Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW. Proses wahyu ini, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur Ulumul Qur’an seperti karya H. Amroeni Drajat, tidak seragam. Terkadang wahyu turun dalam jumlah lima ayat, sepuluh ayat, atau bahkan lebih banyak, tergantung konteks dan peristiwa yang melatarbelakangi. Contohnya, peristiwa Hadits al-Ifki yang memicu turunnya wahyu sekaligus sebanyak sepuluh ayat. Keberagaman ini menunjukkan dinamika proses wahyu, namun tidak meruntuhkan kesatuan dan kesempurnaan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan wahyu ilahi.
Meskipun proses penurunannya bertahap, pertanyaan mengenai jumlah total ayat dalam Al-Qur’an hingga kini masih memicu perbedaan pendapat di kalangan ulama. Konsensus umum menempatkan jumlah ayat di atas 6.200, namun angka pasti tetap menjadi perdebatan. Buku "Mengungkap Rahasia Al-Quran" karya Abu Abdullah Az-Zanjani (terjemahan A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas) mencatat enam pendapat berbeda mengenai jumlah ayat, yaitu 6.000, 6.204, 6.214, 6.219, 6.225, dan 6.236.
Perbedaan ini bukan semata-mata perbedaan pendapat yang tidak berdasar. Sebaliknya, setiap angka tersebut memiliki akar historis dan metodologis yang kuat, berasal dari riwayat-riwayat yang disusun oleh ulama terkemuka dari berbagai pusat studi Al-Qur’an pada masa awal Islam. Dua pendapat berasal dari ulama Madinah, sedangkan empat lainnya dari ulama Makkah, Kufah, Basrah, dan Suriah. Para ulama ini, seperti Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ dan Syaibah bin Nashah (Madinah), Ibnu Katsir (Makkah), Kisa’i, Hamzah, dan Khalaf (Kufah), ‘Ashim bin Al-‘Ajaj Al-Jahdari (Basrah), serta Ibnu Zakwan dan Hisyam bin Ammar (Suriah), menghitung jumlah ayat berdasarkan riwayat-riwayat yang mereka terima dari para sahabat Nabi SAW.
Sanad-sanad (rantai periwayatan) ini, meskipun berhenti pada sahabat (mauquf), dianggap oleh mayoritas ulama sebagai tauqifi, yakni berasal dari penetapan Nabi Muhammad SAW sendiri. Artinya, perbedaan angka tersebut bukan mencerminkan perbedaan teks Al-Qur’an, melainkan perbedaan metode penghitungan yang dilakukan oleh para sahabat dan kemudian diteruskan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan betapa kompleks dan mendalamnya proses transmisi dan interpretasi Al-Qur’an sejak masa awal Islam.
M. Quraish Shihab, dalam karyanya "Hidup Bersama Al-Qur’an," menjelaskan beberapa faktor yang berkontribusi pada perbedaan perhitungan. Pertama, perhitungan basmalah (bismillahirrahmanirrahim). Basmalah terdapat di awal setiap surah, kecuali surah At-Taubah. Namun, pada surah An-Naml, basmalah muncul di tengah surah (ayat ke-30). Perbedaan muncul karena ada ulama yang menghitung basmalah sebanyak 114 kali (sesuai jumlah surah), sementara yang lain hanya menghitungnya sekali.
Kedua, perhitungan ayat yang diawali dengan huruf-huruf muqatha’ah, seperti Alif Lam Mim, Ya Sin, dan sebagainya. Sebagian ulama menghitungnya sebagai ayat tersendiri, sementara yang lain menggabungkannya dengan ayat berikutnya. Perbedaan ini, sekecil apapun, akan berdampak akumulatif pada total jumlah ayat. Hal ini menunjukkan betapa detail dan teliti para ulama dalam meneliti dan menghitung ayat-ayat Al-Qur’an.
Ketiga, perbedaan dalam memahami dan mengklasifikasikan ayat-ayat tertentu. Mungkin saja terdapat ayat yang dianggap sebagai satu kesatuan oleh sebagian ulama, tetapi dibagi menjadi beberapa ayat oleh ulama lain. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam memahami konteks dan struktur ayat. Hal ini menunjukan betapa kompleksnya proses interpretasi dan pemahaman terhadap Al-Qur’an.
Selain jumlah ayat, perbedaan pendapat juga muncul dalam hal jumlah kata dan huruf dalam Al-Qur’an. Buku "Ensiklopedia Al-Qur’an dan Hadis Per Tema; Ayat dan Hadis tentang Allah" yang disusun oleh Alita Aksara Media mencatat jumlah kata sekitar 77.934 dan jumlah huruf mencapai 323.015. Angka-angka ini pun mungkin bervariasi tergantung metode penghitungan yang digunakan, seperti penghitungan kata-kata sambung (harf jar) dan partikel-partikel bahasa Arab.
Di Indonesia, Mushaf Standar Indonesia (MSI) mengadopsi pendapat Al-Kufi, yang mencatat jumlah ayat sebanyak 6.236. Ini menjadi rujukan resmi Kementerian Agama RI dan menjadi standar dalam pencetakan dan penggunaan Al-Qur’an di Indonesia. Namun, penting untuk diingat bahwa angka ini hanyalah satu dari beberapa pendapat yang ada, dan perbedaan pendapat tersebut tidak mengurangi keagungan dan kesucian Al-Qur’an.
Kesimpulannya, perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat Al-Qur’an bukanlah pertanda adanya kontradiksi dalam teks Al-Qur’an itu sendiri. Sebaliknya, perbedaan ini mencerminkan kekayaan metodologi dan historiografi studi Al-Qur’an sejak masa awal Islam. Setiap angka yang dikemukakan memiliki basis riwayat dan metodologi yang dapat ditelusuri. Perbedaan ini juga menunjukkan betapa detail dan teliti para ulama dalam meneliti dan memahami kitab suci ini. Pemahaman akan perbedaan ini memperkaya pemahaman kita terhadap proses transmisi, interpretasi, dan preservasi Al-Qur’an sepanjang sejarah. Penting untuk menghargai keragaman pendapat tersebut dan memahami konteks historis dan metodologis di baliknya, tanpa mengurangi keyakinan akan kesucian dan kesempurnaan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Pilihan penggunaan salah satu angka sebagai rujukan, seperti yang dilakukan MSI, merupakan pilihan metodologis yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, tanpa mengurangi validitas pendapat-pendapat lain.