aliran pemikiran yang berakar pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Aliran ini, yang dianut oleh mayoritas umat Muslim di dunia, menekankan pada prinsip-prinsip moderasi, toleransi, dan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Aswaja menekankan pentingnya menjaga tradisi yang memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits, sambil tetap menghargai konteks budaya dan sosial.
Prinsip-prinsip dasar Aswaja, yang mencerminkan pendekatan yang inklusif dan moderat, dapat dirumuskan sebagai berikut:
-
Tasamuh (Toleransi): Aswaja menganut prinsip toleransi yang tinggi, menghargai perbedaan pendapat, terutama dalam hal furu’ (cabang) ajaran Islam. Perbedaan pendapat dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak perlu menjadi sumber perpecahan. Toleransi ini juga meluas ke bidang sosial dan budaya.
-
Tawazun (Seimbang): Aswaja menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan, baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) maupun dalam hubungan sesama manusia (hablum minannas). Keseimbangan ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.
-
Tawasuth (Moderat): Aswaja menolak sikap ekstrem dan radikalisme dalam beragama. Mereka menganut jalan tengah yang adil dan menghindari kekerasan atau tindakan yang dapat merugikan orang lain.
-
I’tidal (Adil/Tegak Lurus): Aswaja menekankan pentingnya keadilan dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan. Prinsip ini menjadi landasan dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan dalam menjalankan kewajiban agama.
-
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Mengajak Berbuat Baik dan Menjauhi yang Buruk): Aswaja mendorong aktifitas dakwah untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dakwah ini dilakukan dengan cara yang bijak dan damai, menghindari kekerasan dan paksaan.
Perbedaan Fundamental: Pendekatan dan Implikasinya
Perbedaan mendasar antara Wahabi dan Aswaja terletak pada pendekatan mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Wahabi cenderung menggunakan pendekatan tekstual yang kaku dan literal, mengarah pada penafsiran yang sempit dan eksklusif. Hal ini seringkali menyebabkan mereka mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pandangan. Sebaliknya, Aswaja menekankan pada pendekatan yang lebih kontekstual, menghargai perbedaan pendapat, dan mengutamakan toleransi dan keseimbangan dalam kehidupan beragama.
Aswaja lebih menekankan pada pentingnya menjaga keharmonisan sosial dan budaya, sementara Wahabi cenderung lebih fokus pada pemurnian ajaran Islam dengan cara yang dianggap lebih keras dan kurang toleran terhadap perbedaan. Aswaja menerima tradisi yang memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits, sementara Wahabi cenderung menolak tradisi yang dianggap sebagai bid’ah.
Perbedaan ini memiliki implikasi yang signifikan dalam praktik keagamaan dan kehidupan sosial. Pendekatan Wahabi yang kaku dan eksklusif dapat memicu perpecahan dan konflik, sementara pendekatan Aswaja yang moderat dan toleran dapat menciptakan kerukunan dan harmoni dalam masyarakat yang majemuk.
Kesimpulan:
Perbedaan antara Wahabi dan Aswaja bukanlah sekadar perbedaan pendapat teologis semata, melainkan perbedaan dalam pendekatan dan metodologi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Memahami perbedaan ini menjadi penting untuk mencegah kesalahpahaman dan konflik yang dapat mengancam kerukunan umat beragama. Penting untuk menekankan bahwa kedua aliran ini memiliki penganut yang beragam, dan tidak semua penganutnya mencerminkan sepenuhnya karakteristik yang telah diuraikan di atas. Namun, pemahaman terhadap perbedaan fundamental antara kedua aliran ini tetap krusial untuk membangun dialog antar-umat beragama yang lebih konstruktif dan damai. Wallahu a’lam bishawab.