Ibadah haji, pilar penting dalam Islam, menyimpan beragam ritual sarat makna. Salah satunya adalah sai, rangkaian ibadah yang melibatkan berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Ritual ini, sekilas tampak sederhana, namun menyimpan sejarah mendalam yang terukir dalam perjuangan gigih seorang ibu demi kelangsungan hidup anaknya. Lebih dari sekadar gerakan fisik, sai merupakan simbol spiritual yang kaya akan hikmah dan refleksi perjalanan hidup manusia.
Sai: Lebih dari Sekadar Lari-lari Kecil
Ibnu Arabi, tokoh sufi terkemuka, memberikan interpretasi mendalam tentang sai, melampaui pengertian literalnya sebagai gerakan fisik. Dalam karyanya, Haqiqah al-Ibadah ‘inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi, yang diterjemahkan oleh Rony Nugroho, Ibnu Arabi mengidentifikasi tiga dimensi utama dalam pelaksanaan sai: turun, naik, dan lurus. Ketiga dimensi ini, menurutnya, merepresentasikan tahapan spiritual yang sempurna dalam ibadah.
"Dia turun kepada Allah, naik kepada Allah, dan lurus bersama Allah. Pada setiap keadaan itu dia bersama Allah, karena melakukannya dari perintah Allah dan pada Allah," tulis Ibnu Arabi. Penjelasan ini menekankan aspek spiritual yang mendalam. Gerakan fisik sai bukanlah tujuan akhir, melainkan wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Lebih lanjut, Ibnu Arabi menjelaskan kepada para pencari jalan spiritual (salik), "Barang siapa melakukan sai maka dia akan mendapatkan seperti sifat-sifat ini di jiwanya. Kepergiannya dari sainya adalah kehidupan hatinya dengan Allah, merasakan takut kepada Allah, mengetahui kadarnya dan mengetahui haknya dan hak Allah. Jika tidak mendapatkan hal itu, maka dia belum melakukan sai antara Shafa dan Marwah." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya refleksi diri dan pencapaian spiritual sebagai esensi dari ibadah sai. Sai yang sesungguhnya bukan hanya sekadar menjalankan ritual, tetapi juga merasakan dan menghayati makna spiritual di baliknya. Kegagalan dalam mencapai dimensi spiritual ini mengindikasikan bahwa ibadah sai belum terlaksana secara utuh.
Siti Hajar: Kisah Perjuangan di Balik Ritual Sai
Jauh sebelum ibadah haji diwajibkan, Bukit Shafa dan Marwah telah menjadi saksi bisu perjuangan seorang ibu luar biasa: Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS. Kisah perjuangannya bersama putranya, Ismail AS, yang masih bayi, membentuk landasan sejarah ritual sai.
Berbagai riwayat, termasuk yang dihimpun dalam Fiqh ash-Sunnah 3 karya Sayyid Sabiq (terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina), mengisahkan pengorbanan Siti Hajar. Nabi Ibrahim AS, atas perintah Allah SWT, meninggalkan Siti Hajar dan Ismail AS di sebuah lembah tandus di Makkah, tempat yang kala itu belum berpenghuni dan minim sumber air. Bekal yang diberikan hanya sekeranjang kurma dan sekantong air.
Kepergian Nabi Ibrahim AS meninggalkan Siti Hajar dengan pertanyaan dan keraguan. Dalam keputusasaan, ia bertanya kepada Nabi Ibrahim AS, "Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Apakah engkau meninggalkan kami di tempat yang tidak ada siapa pun dan tanpa sesuatu apa pun?" Pertanyaan-pertanyaan ini merefleksikan kecemasan dan keprihatinan seorang ibu yang harus menghadapi tantangan hidup yang begitu berat.
Jawaban Nabi Ibrahim AS, "Aku menyerahkan kalian kepada Allah," menunjukkan ketaatan mutlak kepada perintah Ilahi. Namun, jawaban ini juga menjadi sumber kekuatan bagi Siti Hajar. Dengan keyakinan yang teguh, ia menjawab, "Sungguh, aku ridha kepada Allah." Ketaatan dan keikhlasan Siti Hajar menjadi teladan bagi umat manusia.
Setelah Nabi Ibrahim AS pergi, Siti Hajar berdoa kepada Allah SWT, memohon pertolongan dan keselamatan bagi dirinya dan anaknya. Doa yang tulus dan penuh harap ini diabadikan dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 37: "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Doa ini bukan hanya permohonan pertolongan, tetapi juga mengandung harapan agar keturunannya kelak menjadi umat yang menjalankan ibadah dan bersyukur kepada Allah SWT.
Pencarian Air dan Makna Sai
Setelah bekal habis, dahaga mencengkeram Siti Hajar dan Ismail AS. Dalam keputusasaan, Siti Hajar berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, mencari sumber air. Tujuh kali ia mengulangi perjalanan melelahkan ini, sebuah gambaran perjuangan yang tak kenal lelah.
Akhirnya, mukjizat terjadi. Air Zamzam menyembur dari tanah, menjadi sumber kehidupan bagi Siti Hajar dan Ismail AS. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 158, yang mengukuhkan ritual sai sebagai bagian dari ibadah haji dan umrah: "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sai antara keduanya. Dan, barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui."
Sai: Refleksi Perjuangan Hidup Manusia
Ali Syariati, sosiolog dan revolusioner Iran, memberikan perspektif yang menarik tentang makna sai. Menurutnya, sai bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga representasi dari pencarian, sebuah gerakan terarah yang diwujudkan dalam berlari dan bergegas menuju tujuan.
Sai, dalam konteks ini, mencerminkan tekad manusia untuk terus bergerak menuju tujuan yang jelas, sebagaimana Siti Hajar yang tak pernah menyerah dalam pencarian air. Ia juga menggambarkan perjuangan fisik dan mental yang dihadapi manusia dalam kehidupan, mirip dengan perjuangan Siti Hajar dalam mengatasi dahaga dan kelaparan dirinya dan anaknya.
Syariati menekankan pentingnya usaha dan perjuangan dalam kehidupan. Manusia dituntut untuk berusaha, namun hasil usaha tersebut harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Keberhasilan dan kegagalan adalah bagian dari takdir Ilahi. Sai mengajarkan manusia untuk tetap berusaha dengan gigih, sambil tetap bertawakkal kepada Allah SWT.
Ibadah sai juga menggambarkan dinamika kehidupan manusia di dunia, yang penuh dengan usaha dan perjuangan. Pencarian air oleh Siti Hajar merupakan usaha pemenuhan kebutuhan dasar manusia, sedangkan dimensi spiritual sai mengajarkan manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap langkah kehidupan. Sai adalah pengingat akan perjuangan, keikhlasan, dan ketawakkalan yang harus dimiliki setiap manusia dalam menjalani hidup. Ia adalah simbol perjalanan spiritual, di mana setiap langkah mendekatkan kita kepada Sang Pencipta.