Pernikahan, sebagai ikatan suci yang menyatukan dua insan, memiliki landasan hukum yang kuat baik dalam syariat Islam maupun hukum positif Indonesia. Di Indonesia, pernikahan yang sah secara negara harus tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), menghasilkan akta nikah sebagai bukti legalitasnya. Namun, praktik nikah siri, pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi di KUA, masih berlangsung di tengah masyarakat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana hukum nikah siri menurut syariat Islam, dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat di Indonesia?
Perbedaan Pandangan Terhadap Nikah Siri dalam Syariat Islam
Hukum nikah siri dalam Islam tidaklah seragam dan bersifat kontekstual, tergantung pada bagaimana pernikahan tersebut dilaksanakan. Buku "Fiqih Nawazil: Empat Perspektif Pendekatan Ijtihad Kontemporer" karya Helmi Basri, misalnya, menggarisbawahi dua bentuk utama nikah siri:
- Nikah Siri yang Tidak Sempurna Rukun dan Syaratnya: Ini merujuk pada pernikahan yang dilakukan secara diam-diam tanpa memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang diwajibkan oleh syariat Islam. Dalam konteks ini, pernikahan tersebut secara tegas dinyatakan haram dan tidak sah secara agama. Keadaan ini, seperti yang dijelaskan dalam buku "Seri Fiqih Kehidupan 8: Pernikahan" oleh Ahmad Sarwat, sebanding dengan zina karena melanggar prinsip-prinsip fundamental pernikahan dalam Islam.
Ketidaksempurnaan rukun dan syarat tersebut dapat berupa:
-
Ketiadaan Wali: Pernikahan dalam Islam mensyaratkan kehadiran wali nikah yang mewakili pihak perempuan. Ketiadaan wali menjadikan akad nikah batal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah RA: "Perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal (diulang sampai tiga kali)." Hadits ini menegaskan pentingnya peran wali dalam melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan.
-
Ketiadaan Saksi: Syarat sahnya pernikahan dalam Islam juga meliputi kehadiran minimal dua orang saksi yang adil. Ketiadaan saksi akan mengakibatkan pernikahan tidak sah. Fatwa sahabat Abdullah bin Abbas RA memperkuat hal ini: "Semua pernikahan yang tidak menghadirkan 4 pihak maka termasuk zina; calon pengantin, wali, dan 2 saksi yang adil." Jumhur ulama sepakat akan pentingnya peran saksi sebagai penjamin keabsahan dan keadilan dalam pernikahan.
Praktik nikah siri tanpa wali dan saksi ini bahkan mendapat kecaman tegas dari Khalifah Umar bin Khattab. Imam Malik meriwayatkan dari Abu Az-Zubair Al-Maki tentang sebuah kasus pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan perempuan. Umar bin Khattab menyatakannya sebagai nikah siri yang haram dan mengancam akan merajam pelakunya jika ditemukan. Kisah ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran rukun dan syarat nikah dalam pandangan ulama terdahulu.
- Nikah Siri yang Sempurna Rukun dan Syaratnya, Namun Tanpa Pencatatan Resmi: Bentuk nikah siri ini telah memenuhi seluruh rukun dan syarat pernikahan sesuai syariat Islam, namun tidak tercatat secara resmi di KUA. Dari perspektif agama, pernikahan ini sah, namun menimbulkan permasalahan hukum di Indonesia.
Meskipun sah secara agama, menghindari pencatatan resmi di KUA menimbulkan beberapa konsekuensi negatif:
-
Kerentanan Hukum: Ketiadaan akta nikah membuat pasangan tersebut rentan terhadap berbagai permasalahan hukum, terutama jika terjadi perselisihan atau perceraian. Proses perceraian dan pembagian harta warisan akan menjadi lebih rumit dan sulit. Bukti-bukti keabsahan pernikahan menjadi lemah dan sulit dipertanggungjawabkan secara hukum.
-
Status Anak: Akta kelahiran anak yang lahir dari pernikahan ini akan sulit diperoleh tanpa adanya akta nikah. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam akses pendidikan, kesehatan, dan hak-hak sipil lainnya bagi anak tersebut. Ketiadaan bukti sahnya pernikahan orang tua dapat menghambat pengurusan dokumen penting bagi anak di masa depan.
-
Pelanggaran Hukum Positif: Pencatatan pernikahan di KUA merupakan kewajiban hukum di Indonesia. Mengabaikan kewajiban ini berarti melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun mentaati hukum positif tidak selalu identik dengan ketaatan agama, namun dalam konteks ini, ketaatan terhadap hukum negara merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan kewajiban warga negara yang baik. Prinsip ketaatan kepada pemimpin (dalam hal ini pemerintah) selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits juga perlu dipertimbangkan.
Kesimpulan:
Hukum nikah siri dalam Islam bergantung pada kepenuhan rukun dan syarat pernikahan. Nikah siri yang tidak memenuhi rukun dan syarat dinyatakan haram dan tidak sah. Sebaliknya, nikah siri yang telah memenuhi rukun dan syarat sah secara agama, namun menimbulkan tantangan hukum di Indonesia karena tidak tercatat di KUA. Meskipun sah secara agama, menghindari pencatatan resmi berisiko menimbulkan berbagai permasalahan hukum dan sosial yang dapat merugikan pasangan dan anak-anak mereka. Oleh karena itu, meskipun akad nikah siri yang sempurna rukun dan syaratnya sah menurut syariat, penting untuk memahami implikasi hukum positif di Indonesia dan mempertimbangkan pentingnya pencatatan resmi pernikahan untuk melindungi hak-hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat. Wallahu a’lam bishawab.