Kisah kecemburuan Aisyah terhadap Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW, telah menjadi perbincangan panjang di kalangan umat Islam. Kecemburuan ini, yang terungkap dalam riwayat hadits, bukan sekadar konflik rumah tangga biasa, melainkan jendela yang membuka pandangan kita pada kompleksitas hubungan manusia, terutama dalam konteks kehidupan Nabi dan para istri beliau. Memahami latar belakang kecemburuan Aisyah memerlukan pemahaman mendalam tentang sosok Khadijah dan perannya yang monumental dalam sejarah Islam, serta posisi Aisyah sebagai istri termuda Nabi.
Khadijah binti Khuwailid, lahir di Mekkah sekitar tahun 68 sebelum Hijriah, bukanlah perempuan biasa. Ia berasal dari keluarga bangsawan Quraisy, keluarga Khuwailid bin Asad, yang dikenal kaya raya namun dermawan. Khadijah bukan hanya dikenal karena kecantikannya dan kekayaannya sebagai pedagang sukses, tetapi juga karena keimanan dan keteguhannya yang luar biasa. Sebelum Islam, ia menganut agama Hanif, sebuah bentuk monoteisme yang dianut oleh Nabi Ibrahim, jauh dari penyembahan berhala yang lazim di zaman Jahiliyah. Keimanannya yang murni dan teguh menjadikannya sosok yang istimewa.
Khadijah adalah perempuan pertama yang memeluk Islam, memberikan dukungan penuh kepada Nabi Muhammad SAW di saat risalah kenabian masih menghadapi penolakan dan permusuhan yang keras dari masyarakat Mekkah. Dukungannya bukan hanya berupa dukungan moral, tetapi juga material. Ia memberikan seluruh hartanya untuk mendukung dakwah Nabi, pada saat Nabi menghadapi boikot dan kesulitan ekonomi. Peran Khadijah dalam menopang dakwah Nabi di awal periode ini sangat krusial dan tak ternilai harganya. Rasulullah SAW sendiri mengakui hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Thabrani: "Allah tidak pernah memberiku pengganti yang lebih baik dari Khadijah. Ia telah beriman padaku ketika orang lain kufur. Ia mempercayaiku ketika orang lain mendustaiku. Ia memberikan hartanya padaku ketika tidak ada orang lain yang membantuku. Dan, Allah juga menganugerahi aku anak-anak melalui rahimnya, sementara istri-istriku yang lain tidak memberiku anak."
Pernyataan Nabi ini menggarisbawahi betapa pentingnya peran Khadijah dalam kehidupan Nabi, baik secara pribadi maupun dalam konteks dakwah. Khadijah bukan hanya istri, tetapi juga sahabat, penasihat, dan pendukung utama Nabi di masa-masa sulit. Cinta dan penghargaan Nabi terhadap Khadijah begitu dalam dan tulus, sebuah fakta yang menjadi latar belakang utama kecemburuan Aisyah.
Aisyah binti Abu Bakar, berbeda dengan Khadijah, menikah dengan Nabi Muhammad SAW di masa beliau telah menjadi pemimpin umat Islam di Madinah. Aisyah adalah istri termuda Nabi, dan hubungan mereka diwarnai dengan kasih sayang dan kedekatan yang istimewa. Namun, kedekatan ini tidak menghalangi munculnya perasaan cemburu, khususnya terhadap Khadijah, yang telah wafat beberapa tahun sebelum Aisyah menikah dengan Nabi.
Kecemburuan Aisyah, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, terungkap dalam pernyataannya: "Aku tidak pernah merasa cemburu kepada siapa pun melebihi kecemburuanku kepada Khadijah, sungguh dia telah wafat tiga tahun sebelum beliau menikahiku. Menurut apa yang aku dengar beliau suka menyebut-nyebutnya. Sungguh, Rabbnya telah memerintahkan kepada beliau agar memberi kabar gembira kepadanya dengan istana dari permata di surga. Apabila Rasulullah SAW menyembelih seekor kambing, maka beliau suka menghadiahkannya kepada para sahabat-sahabatnya Khadijah daripada dirinya."
Pernyataan Aisyah ini menunjukkan bahwa kecemburuannya bukan tanpa dasar. Ia merasa bahwa Nabi masih sering mengingat dan memuji Khadijah, bahkan hingga memberikan sebagian hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa mengingat dan memuji Khadijah bukanlah tindakan yang meremehkan Aisyah, melainkan ungkapan penghargaan dan penghormatan terhadap jasa-jasa Khadijah yang begitu besar bagi Nabi dan Islam. Namun, Aisyah, dalam kemudaannya dan kepolosannya, tidak mampu memahami hal ini.
Kecemburuan Aisyah mencapai puncaknya ketika ia menyatakan: "Khadijah hanyalah seorang perempuan tua, dan Allah telah memberi gantinya untuk engkau seorang perempuan yang lebih baik darinya." Pernyataan ini, meskipun terkesan kasar, mengungkapkan perasaan terluka dan tidak aman yang dialami Aisyah. Ia merasa posisinya sebagai istri Nabi terancam oleh bayang-bayang Khadijah, yang meskipun telah wafat, tetap memiliki tempat istimewa di hati Nabi.
Reaksi Nabi Muhammad SAW terhadap pernyataan Aisyah menunjukkan kebijaksanaan dan kedewasaan beliau. Beliau membela Khadijah dengan penuh kasih sayang dan hormat, tanpa menyinggung perasaan Aisyah. Beliau menegaskan kembali keutamaan Khadijah dan perannya yang tak tergantikan dalam kehidupan beliau: "Tidak! Allah tidak memberikan pengganti untukku yang lebih baik darinya. Ia sungguh-sungguh beriman tatkala orang-orang mengingkariku. Ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku. Ia membantuku dengan harta bendanya, di saat orang-orang menjauhi dan memboikotku. Darinya Allah mengaruniakan anak kepadaku."
Respon Nabi ini bukan hanya membela Khadijah, tetapi juga merupakan upaya untuk menenangkan dan mendidik Aisyah. Beliau menunjukkan bahwa cinta dan penghargaan terhadap Khadijah tidak mengurangi cinta dan kasih sayang beliau kepada Aisyah dan istri-istri beliau yang lain. Sikap Nabi ini menjadi contoh teladan dalam mengelola hubungan rumah tangga, menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat bersikap adil dan bijaksana dalam menghadapi konflik.
Kisah kecemburuan Aisyah terhadap Khadijah bukanlah kisah yang bertujuan untuk menjelek-jelekkan Aisyah atau merendahkan posisi beliau sebagai istri Nabi. Sebaliknya, kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang kompleksitas hubungan manusia, tentang bagaimana perasaan cemburu dapat muncul bahkan dalam hubungan yang penuh kasih sayang, dan bagaimana pentingnya memahami konteks dan latar belakang sebelum menilai suatu tindakan. Lebih jauh lagi, kisah ini juga menunjukkan keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, sebuah pelajaran yang relevan hingga saat ini. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menghargai jasa-jasa para pendahulu dan memahami bahwa cinta dan penghargaan tidak selalu bersifat eksklusif, tetapi dapat berkembang secara bersamaan dalam berbagai bentuk. Akhirnya, kisah ini menjadi pengingat akan keagungan Khadijah, perempuan yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi Islam dan sejarah peradaban manusia.