Jakarta – Kehidupan manusia di dunia tak lepas dari ujian dan cobaan. Allah SWT berfirman dalam Al-Baqarah ayat 286, yang menegaskan bahwa setiap individu akan diuji sesuai dengan batas kemampuannya. Di tengah gejolak hidup yang kerap terasa berat, pertanyaan akan pertolongan ilahiah menjadi sangat relevan. Bagaimana manusia dapat meraih pertolongan Allah SWT? Sebuah hadis Rasulullah SAW, sebagaimana dikaji Ibnu Rajab dalam kitab Jamiul Ulum Hikam fi Syarhi Haditsi Sayyidil Arab wal Ajm dan diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, menawarkan kunci jawaban yang mendalam.
Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA tersebut berbunyi: "(Hadits dalam Bahasa Arab yang telah diberikan dalam teks asli, di sini akan dijelaskan terjemahan dan maknanya secara rinci di bawah)."
Terjemahan hadis tersebut, yang memiliki beberapa riwayat dengan redaksi sedikit berbeda, mengajarkan prinsip fundamental dalam meraih pertolongan Allah SWT. Inti pesan hadis ini berpusat pada konsep "menjaga Allah" ( hijabu Allah) dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Perlu dipahami bahwa "menjaga Allah" bukanlah tindakan ritualistik semata, melainkan komitmen menyeluruh terhadap seluruh aspek ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya.
Ibnu Rajab, dalam penafsirannya, menjelaskan bahwa "menjaga Allah" berarti menjaga hukum-hukum Allah SWT, mematuhi perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini mencakup seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat ibadah mahdhah (ritual) maupun muamalah (interaksi sosial). Ketaatan yang tulus dan konsisten ini merupakan fondasi utama dalam membangun hubungan yang erat dengan Allah SWT, yang pada akhirnya akan mendatangkan pertolongan-Nya.
Hadis tersebut juga menekankan pentingnya bertawakal kepada Allah SWT. Ungkapan "Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu" menunjukkan hubungan sebab-akibat yang tak terpisahkan. Dengan menjaga amanah Ilahiah, manusia menempatkan dirinya di bawah lindungan Allah SWT. Pertolongan Allah SWT bukanlah sesuatu yang didapatkan secara otomatis, melainkan buah dari usaha dan ketaatan yang sungguh-sungguh. Allah SWT akan memberikan pertolongan-Nya kepada hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.
Lebih lanjut, hadis ini juga menjelaskan tentang keterbatasan manusia dalam mempengaruhi takdir. Ungkapan "jika seluruh umat sepakat untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat memberimu manfaat dengan sesuatu tersebut kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu" menunjukkan bahwa takdir sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. Upaya manusia, sekecil apapun, tetap membutuhkan izin dan ridho Allah SWT agar dapat membuahkan hasil. Sebaliknya, bahkan jika seluruh manusia bersepakat untuk membahayakan seseorang, hal itu tidak akan terjadi kecuali jika Allah SWT telah menetapkan demikian. Ini mengajarkan pentingnya menerima takdir dengan lapang dada dan senantiasa berserah diri kepada Allah SWT.
Konsep "pena-pena telah diangkat, dan lembaran-lembaran telah kering" menunjukkan bahwa takdir telah ditetapkan sejak azali. Namun, ini bukan berarti manusia pasif dan tidak perlu berusaha. Justru sebaliknya, manusia tetap diwajibkan untuk berikhtiar dan berdoa, seraya tawakal kepada Allah SWT atas hasil akhirnya. Ketetapan takdir tidak mengurangi peran manusia dalam menjalani kehidupan, melainkan memberikan perspektif yang lebih luas dan bijak dalam menghadapi segala macam situasi.
Hadis lain yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Hanasy ash-Shan’ani melalui Ibnu Abbas, menguatkan pesan hadis sebelumnya. Meskipun redaksi sedikit berbeda, inti pesan tetap sama: menjaga Allah SWT akan membawa kepada pertolongan-Nya, dan mengenal Allah SWT di saat kondisi baik akan memudahkan manusia menghadapi kesulitan. Hadis ini juga menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi cobaan dan kesulitan hidup. Ungkapan "ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama musibah dan bersama kesulitan ada kemudahan" merupakan penguatan akan janji Allah SWT untuk memberikan kemudahan setelah kesulitan.
Ibnu Rajab, dalam penjelasannya, mengungkapkan kekaguman para ulama terhadap kedalaman makna hadis-hadis ini. Hadis-hadis tersebut mengandung wasiat-wasiat luhur dan ajaran-ajaran penting yang relevan untuk semua zaman. Pemahaman yang komprehensif terhadap hadis ini akan memberikan panduan hidup yang bermakna dan membantu manusia dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Lebih jauh, Ibnu Rajab menjelaskan pentingnya menjaga perintah Allah SWT, khususnya salat dan thaharah (bersuci). Ini merupakan bagian integral dari "menjaga Allah" yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, Ibnu Rajab juga menyinggung pentingnya menjaga "kepala dan perut", yang dianalogikan sebagai menjaga pikiran dan nafsu. Menjaga pikiran dari hal-hal negatif dan menjaga perut dari makanan dan minuman yang haram merupakan bagian penting dalam menjaga diri dari dosa dan maksiat. Meskipun hadis yang terkait dengan "menjaga kepala dan perut" dinilai dhaif oleh sebagian ulama, pesan moralnya tetap relevan dan penting untuk dihayati.
Kesimpulannya, hadis-hadis Rasulullah SAW tentang "menjaga Allah" menawarkan kunci utama dalam meraih pertolongan Allah SWT. Ini bukan sekadar ajakan untuk menjalankan ibadah ritual, melainkan seruan untuk menjalani kehidupan secara menyeluruh dengan penuh ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Dengan menjaga amanah Ilahiah, bertawakal, dan bersabar dalam menghadapi ujian, manusia akan merasakan pertolongan Allah SWT dalam berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Hadis ini juga mengingatkan kita akan keterbatasan manusia dalam mempengaruhi takdir, serta pentingnya menerima takdir dengan lapang dada dan senantiasa berserah diri kepada Allah SWT. Pemahaman dan pengamalan hadis ini akan menjadi pedoman hidup yang bermakna dan membawa manusia kepada kehidupan yang penuh berkah dan pertolongan dari Allah SWT.